°°°°
Cio menggenggam tangan Gea, menoleh sembari tersenyum memberikan kekuatan untuk lebih berani. Semua yang memperhatikan itu jadi panas sendiri. Ketika Gea mengangguk kecil, pemuda itu melepas genggamannya. Gea pun mengambil napas dan mengeluarkannya perlahan.
"Terima kasih sebelumnya atas pengertian Kak Tara, tapi izinkan saya Menjelaskan semuanya sekaligus. Jadi progres kami sudah di tahap mendatangi sponsor, tetapi ditolak oleh ketiganya. Alasannya ada yang sudah full jadwal sponsornya, dua lainnya tidak tertarik karena benefitnya sama seperti tahun lalu, tapi ternyata tidak berimpact apa-apa dengan produk mereka. Yang keempat, saya belum melanjutkan karena sudah terlalu lelah. Apalagi Gigi yang menemani saya waktu itu tidak membantu apa-apa selain duduk manis di samping saya dengan mulut tetap terkunci. Mungkin karena sudah terlalu lelah dan marah, saya meninggalkan Gigi begitu saja. Maaf karena sudah pergi gitu aja." Mata Gea memandang Gigi.
"Alasan saya marah karena semuanya saya kerjakan sendiri. Dan yang paling banyak membantu saya adalah Kak Sonya saat penyusunan proposal. Saya memang ketua yang bertanggung jawab dalam divisi ini, saya ingin memarahi anggota, tetapi rasanya kurang sopan karena salah satu dari mereka adalah senior."
"Maaf menyela, saya sudah izin dengan Gea kalau saya ada keperluan dan dia mengizinkan," ujar Deta membela diri.
"Lo izinnya sekali, tapi hilangnya berhari-hari, di saat gue koar-koar di grup gak ada yang muncul sama sekali," ceplos Gea yang spontan sampai lupa memakai bahasa formal.
"Lo bisa chat gue secara pribadi, pasti gue bantu. Lo sendiri yang punya inisiatif buat ngerjain sendiri, kenapa malah nyalahin gue." Deta masih tidak mau disalahkan.
"Kalau lo inget tanggung jawab seenggaknya lo punya inisiatif buat liat grup tanpa harus gue pc duluan!" Suara Gea meninggi sekarang.
"Kalau lo capek, lo bisa lempar proposalnya ke grup. Pasti gue kerjain." Kini Lika bersuara, orang yang sama sekali tidak muncul dari awal.
"Bacot lo! Gak usah sok bilang mau ngerjain, minimal muncul di grup," celetuk Gea yang kini terihat emosi.
"Tolong kondusif," tegur Krisna, karena mereka jadi bersahut-sahutan dengan cepat.
"Lo salah, Ta," ujar Sonya. "Kalian bertiga salah." Sonya melihat Lika, Deta, dan Gigi secara bergantian. "Gue maklum Gea sampai marah dan ninggalin Gigi, meskipun itu bukan tindakan yang tepat juga." Kali ini Gea yang dipandang.
"Gue pindah divisi aja deh, gue gak cocok sama kepribadian Gea yang sering marah," ujar Deta.
"Gak bisa gitu, Ta." Tara menggeleng.
"Gak apa-apa, Kak. Pindahin aja Kak Deta ke divisi lain, sekalian yang dua lainnya juga. Saya bisa kerjain sendiri, toh ada mereka pun gak ada gunanya," ujar Gea berusaha untuk kembali formal, tetapi masih campur-campur.
"Kok lo gitu, sih, Ge?!" Gigi tidak terima atas hinaan yang dilayangkan Gea pada gadis itu.
"Fakta." Singkat, jelas, dan padat.
"Kalian kalau tidak bisa tenang lebih baik keluar," tegur Krisna sekali lagi.
Tara mengembuskan napas, pemuda itu pusing sekarang. Lalu melihat semua orang di sana. "Ada yang mau di-rolling ke divisi sponsor?" Tak ada yang menjawab.
"Diperbaiki dulu, Tar. Jangan langsung dipisahkan, mereka punya tanggung jawab," usul Krisna karena kurang setuju.
"Oke." Tara mengangguk. "Deta, Gigi, Lika, kalian tau kesalahan kalian, kan?" Mereka bertiga mengangguk. "Dan Gea, jangan pakai emosi, selesaikan dengan kepala dingin."
Gea sudah tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Menganggap semuanya tidak apa-apa sangat mustahil. Ia sudah terlalu malas dengan ketiganya. Ia tahu dirinya salah, tapi mereka juga salah. Mungkin lebih baik mereka berpisah dengannya.
Cio menoleh, melihat gadis yang menatap Tara tanpa tenaga. "Tenang, Ge," bisik Cio membuat Gea menoleh. Senyuman pemuda itu mengisi daya energinya. Di tengah situasi seperti ini, Cio mampu memberikan kekuatan hanya lewat senyuman.
Gea kalah, senyuman lembut itu meleburkan perasaanya. Bagaimana cara Cio menatapnya begitu meluluhkan. Kebencian yang ia rasakan bahkan tak terlintas sama sekali sekarang. Nyatanya, kebenciannya tak cukup untuk membuatnya berhenti mencintai pemuda itu, ia seakan tak memiliki alasan untuk berhenti.
Merasa lebih baik, ia mulai berani memandang Deta. "Maaf, Kak, kalau gue gak sopan sama Kakak." Fina tersenyum mendengarnya, Gea berhasil menurunkan egonya kali ini. "Gigi, maaf udah ninggalin lo dan buat Lika, maaf kata-kata gue kasar sama lo." Gea memasang senyum, tetapi di dalam hati ia masih dongkol. Gea harus menurunkan egonya, jika tidak ia akan didepak dari organisasi ini.
"Deta, Gigi, Lika? Bagaimana tanggapan kalian?" tanya Tara pada ketiga gadis itu. Permintaan maaf Gea menciptakan atmosfer yang berbeda, ada rasa canggung dan simpati yang dirasakan anggota lainnya.
"Saling maafan aja udah, saling perbaiki diri," ujar Sonya tiba-tiba karena begitu lama keheningan di sana.
"Gue maafin lo, sorry juga atas sikap gue," ujar Deta pada akhirnya.
"Gue juga minta maaf," ujar Gigi.
"Maaf, Ge." Lika menyatukan tangannya, menatapa Gea dengan genangan air mata karen adis itu memang mudah menangis.
"Oke, sudah clear ya?" tanya Tara. "Selanjutnya kalian diskusikan lagi untuk sponsor lainnya. Kalau memang kebingungan konsultasi ke saya boleh atau mau tanya yang lain juga boleh, kita saling membantu aja."
"Maaf menyela, selagi kita sedang mambahas sponsor, saya ada masukan," ujar Dimas, pemuda berkaca mata yang duduk di samping Krisna.
"Boleh," ujar Gea mempersilakan.
"Ada coffe shop yang lagi naik daun di daerah Juanda sana. Bisa coba ke sana, karena kalau sponsor kita yang lagi tren bisa gaet lebih banyak pengunjung."
"Emangnya mereka mau?" tanya Krisna. "Sekelas coffe shop. Mereka gak akan mengeluarkan uang untuk sponsor."
Dimas menepuk tangan sekali, lalu menunjuk Krisna. "Nah ... tau Skyline? Perusahaan yang berjalan di jasa pelayaran? Di armada kapal yang muat penumpang ada coffe shopnya, ada yang rela naik kapal itu cuma buat nyobain kopi sama gelatonya. Nah sekarang mereka buat bisnis itu turun ke darat."
"Skyline?" Gea bergumam, merasa tak asing dengan nama perusahaan itu.
Dimas menoleh pada Gea. "Tau, kan, Ge?"
Gea mengerutkan kening, masih belum mengingat di mana jelasnya ia tahu nama itu. Sementara Cio memandang Gea dengan tatapan tak percaya karena tak kunjung menjawab pertanyaan Dimas.
"Tau," sambar Cio dengan mengangguk.
"Tuh Cio tau, Nama coffe shopnya sama kok, Skyline."
"Oke ... nanti dicoba ke sana," ujar Gea mengangguk. Dimas tersenyum lalu mengacungkan jempol merasa senang karena sarannya diterima dengan baik. Setelah itu mereka melanjutkan diskusi ke divisi lain. Rapat itu berlangsung selama tiga jam lamanya. Dan Gea yang ingin berbicara dengan Cio sekarang bingung mencari keberadaan pemuda itu. Cio keluar lebih dulu tadi, tetapi kenapa secepat itu dia menghilang.
"Cari siapa, Ge?" tanya Fina yang melihat Gea berputar-putar.
"Kak Cio."
Tangan Fina menunjuk. "Tuh, yang lagi jongkok hadap-hadapan, itu Kak Cio sama Kak Nadin, kan?"
Napas Gea berhenti sebentar melihatnya, dadanya terasa sesak setelahnya. Ada aliran panas yang merambat di sana. Cio itu jenis manusia seperti apa sebenarnya? Kenapa dia pandai sekali mempermainkan Gea seperti ini?
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
NEXT LEVEL
Teen FictionGea bertemu dengan kakak kelasnya dulu, pemuda yang sudah menolaknya hingga membuat dirinya malu selama dua tahun. Namun, Gea yang sekarang sudah naik level dan kini ia akan balas dendam kepada pemuda itu dengan membuat pemuda itu jatuh hati. Akank...