Beberapa hari berlalu ....
Setelah melewati minggu ujian, siswa Saphirea High School siap menyapa libur panjang mereka. Saat ini Linn tengah berada di rumahnya, tepatnya di kamar.
Suara lembaran kertas yang dibalik, terdengar nyaring di kamar Linn. Linn tengah sibuk berada di dunia novel yang sedang dia baca. Namun perlahan tenggorokannya terasa kering, Linn dengan malas turun dari kasurnya itu dan membuka pintu kamar.
Linn menuju dapur dengan langkah berat. Rasa malas mendominasi dirinya. Dia segera menuangkan air putih ke dalam gelas kaca dan meminum air itu.
Seketika tubuhnya terasa membeku, tak bisa bergerak. Bola mata Linn melihat ke kanan dan ke kiri, dia bisa menebak apa yang terjadi setelah ini. Mara memaksa masuk ke dalam tubuhnya.
"Linn, bisa bantu Ayah?" ucap Rai yang baru saja masuk dari pintu belakang rumah yang tepat berada di dapur.
Linn menaruh gelas kaca kosong itu. Tatapannya kosong, menoleh ke arah Rai yang baru saja masuk. Linn mendekat ke arah Rai, Linn tersenyum manis.
"Ayah, apa yang bisa kubantu? Ah, aku tidak punya bakat menyamar, bagaimana jika kubantu agar kau bertemu istrimu?" Senyuman Linn semakin melebar.
Rai mengerti, di dalam tubuh Linn sekarang adalah Mara. Bola mata Linn menghitam dengan iris merah menatapnya dengan lekat. Rai bergerak mundur, sedangkan Linn yang mendekat ke arahnya.
"Kau mengetahui siapa aku ya? Dari siapa?" tanya Mara setelah dirinya benar-benar dekat dekan Rai.
●
Kae tengah berada di dalam kamarnya, dia menatap dirinya sendiri yang berada di cermin. Aliran Mana-nya terfokus pada otaknya, dia memasuki lorong ingatan, tepatnya ingatan Linn.
Pintu lorong paling ujung adalah pintu berisi ingatan kematian. Kae memang tak bisa melihat alur kematiannya sendiri, tapi dia bisa melihat alur kematian milik orang lain, berulang kali.
Terlihat salah satu layar mendekat ke arahnya sesaat setelah Kae memasuki salah satu pintu yang dekat dengan pintu ingatan kematian Linn. Sebuah rekaman ingatan terlihat di sana.
Hingga rekaman ingatan itu berhenti, Kae terdiam menatap kosong rekaman itu. Kae segera kembali ke dunia nyata dan meraih ponselnya dengan cepat.
Setelah mengetik nama seseorang dia menekan tombol telepon dengan cepat. Kae mendekatkan ponselnya pada telinga kanannya. Setelah beberapa detik, telepon itu diangkat.
"Ralu! Pergi ke rumah, Linn, bagian dapur, cepat!" Belum sempat Kae mendengar Ralu menjawab ucapannya, Kae sudah mematikan telepon itu.
Kae bergegas menuju garasi rumahnya dan menaiki mobilnya menuju rumah Linn. Di dalam benak Kae cukup ramai dengan segala dugaan apa yang akan terjadi setelah ini.
Di sisi Ralu, dia segera bergegas ke luar dari rumah sakit untuk menuju rumah Linn. Rumah sakit yang baru saja dia kunjungi, tidak terlalu jauh dengan rumah Linn, Ralu hanya perlu menaiki ojek.
Setelah beberapa menit, Ralu sampai di depan rumah Linn. Dia membayar ongkos naik ojek tadi. Suara nyaring dari gerbang di buka terdengar, Ralu memasuki rumah Linn dan menuju dapur.
Ralu mematung setelah melihat apa yang terjadi di dapur rumah Linn. Terlihat Linn yang jatuh terduduk sambil menatap tangannya yang penuh dengan darah dan sebuah pisau, matanya mengeluarkan air mata dengan tatapan yang kosong.
Tepat di depan Linn, Rai terbaring tak bernyawa dengan darah yang terus-menerus keluar dari perutnya.
"Linn ...," panggil Ralu dengan lirih.
Linn menoleh ke arah Ralu, dia melempar pisau itu ke sembarang arah. Ralu berlari memeluk Linn dari belakang. Dia tidak peduli jika darah merah pekat itu mengotori bajunya.
"Aku pembunuh ya?" tanya Linn dengan lirih dengan mata memerah. Sekuat apapun Linn mencoba untuk mengeluarkan suara tangisnya, Linn tidak bisa.
"Bukan ..., bukan kamu pembunuhnya, maaf telat datang, Linn." Ralu semakin mengeratkan pelukannya.
Ralu merasa sangat bersalah, Linn adalah gadis ceria walau pemalu, dia takut Linn berubah. Jangan sampai kejadian ini membuat sifat Linn berubah.
"Aku udah ga punya siapa-siapa lagi, dulu ibuku mati gara-gara nolong aku. Sekarang aku, aku ngebunuh ayahku sendiri?" racau Linn dengan mata yang masih mengeluarkan air mata.
"Kamu bukan pembunuh, kamu masih punya aku, Linn, jangan nyalahin dirimu sendiri," bantah Ralu setelah mendengar ucapan Linn.
Terdengar suara klakson mobil di depan rumah Linn, lalu disusul suara langkah kaki mendekat ke arah mereka. Ralu menoleh ke arah suara langkah kaki itu dan melihat Kae yang terdiam kaku seperti reaksinya saat baru saja melihat dapur Linn.
"Ini, hal yang selalu kutakuti, mengubah masa depan terlalu beresiko," jelas Kae setelah sadar dari rasa kagetnya itu.
"Maaf, Tante terlalu takut Linn, Tante selalu takut buat ngerubah masa depan." Kae mendekat ke arah Linn dan ikut duduk di samping mereka, lalu mengelus pelan kepala Linn.
●
Bulan bersinar terang malam ini, bintang saling berkedip untuk meramaikan gelapnya langit malam. Linn menatap kosong ke arah langit di luar jendela kamarnya. Belum satu hari setelah kepergian ayahnya, Linn bisa merasakan kesepian yang mendalam.
Biasanya ayahnya akan duduk di sofa sambil melihat berita di televisi. Lalu memanggil Linn hanya sekedar untuk menyuruhnya mengambil remot televisi yang berada tepat di meja depan sofa yang ia duduki. Kemudian Linn tetap mengambil remot itu walau dengan wajah kesal.
Ingatan tentang ayahnya yang mengajaknya berjalan-jalan bersama dengan ibunya saat malam hari hingga dia menemukan permata ungu terputar di dalam benaknya. Senyuman yang selalu menyambut Linn di pagi hari saat sarapan. Rasa aman dan nyaman saat Linn sedang bercerita pengalamannya ke ayahnya.
Hingga senyuman terakhir yang ia lihat di wajah ayahnya saat pisau tajam sudah tertancap di perutnya. Lagi dan lagi, mata Linn memanas san mengeluarkan cairan bening.
Ingatannya kembali pada saat dia dan ayahnya tengah berbicara di pagi hari sebelum dirinya pergi ke bangunan tempat dia berlatih.
'Ayah gak sabar ngelihat kamu kuliah.' Tapi nyatanya belum sempat dirinya lulus, ayahnya sudah pergi jauh.
"Linn, Tante pulang dulu ya, jangan mikir aneh-aneh, jaga kesehatan," ucap Kae di depan pintu kamar Linn.
Linn tidak menjawab sepatah kata pun. Terdengar langkah kaki yang menjauh, Kae sudah pergi dari rumah Linn.
Linn turun dari kasurnya, melangkah menuju kotak kecil yang sempat ayahnya berikan dulu. Terlihat beberapa benda usang di sana. Linn mengambil sebuah kotak musik merah muda itu.
Perlahan tangannya bergerak untuk memutar kotak musik itu. Musik pelan dan menenangkan itu, membuat Linn merasa tidak kesepian. Bau khas ibunya masih menempel pada kotak musik itu.
●
●
●
Saat ini aku merasa sangat bersalah pada karakter utama(T^T) nangisin karakter yang kubuat sendiri mati boleh kan? HUEEE.
KAMU SEDANG MEMBACA
EDELSTENEN
FantasyMenggunakan sihir hitam dan melakukan perjanjian dengan iblis adalah hal yang salah. Seorang penyihir berhasil melakukan perjanjian terkutuk dan membuat masalah di masa depan. Linn dan teman-temannya bertugas menggagalkan rencara penyihir itu *** Ma...