BAB 20: Maaf, aku berbohong

29 6 1
                                    

"Seandainya saja kamu tahu, betapa hancurnya hatiku saat aku memutuskan melepaskanmu, meski sebenarnya aku masih ingin bersamamu."

_Bentala Zayn Shailendra_

••••••

Setelah menyegarkan diri dengan mandi sore, Ilesha langsung duduk di bangku meja belajarnya. Rambutnya yang masih setengah basah meneteskan air ke bahunya, sementara handuk yang semula ia pakai untuk mengeringkan rambutnya itu dilemparkan begitu saja ke atas kasur. Aroma sabun mandi masih melekat di kulitnya, memberikan rasa nyaman yang kontras dengan kegelisahan di hatinya.

Ilesha meraih buku diarynya yang terletak di sudut meja, kulitnya yang usang menunjukkan betapa seringnya buku itu menjadi tempat pelampiasan emosinya. Ia membolak-balik halaman demi halaman, mencari satu halaman kosong di tengah deretan tulisan yang penuh dengan curahan hati dan rahasia pribadinya. Setelah menemukannya, ia mengeluarkan pena hitam favoritnya dari laci meja. Pena itu sudah hampir habis tintanya, tanda betapa banyaknya perasaan yang telah ia tuangkan di sana.

Dengan tarikan napas panjang, tangan Ilesha mulai menari di atas lembaran kertas berukuran sedang itu. Tulisannya teratur, namun menggambarkan perasaan yang begitu kacau di dalam dirinya. Setiap goresan pena seperti mengukir luka di hatinya, tetapi juga memberikan kelegaan yang sangat ia butuhkan. Ia menulis dengan penuh perasaan, seolah-olah setiap kata adalah percikan dari emosi yang tak tertahankan. Suara gemerisik pena di atas kertas menjadi musik latar yang menenangkan di antara hiruk-pikuk pikirannya.

Dari sekian banyaknya beban yang kamu punya, kenapa harus aku yang kamu lepas? Kenapa harus kita yang kamu selesaikan? Bukannya kita bisa melewati semuanya bersama-sama? Aku tidak mengerti, kenapa harus aku? Apakah aku tidak cukup berharga di matamu?

Ternyata, sakit sekali rasanya dilepas begitu saja. Rasa perih ini menusuk jauh ke dalam hati, meninggalkan luka yang dalam. Namun, jika semua ini bisa membuatmu tenang dan bahagia, aku akan mencoba merelakannya. Meski sulit, aku akan berusaha menerima, karena yang terpenting adalah kebahagiaanmu.

Satu hal yang aku harapkan adalah semoga janjimu untuk kembali pada saat hari kelulusan nanti bukanlah omong kosong. Hari kelulusan yang sering aku bayangkan kini menjadi titik harapan yang menggantung di ujung perjalanan ini. Meskipun aku yang duluan meminta agar kamu kembali di hari kelulusan, ada perasaan was-was yang terus menghantuiku.

Aku tidak tahu apakah kamu berjanji dengan tulus atau terpaksa. Momen ketika kamu mengangguk dan berkata "iya" masih terngiang jelas di pikiranku, tetapi sulit untuk mengetahui apa yang sebenarnya ada di dalam hatimu.

Namun, yang pasti, aku sedikit merasa lega. Ada semacam harapan yang menyala, meskipun kecil, yang membuatku terus bertahan. Setiap kali aku merasa ragu, aku mencoba mengingat janji itu, seolah-olah itu adalah tali pengikat yang mencegahku terjatuh lebih dalam. Semoga saja, pada hari kelulusan nanti, kamu benar-benar kembali, seperti yang telah kamu janjikan.

Ilesha menutup penanya perlahan, merasa berat setelah menyelesaikan tulisannya di buku diary tersebut. Dengan hati yang masih terbebani, ia menutup lembaran buku itu dan meletakkannya di atas meja. Ia menghela nafas panjang, lalu menyandarkan kepalanya ke belakang bangku, memejamkan matanya untuk sejenak meresapi ketenangan setelah semua yang telah terjadi.

Pada siang hari itu, hujan kembali turun dengan gerimis kecil, tidak seintens tadi pagi yang deras. Ilesha dan Bentala berdiri di depan rumah sederhana dan minimalis, angin sepoi-sepoi menyapu rambut mereka yang sedikit basah oleh gerimis. Meskipun cuaca tidak bersahabat, mereka tidak mempedulikannya, terfokus pada momen yang sedang terjadi di antara mereka.

The Ephemeral (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang