Sekar merasa dunianya runtuh setelah diagnosa skizofrenia paranoid. Setiap hari terasa seperti perang tanpa akhir melawan suara-suara dalam kepalanya yang menghasutnya. Suara-suara itu seperti bayangan yang tak pernah berhenti mengintainya di setiap sudut pikiran. Meski berusaha keras, ia tidak bisa menghindari perasaan takut dan kecemasan yang melumpuhkan.
Ibunya, Sri, menjadi pondasi kekuatannya. Ia tidak pernah lelah menjaga dan mendukung Sekar dengan penuh kasih. Di samping menjalani perawatan medis, Sri juga aktif mencari informasi dan berdiskusi dengan para ahli untuk mencari cara terbaik mengelola kondisi Sekar. Meski berat, Sri berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan melakukan segalanya untuk membawa Sekar ke titik terbaik yang bisa dicapai.
Di antara hari-hari yang penuh tantangan itu, ada momen-momen damai di mana Sekar menemukan pelipur lara. Saat ia duduk di sudut kebun belakang rumah, merawat tanaman-tanaman kesayangannya, Sekar merasa sedikit lega. Sentuhan tanah, aroma bunga, dan cahaya matahari yang menyentuh wajahnya memberinya pengalihan dari ketegangan yang selalu mengintainya di dalam rumah.
Pada suatu hari, ketika sedang membersihkan lumbung buku-buku lama di rumahnya, Sekar menemukan jurnal kecil yang ia tulis bersama ayahnya waktu kecil dulu. Jurnal itu berisi catatan perjalanan mereka berdua ke hutan, petualangan mencari bunga-bunga langka, dan mimpi-mimpi masa depan yang mereka bagi bersama. Membaca kembali jurnal itu membawa Sekar kepada masa-masa bahagia bersama ayahnya, mengingatkan bahwa meskipun fisiknya telah pergi, kenangan dan ikatan mereka tetap abadi dalam hatinya.
Namun, gejala-gejala skizofrenia tak kenal waktu. Di malam hari, suara-suara yang mencekik kembali memenuhi kepalanya, mengusik tidurnya yang sudah rapuh. Sekar sering kali terbangun dalam keringat dingin, merasakan kehadiran yang tidak nyata di sekitarnya. Ia mencoba untuk tidak membiarkan ketakutannya memenangkan dirinya, tetapi terkadang rasanya begitu sulit untuk bertahan.
Sri, meskipun berusaha keras untuk mendukung Sekar, merasa putus asa terkadang. Ia merasa sendirian dalam mempertahankan kebahagiaan dan kesehatan putrinya. Pekerjaannya sebagai guru les privat dan mahasiswa kuliah sering kali terganggu karena ia harus fokus menjaga Sekar di rumah. Namun, meskipun lelah, Sri tidak pernah menunjukkan kelemahan di depan Sekar. Ia berusaha menunjukkan pada putrinya bahwa kebahagiaan dan cinta akan selalu ada di sekitarnya, bahkan di tengah kegelapan yang menghantuinya.
Setiap kunjungan ke psikiaternya di RS Krakatau Medika memberikan sedikit harapan. Dr. Wijaya, psikiater Sekar, adalah sosok yang bijaksana dan penuh empati. Ia tidak hanya memberikan perawatan medis, tetapi juga menjadi telinga yang siap mendengarkan cerita-cerita Sekar tanpa menghakimi. Dr. Wijaya berbicara dengan lembut kepada Sekar, membantunya memahami bahwa penyakit ini adalah bagian dari dirinya, bukan identitasnya.
Di kelompok dukungan yang ia ikuti setiap minggu, Sekar bertemu dengan Aulia, seorang pemuda yang juga mengalami perjalanan hidup dengan skizofrenia. Aulia adalah contoh nyata bahwa hidup dengan gangguan mental tidak selalu berarti menyerah pada kegelapan. Ia telah berhasil mengelola gejalanya dengan bantuan terapi dan dukungan sosial. Pertemuan dengan Aulia memberikan harapan baru bagi Sekar, bahwa meskipun sulit, ia bisa menemukan cara untuk hidup dengan skizofrenia tanpa membiarkan penyakit itu mengendalikan hidupnya sepenuhnya.
Perlahan-lahan, dengan dukungan dari ibunya, teman-teman, dan kelompok dukungannya, Sekar mulai menemukan kekuatan untuk melangkah maju. Meskipun masih ada hari-hari gelap, ia belajar untuk menerima bahwa ada hari-hari cerah yang menunggunya di masa depan. Ia mulai menulis lagi, mengekspresikan perasaannya dalam jurnal pribadinya dan mencatat perjalanan spiritualnya dalam menemukan kedamaian di tengah gejolak kehidupan.
*****
YOU ARE READING
Cahaya dalam Kegelapan
Non-FictionSekar, seorang perempuan yang kehilangan ayahnya di usia dini, tumbuh dengan penyakit skizofrenia paranoid. Keterpurukannya semakin mendalam setelah mendengar vonis dokter bahwa penyakitnya tidak bisa sembuh. Dalam kesendiriannya, ia merasa dirinya...