Tiga Tahun Kemudian

34 4 2
                                    

"Hallo bu." Ibu menelponku, seperti biasa menanyakan kabar dan kegiatan kampusku. Aku sekarang sudah kuliah semester akhir. Dan bersiap untuk magang, seminar dan wisuda. Tapi masih panjang perjalananku menuju kesana.

"Ohm. Mama Nanon tanya kamu, bisa kah kalau Nanon tinggal disana? Sama kamu. Nanon mau kuliah disana Ohm."

"Ibu,"

"Udah tiga tahun loh kamu gak ketemu Nanon. Kamu bahkan gak mau pulang."

"Tapi kalau Ohm gak bisa gimana?"

"Ibu juga sebenarnya bingung. Ibu sempat nolak. Kata mamanya, nilai Nanon di SMA gak sebagus nilai dia pas SD dan SMP. Tapi jika mamanya izinkan kuliah di tempatmu kuliah, dia akan berusaha untuk nilai ujian akhirnya. Mamanya setuju. Sekarang Nanon giat belajar buat sekampus sama kamu."

"Bu, aku gak tau nantinya gimana."

"Ohm, terima aja dulu. Belum tentu kan Nanon bakal beneran disana."

"Iya. Ya udah bu nanti kasih tau aja gimana hasilnya." Aku menutup telpon dari ibu. Tiga tahun cukup lama untuk melupakan perasaanku pada Nanon. Walaupun aku terkadang merindukannya, tapi aku sekarang sudah terbiasa. Mungkin sudah waktunya aku kembali menganggapnya adikku sendiri. Tidak selamanya seperti ini bukan? Aku juga merindukan Nanon sebagai adikku. Ku harap dia bisa lulus dengan baik dan tinggal disini.

Dan memang harapanku terkabul. Beberapa bulan kemudian Nanon datang ke kontrakanku.

Aku membuka pintu, berdiri Nanon dengan badan yang sangat berubah. Tingginya hampir sama dengan tinggiku, tapi lebih besar dari terakhir aku melihatnya. Sangat berbeda dengan tiga tahun yang lalu. Lalu ia tersenyum.

"Abang.." Ahh kata yang sudah lama sekali aku rindukan.

"Non,," aku terdiam sesaat karna jantungku yang kembali berdetak cepat saat ia tersenyum. "Ehh masuk dulu. Kopermu sampe dua gini." Aku mengalihkan pandangan dan berusaha melenyapkan bunyi jantung yang berdebar. Aku mengambil koper dan menyuruhnya masuk.

"Welcome. Maaf kontrakannya agak kecil. Kamu udah makan? Ehh, minum dulu lah ya. Abang ambilin air dulu." Aku membuka kulkas tapi aku yang minum terlebih dulu. Setelah sedikit tenang, aku mengambilkannya air putih. Nanon terlihat mengamati seisi kontrakan.

Nanon meminum air yang kubawakan. Dia diam, terlalu diam hingga aku tak tau akan bertanya apa.

"Kamu gak suka kontrakannya?"

"Aku suka."

"Capek ya? Mau istirahat?"

"Bang, kamarnya ada berapa?"

"Dua. Ohh iya, sini ikut abang." Aku membawa kopernya dan meletakkannya dikamar. "Ini ya kamar Nanon, kamar abang disebelah."

"Iya bang, aku mau mandi. Kamar mandinya dimana?"

"Dibelakang sana. Punya handuk?"

"Punya."

"Abang mau masak. Kamu masih suka telur disemur gak?"

"Masih. Abang bisa masak itu?"

"Bisa lah."

"Kan abang gak suka?"

"Kata siapa. Abang suka kok abang sering makannya disini." Iya karna sering rindu dengan Nanon yang selalu makan semur telur buatan ibu.

"Hmm ga sabar pengen makan masakan abang"

"Oke. Mandi gih!"

Setelah Nanon mandi dan makanan juga siap, kami makan tanpa suara. Selesai makan, tak banyak suara yang keluar. Tiga tahun ini kami tak bertegur sapa. Tidak juga tau kabar masing-masing. Dan terlebih lagi tidak ada ucapan maaf. Haruskah aku yang memulai menyebut kata maaf seperti dulu?

Adik bukan AdikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang