Kuning pucat—entah warna aslinya memang kuning yang kemudian memudar seiring laju masa, atau justru putih yang menguning, saya tidak ingat secara pasti. Permukaannya dihiasi lubang-lubang kecil, berderet cukup rapi namun dengan jarak-jarak tak pasti. Ada sisi yang lembab dan berkelupas. Siluet persegi dengan berbagai macam ukuran tampak samar-samar, menandakan tempat itu pernah berpenghuni.
Pandangan saya sedikit turun, pada permukaan bersih tanpa ada sedikit pun lubang atau bercak noda, tepat di atas meja kayu yang hanya dihuni oleh satu tanaman kaktus kecil. Saya menatapnya cukup lama—permukaan mulus itu.
"Pokoknya ini jatah Abang ya, nggak ada yang boleh ambil."
"Semua dinding di rumah ini juga punya Abang."
"Iri?"
"Lebih tepatnya, bermurah hati pada yang lebih membutuhkan."
"Asem!"
"Emangnya di situ mau dipasang foto apa?"
"Foto debut Abang di timnas. Udah Abang pikirin, nanti kalau Abang berhasil tembus tim nasional, foto Abang pake seragam berlambang garuda di dada bakal Abang cetak gede-gede, dipasang di figura paling kece, trus mejeng deh di dinding ini. Dan ... yang ngefotoin harus kamu."
Lamunan saya lenyap ketika terdengar suara pintu kamar mandi yang terbuka.
"Di sana ada cicak lagi adu panco?" Rumi tiba-tiba bergabung di sebelah saya.Saya hanya terkekeh singkat.
"Trus ngapain ngeliatin tembok kosong begini? Emangnya ada menariknya ya?" Dia mendekatkan diri ke dinding, mencari-cari apa yang sedang saya perhatikan.
"Nggak semua hal menarik harus kelihatan jelas."
Dia menyudahi aksi mencari-carinya, menoleh, menatap saya sesaat sebelum kembali mengambil posisi di sebelah saya.
"Justru karena nggak gampang terlihat makanya disebut menarik?" Dia bergumam, kemudian manggut-manggut. "Menarik."
Cukup lama kami dilingkupi keheningan. Sama-sama menatap dinding kosong namun dengan mata yang berbeda. Di mata Rumi, mungkin itu hanyalah dinding biasa, tapi di mata saya, itu adalah sejarah, jejak kenangan.
"Bian,"
"Mm."
"Jadi ... keputusan kamu udah final? Kamu nolak tawaran saya?"
Pandangan saya akhirnya beralih pada gadis setinggi bahu di sebelah saya. Namun mulut saya tidak terbuka sedikit pun hingga dia akhirnya mengangguk dengan raut wajah sok paham.
"Nggak kerasa, udah mau jam tiga pagi," katanya setelah melirik jam dinding. "Kayaknya saya udah harus balik. Bukan kayaknya sih, memang nggak seharusnya saya ada di sini sampe pagi buta begini." Dia beranjak menuju sofa, membereskan barang-barangnya kemudian memindahkan kucing berbulu oranye—yang sebelumnya meringkuk di sofa—ke dalam gendongannya. Si kucing mengeong beberapa kali, sepertinya tak terima tidurnya diusik. Lantas Rumi mulai bicara, memberi pengertian-pengertian seolah si kucing paham bahasa manusia. Tapi sepertinya sayalah satu-satunya yang tidak mengerti cara mereka berkomunikasi karena tepat setelahnya si kucing kembali anteng, menggosok-gosokkan kepalanya ke tangan Rumi.
Saya mengerjap dan tahu-tahu gadis itu sudah berdiri di hadapan saya.
"Makasih udah ngasih tumpangan," ujarnya disertai senyum tipis. "Makasih juga indomienya. Dan oh ya, baju ibu kamu ...."
"Gapapa, pake aja."
Dia tersenyum, mengangguk. Melihatnya tampak tenang dan ramah begini membuat saya hampir melupakan kelakuan setengah gilanya beberapa saat lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nona dan Tuan Kesepian
RomanceKehidupan Bian berubah total setelah dering telepon sore itu membawa kabar bahwa kakak laki-lakinya, Ragi, telah melakukan aksi bunuh diri di kamar asramanya. Semakin kacau ketika bapaknya segera menyusul kepergian Ragi tepat setelah dering telepon...