Bagian 7. Rumah

30 6 0
                                    

Tampak Jannie mendudukkan dirinya di sisi tempat tidur, menyimpan semangkuk bubur hangat di pangkuannya. Ren, yang terduduk lemah di kasur, hanya bisa menatap dengan mata setengah tertutup. Kini, tubuhnya terlalu lemah untuk bergerak banyak. Beruntung, ia hanya terjatuh di ujung kasur Jannie, sehingga memudahkan gadis itu untuk mengangkatnya ke atas.

"Ren, kau harus makan sedikit agar punya tenaga," tutur Jannie lembut, dengan suara penuh perhatian.

Ren menggeleng lemah, tubuhnya masih terasa sulit digerakkan. Pemuda itu sepertinya tak bisa melepaskan tangannya yang masih diperban tersebut. Namun, Jannie tidak menyerah. Ia segera mengambil sesendok bubur dan mendekatkannya ke bibir Ren.

"Ayo, buka mulutmu sedikit saja," bujuk Jannie.

Melihat Ren tidak punya kekuatan untuk menolak, Jannie pun menyuapinya dengan hati-hati, memastikan setiap suapan masuk dengan nyaman.

Ren menelan perlahan, dan Jannie terus mengulang proses ini dengan sabar, berharap setiap sendok bubur bisa mengembalikan sedikit tenaga pada Ren.

Tiba-tiba tangan Ren menggenggam tangan Jannie, agar ia tak lagi menyuapinya. "Sebentar Jannie..."

Jannie pun terhenti lalu menatap wajah Ren yang mengerut seperti menahan kesakitan. "Sebaiknya kau harus meminum obatmu segera," ucapnya lalu meraih kotak obat yang sempat hilang itu.

Perlahan, ia menyuapi Ren 3 kapsul obat untuk meredakan rasa sakitnya.

"Bagaimana? Sudah baikan?" Tanya Jannie memastikan.

Tak mendapat balasan apapun dari Ren, ia menghela napasnya berat. Bagaimana pun, lagi-lagi pemuda itu terluka gara-gara ulahnya. Sekarang, ia tak percaya diri lagi untuk merawat pasiennya tersebut. Sungguh, ia takut kalau sampai terjadi apa-apa yang lebih serius dari ini.

"Ren, maafkan aku. Sebaiknya kau tidurlah sebentar, aku akan memanggil dokter malam ini untuk memeriksa mu," sahut Jannie yang tidak diindahkan oleh Ren.

Ia pun dengan lembut meletakkan telapak tangannya di belakang kepala Ren, mencoba sepelan mungkin untuk membantunya berbaring. Sementara itu, tangan kirinya perlahan merapikan bantal di bawah kepala Ren, memastikan kenyamanannya.

Fokus Jannie pun lantas berpindah ketika Ren membuka matanya, menatapnya dengan intens. Kedua sorot mata itu pun bertemu, menciptakan kecanggungan di antara keduanya.

Deg.

Menyadari hal itu, Ren langsung memalingkan wajahnya. Sementara itu, Jannie melanjutkan pekerjaannya, menarik selimut hingga menutupi tubuh Ren. Ia lalu menyingkirkan beberapa helai rambut yang menempel di kening Ren yang enggan menatapnya. Meskipun begitu, gadis itu tak memperdulikannya. Wajah pemuda itu masih tampak lelah dan pucat, ia tak bisa berdiam diri.

Dengan suara yang nyaris berbisik, ia berkata, "Istirahatlah."

Namun, baru saja Jannie berniat pergi dari tempat duduknya, Ren tiba-tiba memanggilnya.

"Jannie..."

"Ya?" Tanya Jannie mengurungkan niatnya.

Ren perlahan membuka matanya lalu menatap Jannie dalam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ren perlahan membuka matanya lalu menatap Jannie dalam. "Kau sudah tahu 'kan, aku adalah penderita kepribadian ganda. Kumohon, jangan mengusirku dari sini," ucapnya dengan nada rendah.

Jannie yang tidak mengerti arah pembicaraan ini, langsung menaikkan alisnya heran. "Apa maksudmu? Atas dasar apa aku mengusirku?"

Ren tersenyum tipis. "Kau benar-benar tidak berpikiran tentang hal itu? Aku adalah penderita kepribadian ganda. Apa kau tak masalah dengan itu?"

Jannie lantas memalingkan pandangannya ke arah jendela, yang memancarkan sinar bulannya. "Mmm, aku juga memiliki kekurangan yang masih sulit ku terima sampai saat ini. Sejak kecil, aku sudah tak memiliki orang tua. Sepulang sekolah, aku selalu menjadi sasaran pembullyan. Tak ada yang membelaku, tak ada tempat untukku mengadu."

"Jadi, bagiku tidak masalah membantu orang yang juga sendirian di kota ini. Berapa pun kepribadianmu, aku akan tetap memperbolehkan mu tinggal. Jujur saja, saat kau bilang kalau kau diusir dari rumah, aku cukup iba. Lagipula kau tanggung jawabku, bukan," sambungnya sembari memperlihatkan senyum lebarnya.

Menatap senyuman manis gadis itu, membuat Ren enggan memalingkan wajahnya. Sementara itu, Jannie yang menyadari tatapan itu, refleks mendatarkan ekspresinya kembali. Dengan gugup ia berkata. "A- apa ada yang salah dengan ucapanku?"

Ren langsung menggeleng. "Tidak kok, kau benar sekali. Aku hanya berpikir, kalau aku sepertinya telah menemukan seseorang yang tepat menjadi rumah untukku," jelasnya tanpa pikir membuat Jannie tersipu malu.

"A-apa maksudmu? Aku ini manusia, bukan rumah. Aku juga tidak menyuruhmu untuk tinggal selamanya kok di rumahku ini," kata gadis itu dengan nada terbata-bata.

Ren meliriknya sebentar, kemudian menggaruk-garuk kepalanya sendiri. "Kau tahu, rumah yang aku maksudkan bukanlah tempat tinggal. Tapi, seseorang yang bisa membuat kita merasa nyaman dan aman. Tempat buatku untuk bersandar~"

Mendengarnya, membuat Jannie merasa jantungnya berdetak lebih cepat. "Istirahatlah, aku akan memanggil dokter," selanya mengalihkan topik pembicaraan.

Baru saja Jannie berdiri, Ren lagi-lagi menahan tangannya. "Aku sudah baikan. Malam ini, temani saja aku tidur. Lalu, maaf jika aku salah bicara" ucapnya lalu menarik tangan Jannie ke atas dadanya.

"Kau tidak sedang jadi River atau siapalah namanya yang berkepribadian manja itu kan?" Tanya gadis itu memastikan.

Ren yang sudah menutup matanya, hanya menggeleng sebagai jawaban.

Pipi gadis itu tiba-tiba merona. Entahlah, rasanya ada perasaan bahagia ketika mengetahui kata-kata itu keluar dari mulut Ren yang asli. Ia sendiri tak tahu mengapa, tapi yang pastinya, ia tak ingin mengganggu istirahat Ren malam ini.

Perlahan, ia kembali duduk, menemani pemuda itu tertidur hingga matahari pagi menembus jendela kaca, menyinari wajah Jannie yang juga sudah terlelap pulas di tepian ranjangnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 16 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lima Jiwa dalam RagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang