graduation

326 37 2
                                    

Taufan menjadi lulusan terbaik, tak mengagetkan. Namanya dipanggil bersama Solar dan satu gadis yang tak terlalu Halilintar kenal, selepas acara pembagian samir dilakukan.

Diterima di 9 universitas luar negeri ternama, memenangkan segenap lomba ketika masih ada di SMA, bahkan membawa pulang medali olimpiade. Taufan pun mendapat peringkat paralel atas ketika PAS atau segala jenis ujian semester diadakan. Truly a genius. Halilintar bisa melihat segelintir siswa siswi yang klepek-klepek ketika Taufan tersenyum lebar di panggung, memakai setelan jas lengkap, menerima penghargaan. Suasana hati Halilintar yang pagi ini sudah jelek jadi tambah jelek. Apalagi ketika Ice menyenggolkan sikunya di lengan Halilintar, makin berat benaknya.

"Ingetin gue," Halilintar berbisik pada sahabatnya, "kalo dia manggil gue, gue harus pura-pura ga denger."

Ice menahan tawa sebelum menjawab. "Percaya sama gue, diingetin pun lo sendiri bakal lupa."

Halilintar refleks mendelik, mencubit lengan sahabatnya dengan gemas karena menahan diri dari bertindak berlebihan. Ada fotografer mondar-mandir, ia tak ingin terlihat konyol di dokumentasi sekolah.

Ibu dan kakak perempuan Halilintar datang dalam acara wisuda itu. Ia dibawakan buket bunga yang lebih lebar dari bahunya sendiri, terbengong-bengong dengan wajah memerah ketika sang kakak dengan hebohnya menyodorkan buket itu ke depan matanya. Awalnya ia khawatir Ice akan datang dan tiba-tiba menyikut lengannya menggoda. Tapi dirinya tengah sibuk dengan Abah Mawais yang sama hebohnya dengan Kira'na, sebagaimana murid-murid dan wali mereka masing-masing di penjuru aula.

"Selamat lulus adekku!" Kira'na menyerahkan buket itu pada sang adik, lalu meraih kedua pipinya untuk ia mainkan.

Halilintar betul-betul tak bisa lari dari tingkah iseng kakaknya yang berceloteh panjang lebar untuk merayakannya. Bahkan sang ibu ikut-ikutan mengusak rambutnya. Keluhan jengah yang disertai semburat malu-malu di pipi tak pernah memudar di wajah Halilintar, karena meskipun disambut dengan penuh drama begitu, Halilintar bahagia mereka bisa datang.

Tapi ayahnya tak bisa. Hal itu memantik rasa penasaran Halilintar, sebab sebelumnya sang ayah telah mengabarkan untuk mengusahakan hadir. Ia bertanya pada sang ibu, "Papa ga dateng kenapa, mah?"

Ratna, sang ibu yang saat itu begitu cantik mengenakan kebaya berwarna merah tua, hanya menggeleng sambil mengangkat bahu sebagai balasan. "Biasa. Urusan mendadak ke luar kota. Tapi dia janji kok, kalau kita ajak VC bakal diangkat."

"Ayo VC papa kalo gitu."

Kira'na berdecak-decak sembari menggelengkan kepalanya. "Foto dulu! Baru dikirim ke papa, terus kita VC orangnya. Bentar kakak cari orang gabut dulu."

"Kak, aku ada temen yang—"

"Diem. EH kamu! Iya kamu yang lewat plonga-plongo doang gitu. Sini."

Halilintar melongo di tempat. Bukan karena tingkah Kira'na yang seenaknya menyuruh-nyuruh orang tak dikenal, tapi karena siapa yang Kira'na suruh. Taufan. Sepertinya sedang mencari orang tuanya karena ia masih tampak sendirian. Tapi wajahnya justru berubah menjadi penuh senyum ketika beradu pandang dengan Halilintar, langsung berjalan mendekat dan menyalami Kira'na serta ibu Halilintar. Kepada Halilintar, ia hanya tersenyum manis saja.

"Eh, kamu yang tadi lulusan terbaik itu, ya?" Ratna bertanya, menepuk pundak Taufan dengan bangga.

Taufan mengangguk. "Iya, tante. Itu saya."

"Keren banget lu." Kira'na mengacungkan jempol, lalu fokus kembali mengatur kamera kecil yang ia bawa.

"Bener, tuh yang dibilang Kira'na. Keterima di 8 perguruan luar negeri ga gampang, loh. Pasti berat, ya, dapetinnya?"

Message in A Bottle - TauHaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang