Bagian 1. Pergi dari rumah

126 10 0
                                    

Apakah kalian percaya dengan adanya penyakit langka yang disebut dissociative identity disorder (DID) atau yang lebih dikenal sebagai Kepribadian Ganda?

  Dalam dunia psikologi, DID adalah kondisi di mana seseorang yang mengalami trauma dan guncangan mental di masa lalu, menciptakan beberapa kepribadian sebagai jejak pengalaman traumatis yang pernah ia lalui. Dan bahkan, bertingkah berlebihan sebagai bentuk kewaspadaan diri.

  Sering kali, penderita DID tidak menyadari apa yang mereka lakukan saat salah satu kepribadian mengambil alih. Bagi dirinya, momen-momen tersebut hanyalah seperti tidur atau pingsan, meninggalkannya dalam kegelapan tentang perbuatan yang telah dilakukan oleh sosok lain dalam dirinya.

  Itulah mengapa, penderita DID menghadapi tantangan besar dalam lingkungan sosialnya. Karena mereka takut melukai orang lain atau lebih buruk lagi, dicap sebagai orang gila dan aneh oleh masyarakat yang tidak memahami penderitaannya.

  Ini adalah kenyataan yang dihadapi oleh seorang pemuda berambut hitam pekat yang kini mengurung diri di kamarnya. Dia merasa lelah dengan hidupnya yang penuh komplikasi, dan berpikir bahwa menjauh dari keluarganya mungkin adalah solusi terbaik untuk mencegah mereka menjadi korban dari dirinya sendiri.

  Ia tahu bahwa keluarganya menerima keadaannya saat ini. Tapi, ia tetap tak bisa melukai mereka dan membuat kesalahpahaman lagi. "Cukup, ini adalah terakhir kalinya," decaknya kesal pada dirinya sendiri.

  Terdengar jelas di telinga pemuda itu, suara isak tangis kakaknya belum berhenti. Namun, kakak perempuannya itu masih membelanya di depan ayahnya yang sudah ingin menghajar putra bungsunya itu.

"Ren Xavier, keluarlah!" Teriak sang ayah lantang.

  "Sudah Ayah, aku tak apa. Ini hanya goresan sedikit hiks," jelas sang kakak lalu mengelus pipinya yang sempat tergores pecahan kaca akibat dorongan keras adik laki-lakinya tersebut.

  Sang kakak pun memegang pundak ayahnya, guna menenangkan amarahnya. "Ayah, sabarlah. Ren tak bermaksud melukaiku kok. Ayah tahu sendiri 'kan, penyakit Ren bagaimana."

  "Ayah tahu nak, tapi Ayah juga tak bisa diam jika Ren masih tak bisa mengendalikan dirinya. Lihatlah, kamu sampai terluka begitu. Apa kata orang-orang jika melihat luka di wajahmu itu. Bisa-bisa reputasi keluarga kita semakin buruk."

  "Aku tahu Ayah, tapi..."

  Tiba-tiba pintu kamar pemuda itu terbuka, memperlihatkan ia yang sudah siap dengan koper bawaannya. "Sekarang, kau mau apa lagi nak?" Tanya tegas sang Ayah berusaha meredakan amarahnya ketika melihat anak bungsunya itu telah lengkap, bersiap-siap untuk pergi.

  "Maaf Ayah, mungkin aku akan mengurus diriku sendiri. Aku janji akan datang kembali setelah aku sembuh dari penyakit ini. Maaf telah merepotkan kalian."

  Ayahnya yang tegas pun, lantas mengusap pundak anak bungsunya itu. "Itu baru anak Ayah. Ketika kau sembuh nanti, datanglah kembali dan ambillah kursi Ayah. Aku yakin, di saat itu, semua karyawan akan menyambut mu dengan benar."

  "Ayah, apa ayah tega membiarkan Ren pergi dari rumah?" Tanya kakak kandung Ren yang bernama Livia, menghapus air matanya yang hampir mengering tersebut.

  Sang Ayah terdiam sejenak. "Ren, kalau kau pergi, apa kau yakin bisa mengurus (mereka) nak? kau butuh seseorang yang mengerti untuk membantumu mengontrol kepribadian-kepribadianmu itu," tambah sang Ayah, mulai mengkhawatirkan beberapa kemungkinan besar yang akan terjadi.

  Ren langsung menggenggam tangan Ayahnya, guna meyakinkan ayahnya bahwa ia akan baik-baik saja. "Tenang Yah. Ren janji akan mengatasinya seorang diri. Mungkin butuh beberapa waktu, tapi aku sudah cukup bisa berkomunikasi dengan (mereka)."

  Tanpa basa-basi, sang ayah langsung memberikan sebuah kartu rekening untuk Ren. Ren pun melepaskan genggamannya lalu menerima kartu itu. "Mintalah pada ayah jika kau butuh lagi."

  "Terima kasih Ayah."

  "Oh yah Ren. Kalau bisa, singkirkan dulu si Jaiden itu. Sumpah, di antara kepribadianmu yang lain, dia yang paling bermasalah dan paling merugikan orang-orang di sekitar. Asal si Jaiden itu pergi, mungkin hidupmu bisa mendingan Ren," ungkap Livia serius.

  "Lihatlah, aku sampai terluka karena dia muncul. Kalau sampai si Jaiden yang super kasar itu masih ada, aku tak segan-segan yah membantu ayah menghajar mu," tambahnya dengan nada sedikit mengancam karena sedikit kesal atas perkelahian kecil yang baru saja terjadi antara dia dan adik satu-satunya tersebut.

  Ren hanya tersenyum lalu berpamitan pada keluarganya. Ia sendiri ragu akan keputusan dadakan yang ia buat. Tetapi jika tidak, ia akan terus terpuruk akan keadaannya saat ini. Bisnis keluarganya yang sukses, tak mungkin ia hancurkan hanya karena orang-orang yang mulai kehilangan kepercayaan pada kejiwaan penerus Ayahnya yang sudah tua.

  Ya, Ren adalah satu-satunya penerus asli toko kue manis yang sudah dikenal luas oleh para masyarakat dengan kelezatan dan kelembutan yang khas ala keluarga Xavier. Namun, kondisi kejiwaan yang dialami Ren membuat ia belum bisa dipercayakan oleh sang Ayah untuk mengambil alih bisnis.

  Belum lagi, orang-orang yang terus mengatainya sebagai orang aneh dari keluarga Xavier. Di kota ini, namanya sudah sulit untuk dibersihkan. Rasanya, tidak ada gunanya ia berjuang untuk kesembuhan dirinya di kala orang-orang toxic terus menerus menyerang mentalnya.

  "Mungkin, dengan begini aku bisa menjaga mereka," gumam Ren kecil menatap rumahnya dari luar.

  Di sisi lain, dua orang ibu-ibu yang mendengar perkelahian mereka tadi, tanpa basa-basi membicarakan Ren yang kini berpenampilan tampak kacau dengan koper di tangannya.

  "Aduh, hartanya saja yang kaya. Tapi keluarganya tak bahagia. Pantas saja ibunya tak ada. Sekarang, anak bungsunya yang diusir. Yah, siapa juga yang mau punya anak macam dia. Dasar anak yang problematik, kelainan jiwa."

  Melihat wajah Ren yang tampak sedih, Sang Ayah langsung memberikan sebuah kunci mobil untuk dipakainya. "Ambillah ini, jangan perdulikan perkataan tak mendasar mereka."

  Livia mendekat lalu menepuk bahu Ren dan berkata. "Pergilah. Jangan sampai mengacau di kota orang. Dan yang paling penting, bawakan aku adik ipar yang cantik yah."

  Ren pun tertawa kecil mendengar candaan kakaknya. Setelah itu, berpamitan lagi pada keduanya. Akhirnya, hari yang diawali dengan pertengkaran tersebut berakhir dengan perpisahan yang manis.

  "Aku pergi dulu Ayah, Kakak."

  🌠🌠🌠

  "Jannie, cepatlah kembali. Motor itu rem-nya belum diperbaiki. Sudah kubilang jangan pakai motormu itu dulu," ungkap pesan suara yang dikirimkan oleh bosnya.

  "Apa?," keluh seorang gadis yang berniat memulangkan motornya yang ternyata belum siap pakai tersebut. Bagaimana pun juga, ia harus kembali secepatnya. Bisa-bisa ia dipecat jika sampai motor yang telah menjadi modal kerjanya itu rusak.

  Sementara itu, Kring kring...

  Suara telepon berbunyi membuyarkan fokus Ren yang sedang menyetir di tengah lebatnya hujan dan terjangnya liku-liku jalan sepi yang ia lalui di gelap malam yang sunyi.

  "Halo? Halo... Aku tidak mendengar perkataan Ayah, di sini hujan deras."

  "..."

  "Iya Ayah, aku masih dalam perjalanan. Sudah dulu yah," ucapnya masih berusaha fokus ke jalanan. Namun, Handphonenya tak sengaja terjatuh ketika ia mau menyimpan di kursi sebelahnya.

  "Sial. Jatuh lagi," keluhnya, berusaha meraih ponselnya yang terjatuh ke lantai mobil sambil tetap mengemudi di tengah hujan lebat yang membuat pandangannya kabur.

  Ketika matanya kembali ke jalan, tiba-tiba sekilas cahaya terang menembus kaca depan mobilnya, membuatnya terkejut dan jantungnya berdegup kencang.

  Dengan perasaan panik, Ren refleks memutar setirnya setelah melihat motor melaju tak terkendali ke arahnya, dan akhirnya~

"Aaaakkh..."

  Buaghh...





Lima Jiwa dalam RagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang