46 [end]

9 5 0
                                    

Malam hari ini terasa damai, seorang gadis dengan manik mata ungunya itu berjalan mendekati seseorang. Sinar rembulan memnghiasi taman kecil itu.

"Kak Hima, mau bertukar peran?" tanyanya dengan santai, sambil menatap Hima dengan senyuman hangatnya.

Hima, perempuan itu menoleh ke arah Linn. Dia membalikkan badannya dan mendekat ke arah lawan bicaranya itu.

"Maksudmu?" tanya Hima sambil sedikit memiringkan kepalanya ke samping dan mengangkat satu alisnya.

"Aku rasa, yang seharusnya menjadi wadah bagi penyihir itu, bukan, Kak Hima," lirihnya pelan.

Hima menggelengkan kepalanya sebentar. "Aku sudah yakin dengan itu, Linn," jawab Hima dengan senyum kecil.

Langit terlihat mendung, dihiasi dengan kilatan petir. Tetapi tak ada satu pun rintik hujan yang membasahi bentala. Rasanya awan-awan itu tidak seperti biasanya, karena terlihat samar berwarna merah.

Linn dan Noe masih saja sibuk dengan para makhluk tulang belulang itu. Ralu dan yang lainnya sudah datang. Sebelum Mara selesai mengurus Ola, mereka sudah harus menjaga kuil di dekat sana agar Mara tidak dapat memasukinya.

"Kamu bisa melindungi sebesar ini, Siel?" tanya Kae pada gadis kecil itu.

Di sela-sela pertanyaan itu, Ralu berjalan membantu Linn dan Noe. Dengan kemampuan penirunya, dia membuat beberapa tiruannya dan menyerang dari jarak jauh. Ada gunanya dia bisa memanah, dia menciptakan panah dengan kekuatan penirunya.

"Bisa, tapi pelindungnya terasa lebih tipis," jawab Siel sambil menggunakan kekuatannya. Pelindung miliknya itu sudah menyelimuti kuil itu dan mereka bertiga.

Mara melayang di antara angin malam. Dia mendekat dan menatap tajam mereka berempat. Berani sekali manusia lemah seperti mereka mencoba untuk menghadangnya, pikir Mara.

Tatapannya dan Kae saling bertemu. Kae menunjukkan seringai kecil. Seharusnya dengan ini, dia bisa melanjutkan rencananya.

"Tidak adil bukan, jika seseorang di lawan bisa melihat masa depan? Biarkan aku membantumu untuk menutup penglihatan masa depanmu itu." Sedetik setelah Kae mengucapkan hal itu, darah mengalir dari hidungnya. Dia terlalu berlebihan untuk menggunakan kekuatannya.

"Jadi, kau yang menutupi jalan penglihatan masa depanku? Manusia si*lan," maki Mara sambil menatap tajam Kae. Selama ini, Mara sedikit bingung dari mana mereka bisa menemukan cara menghancurkan dirinya, ternyata seorang manusia dengan kemampuan waktunya itu membantu Linn dan kawan-kawannya.

"Tapi tidak apa, aku tahu rahasia besar rencana kalian. Gadis itu." Mara menunjuk dengan tangan kanannya tepat ke arah Hima.

Ledakan di tempat Linn berada sukses mengalihkan perhatian mereka. Ledakan itu lebih besar dari sebelumnya, sepertinya mereka memiliki keunggulan.

"Keluarlah," desis Mara, sebuah lingkaran sihir yang dia buat dengan tangan kanannya mengeluarkan sebuah api bagai peluru kuat. Peluru api itu menembus pelindung Siel dan menembus tepat di kepala Hima.

"Ma-maaf, pelindungku tidak terlalu kuat." Mata Siel bergetar, dia melihat jelas Hima yang perlahan jatuh ke tanah.

Zev dan Ola yang baru saja sampai, mematung melihat itu. Mara menerobos masuk ke dalam Kuil yang sudah dilindungi itu, dengan kekuatannya. Dia menyentuh pelindung itu, dan membuat sebuah lingkaran sihir di pelindung itu. Setelah itu, pelindung itu hancur lebur. Wajahnya penuh dengan kepercayaan diri, seolah tidak ada yang bisa menghentikannya.

"Ola! Baca saja mantranya itu! Linn yang menjadi wadahnya!" teriak Kae dengan panik.

Ola menatap tidak percaya dengan ucapan Kae. Namun,tidak ada pilihan lain, sebelum Mara melakukan ritual anehnya itu.

EDELSTENEN [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang