Bagian 4. Telepon yang diabaikan

30 8 0
                                    

Plak...

"Berhenti mempermainkanku! Daritadi menggodaku, sekarang mengasariku. Sebenarnya apa sih maumu? Kalau tak mau di sini, pergi sana cari hotel mahal seperti yang kau bilang!" Ketus Jannie meluapkan emosinya.

Ia pun menghela napasnya berat. "Belum cukup sehari di sini, kau sudah membuatku geram. Kau sedang di rumahku, setidaknya jaga sikapmu."

Sementara itu, Ren hanya mengelus pipinya yang memerah. Ia tampak kebingungan, mendengar ocehan dari Jannie yang ia tak pernah lakukan. Goda? Kasar? Apa dia baru saja melakukan hal itu?

"Mereka pasti mengambil alih tubuhku lagi," desisnya menyadari dua kepribadiannya muncul di saat yang tak tepat.

"Aku tahu, aku bertanggungjawab atas kecelakaan itu. Tapi, kau juga harus sadar diri jika kau tinggal di rumah orang," lanjut gadis itu masih sangat tersinggung.

Ren lantas mengucek matanya, seperti orang baru saja bangun dari tidur, guna menyadarkan dirinya akan keadaannya saat ini yang sungguh membingungkan. Ia pun tersentak mengetahui dirinya yang kini bertelanjang dada di depan seorang gadis pemilik rumah tersebut.

Ia cepat-cepat memasang bajunya kembali lalu berkata. "Apapun yang kulakukan tadi, aku minta maaf. Aku benar-benar tak menyadarinya. A~aku..."

"Pokoknya maafkan aku," tunduknya sopan, memperlihatkan penyesalannya yang mendalam.

Melihat hal itu, Jannie langsung terdiam. Rasanya ia masih ingin membentaknya, namun sikapnya yang tiba-tiba sopan membuatnya menahan diri untuk tak lagi mengoceh.

"Yah, kau seharusnya tidak melakukan itu dari awal," ujarnya merasa canggung.

Ren mengusap wajahnya kasar. "Memang, mereka itu bukanlah diriku."

"Apa?" Tanya Jannie memastikan pendengarannya tak salah.

Pemuda itu lantas menutup mulutnya dengan tangan kirinya, lalu berpaling. "Tidak. Sudah larut, aku mau tidur."

Baru saja Ren ingin berbaring di kasur lipat yang ada di ruang tengah, Jannie langsung menghentikannya. "Eh, bukannya kau mau tidur di kamarku."

"Yang mana? Ini? Itu?" Tunjuknya pada pintu dapur dan halaman belakang.

"Itu yang di depanmu." Jannie pun kembali menunjukkan letak kamarnya yang entah mengapa, Ren yang baru saja ditunjukkan tadi tiba-tiba lupa.

"Lalu kau tidur di mana?"

"Tentu saja di kasur lipat itu."

Melihat kamar yang sudah rapi tersebut, membuat Ren mengurungkan niatnya. "Lupakan. Aku ingin tidur di kasur lipat itu saja."

Jannie hanya mengangguk paham. Meskipun ia tidak mengerti, tapi, pemuda itu juga terkadang baik hati.

🌠🌠🌠

Siang itu, langit biru cerah, matahari bersinar terang, dan angin sepoi-sepoi berhembus lembut. Jalanan tampak sepi, hanya sesekali terdengar suara burung berkicau.

Jannie, seperti biasa melanjutkan pekerjaan sehari-harinya sebagai kurir. Motornya telah selesai diperbaiki, sehingga semuanya aman terkendali. Ia melajukan motornya menuju rumah Ahri, sahabat dekatnya.

Sesampainya di depan rumah Ahri, Jannie turun lalu menyapa seorang nenek yang sedang merajut di halaman rumahnya. "Permisi Nek."

Nenek yang rabun jauh tersebut, menyipitkan matanya guna melihat siapa yang datang. Tampak ia mengenakan seragam kurir yang khas dengan jaket berwarna merah hitam dan celana jeans. Di tangannya, ia membawa sebuah paket berukuran sedang yang terbungkus rapi. Tentu saja, ia langsung mengenalinya.

Lima Jiwa dalam RagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang