Dua Belas

4 0 0
                                    

Bandung hujan hari itu, aspal jalan terlihat licin terkena genangan air. Daun-daun juga basah, terdengar gemericik berjatuhan. Rio menepikan mobilnya, ia masih menunggu jawaban Raya. Sontak, Raya pun terkejut. Iya bingung harus menjawab apa. "Gue suka sama lo Ra, entah kenapa gue cemburu lihat lo berdua sama Daffa." Suara Rio menggema di dalam mobil, Raya masih terdiam tanpa kata, tatapannya tertunduk tidak berani menatap Rio. "Lo bilang waktu itu, nggak suka cewek kaya gue. Gue bukan tipe Lo, dan kenapa sekarang lo berubah secepat ini." Rio mendekatkan dirinya ke Raya, tanpa babibu lagi, Rio mencium bibir Raya.
"Lupakan waktu itu, kamu cuma perlu ingat hari ini." Rio menyondongkan badannya ke arah Raya. "Gue boleh cium lo lagi." Ucap Rio lirih. Raya sedikit gugup, ia tidak pernah menyangka Rio seperti ini. Dia teringat ucapan Daffa, bahwa Rio punya sisi kehangatan. Tanpa berpikir panjang Raya mengiyakan. "Boleh ko" dan apa yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh Raya pun terjadi. Mereka berdua berciuman dengan waktu yang cukup lama. Sejak saat itu, Raya menerima Rio menjadi kekasihnya.

Mobil melaju ke sebuah toko yang di dalamnya menjual bermacam-macam bubuk matcha. Rio mulai melihat dan memilih matcha terbaik yang akan digunakan di coffeshopnya.
"Aku pengen tau, kenapa kamu suka matcha?" Rio bertanya dengan serius ke Raya. Kemudian Raya pun menjawab "Matcha itu rasanya enak, dan nggak tau kenapa, setiap minum matcha rasanya pikiran yang rumit jadi kembali tenang."
"Wah, masa sih. Menurut aku biasa aja, rasanya aneh kaya rumput" ucap Rio dengan ekspresi yang tidak enak.
"Rumput? Enak aja. beda lah, matcha lebih lembut." Raya mencubit pinggang Rio. Seperti biasa mereka mulai beradu argumen.
"Lembut kaya pipi kamu" Rio membalas dengan mencubit pipi kanan Raya. "Ohh sakit, awas aja kamu!" Raya ingin membalas kembali namun ia merasa malu dengan tatapan staff toko yang terus menatap ke Raya dan Rio.
Dan beberapa saat kemudian, keranjang belanjaan mereka terlihat sudah penuh. Rio mendorongnya menuju kasir, dan membayarnya setelah semuanya di hitung. Setelah semua dimasukan ke mobil, Rio mengajak Raya untuk mencoba matcha yang sudah di olah.
"Enak, manis juga" Raya mencoba satu per satu.
"Gampang ini buatnya, nanti aku buatin buat kamu." Rio pun sama, ia mencoba minuman matcha.
"Bisa buatin aku tiap hari nggak? Aku suka banget soalnya"
"Hmm, nggak bisa nanti aku rugi dong" Rio mencoba meledek Raya, sembari mencoba mencairkan suasana. "Aku bayar, siapa bilang aku mau gratis." Raya tidak mau kalah, ia menatap ketus Rio.
"Buat cewek aku, pasti gratis lah. Aku cuma becanda tadi." Rio menatap Raya sembari tersenyum.
"Terimakasih pacar." Raya membalas senyuman Rio. Bandung siang itu terlihat mendung, minuman dan kentang goreng cukup buat mengisi perut yang kosong. Suara musik pun terdengar cukup menambah sejuknya suasana. Lagu pamungkas -One Only mewakili isi perasaan pengunjung caffeshop termasuk Raya dan Rio.
"Ini lagu kesukaan aku waktu kuliah." Raya pun mulai ikut menyanyikan liriknya. "Wah, pasti ada seseorang yang special juga di lagu ini" Rio mencoba mengorek masalalu Raya. "Enggak ko, waktu kuliah aku jomblo. Terlalu fokus ke kuliah sampai lupa buat cari cowok" Raya mengalihkan perhatian Rio. "Setiap orang yang aku temui dan suka lagu ini. Dia bilang sih, dia menaruh hati buat seseorang di lagu itu." Ucapan Rio membuat Raya berpikir.
"Tapi aku nggak, aku suka lagu pamungkas karena lagunya emang bagus-bagus aja sih." Jawaban Raya membuat Rio sadar bahwa Raya memang cerita apa adanya.
"Ya udah, kita nikmati menunya dulu, kamu mau nambah menu nggak? Soalnya ini masih hujan."
"Nggak, ini udah cukup ko. Kenyang banget." Rio tertawa mendengar jawaban Raya. Suara gemericik air di atas atap terdengar cukup deras. Pengunjung mulai banyak yang berdatangan.
Tak lupa, Rio mengirim pesan ke Dafa, karena belum bisa kembali ke penginapan. Dafa pun mengerti karena Bandung hari itu sedang hujan.

Menuju penginapan, Rio menyetir mobil dengan kecepatan sedang. Ia menikmati moment berdua bersama Raya, sembari bercerita tentang coffeshopnya dan keluarga. Orangtuanya memang mendukung Rio untuk memulai bisnis ini.
"Ra, kita rahasiain dulu ya hubungan kita ini." Ucap Rio sembari mengusap poni Raya. "Kenapa? Emang ada yang salah. Kamu malu, ngakuin aku pacar kamu di depan temen-temen kamu. Ya udah, emang aku bukan tipe kamu kan!" Raya merasa tersinggung dengan ucapan Rio. Setelah turun dari mobil, dengan cepat, ia langsung menuju ke kamarnya. "Bukan gitu, tunggu dulu aku jelasin."  Belum sempat Rio mengejar, Dafa datang dari arah lain.
"Raya kenapa? Kalian berdua ribut di jalan." Dafa melihat gerak-gerik Rio yang berbeda.
"Lo apain Raya, awas kalau macem-macem." Dafa mulai emosi dengan Rio. "Siapa yang macem-macem, mending lo bantuin gue bawa belanjaan ini." Ekspresi wajah Rio berubah menjadi datar.
"Udah sih, sebagian biarin aja di mobil, kita nggak perlu turunin lagi."
Dafa membiarkan Rio di parkiran, ia bergegas menuju kamar Raya.
Dengan cepat Rio menariknya, ia mencoba menghalangi Dafa.
"Jangan diganggu, dia cuma butuh waktu buat sendiri." Ucapan Rio membuat Dafa semakin penasaran. Kali ini, Dafa mengikuti saran Rio untuk tidak mengganggu Raya dulu,
Sambil menebak-nebak, apa yang sebenarnya terjadi diantara Raya dan Rio.

Waktu Yang SalahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang