PERINGATAN: Seperti biasa usahakan jangan pernah skip narasi, jika kalian skip feelnya tak gak akan dapet.
••••🦋••••
Bentala duduk gelisah, kepalanya tertunduk sementara kakinya tak henti bergerak, mengetuk lantai tanpa sadar. Jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja, tanda jelas ketidaksabarannya. Sesekali, ia mengangkat pandangannya ke pintu besi di depannya, berharap orang yang dinantikannya segera tiba. Lalu, tak lama kemudian suara berderit kasar terdengar. Pintu besi itu terbuka.
Mata Bentala langsung tertuju ke sana. Seorang polisi masuk, menggiring seorang tahanan dengan tangan terborgol dan pakaian tahanan yang sudah tampak akrab di tubuhnya. Bentala mengenalinya—Rafi. Wajah yang sudah tak asing, tapi kini tampak lebih suram dan letih.
Polisi itu membawa Rafi mendekat, lalu dengan kasar mendudukkannya di depan Bentala. Suara kursi berderak keras saat tubuh Rafi menyentuh permukaan kerasnya. Bentala yang melihat dan mendengarnya hanya bisa memejamkan matanya sesaat. Polisi itu kemudian mengambil tempat di dekat pintu, tetap berjaga, waspada meskipun tangan Rafi terborgol erat. Atmosfer ruang interogasi itu mendadak berat, seolah semua ketegangan yang dipendam siap meledak kapan saja. Bentala mengangkat pandangannya, menatap langsung ke mata Rafi—tatapan penuh pertanyaan, kemarahan, dan harapan.
Sementara itu, Dandi dan beberapa polisi menyaksikan dari balik kaca besar yang memisahkan mereka dengan ruangan interogasi. Semua mata tertuju pada sosok Rafi, yang duduk tenang di kursi dengan ekspresi datar.
"Sejak kapan lo kaya gini?" Bentala akhirnya membuka suara, nadanya tajam namun berusaha tetap tenang. Tatapan matanya menembus wajah Rafi yang tak menunjukkan emosi apapun. Namun, Rafi tidak menjawab. Ia hanya memainkan dinding-dinding pipinya dengan lidah, seolah pertanyaan itu tak ada artinya.
Bentala mengetuk-ngetukkan jari pada pahanya sebelum melontarkan pertanyaan yang sama, kali ini lebih serius, lebih dalam. "Sejak kapan lo jadi kaya gini, Rafi?"
Mata Rafi akhirnya terangkat, tetapi hanya senyum sinis yang muncul di wajahnya. Bentala merasakan otot-otot di tangannya mengencang. Kedua tinjunya sudah terkepal di atas pahanya, menahan luapan amarah yang hampir meledak. Dia tidak boleh kehilangan kendali sekarang.
"Sejak kapan lo jadi kaya gini?!" Kali ini Bentala mengucapkan dengan lebih keras, nadanya penuh tekanan. Ruangan seolah terasa lebih sempit akibat ketegangan di antara mereka.
Rafi mendesah pelan, seolah bosan. "Dari kecil gue udah kaya gini, lo aja yang gak pernah ngeh." Suaranya datar, tanpa sedikitpun emosi. Tatapannya dingin, tak seperti dulu saat ia masih bersahabat dengan Bentala. Kini Rafi adalah orang yang berbeda, asing.
Bentala terkekeh lirih, getir. "Cih! Manipulatif, licik, cerdik, maniak, parasit." Setiap kata keluar dari mulutnya dengan penuh kebencian yang ditahan.
Rafi justru tertawa ringan, suara tawanya terdengar menantang. "Gimana akting gue? Bagus kan?" tanyanya dengan nada penuh kebanggaan. Seolah-olah kejahatan yang ia lakukan adalah sekadar permainan baginya.
"By the way, gimana kabar korban-korban gue? Udah mati?" lanjutnya, seakan tak ada rasa bersalah dalam setiap kata yang ia lontarkan.
Bentala merasakan darahnya mendidih. "Gara-gara lo, cewek gue kehilangan nyawanya. Gara-gara lo, Harsa harus koma. Amanda juga koma." Suaranya serak, penuh amarah. "Apa sebenernya yang lo mau, Fi? Lo udah ambil banyak nyawa, termasuk nyawa orang-orang yang lo kenal deket!"
Rafi hanya tersenyum, tatapan dinginnya tak berubah. "Seandainya lo gak jadian sama Ilesha, mungkin semua ini gak akan kejadian."
Alis Bentala berkerut dalam. "Maksud lo?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Ephemeral (Tamat)
Novela JuvenilGengre: Romance, Misteri •••🦋••• Sinopsis: Ilesha Mutiadaksa adalah seorang gadis yang dibayangi masa lalu kelam, membuatnya berjanji untuk tidak lagi membuka hati pada siapa pun. Namun, semua berubah ketika Bentala Zayn Shailendra hadir dalam hi...