XV. Kitanya yang Indah

14 3 0
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***






Seperti tengah ketahuan, ekspresi Cio yang awalnya terkejut kini menyengir.  Gea lantas turun dari sepeda dan langsung menghampiri Cio yang duduk di pot kotak besar yang terbuat dari semen. 

"Pak saya mau juga, tapi bungkus empat ya!" Bapak penjual mengacungkan jempol, lalu fokus Gea beralih pada Cio yang sedang memakan es jelinya di mangkok. "Kenapa tiba-tiba di sini?"

“Kebetulan lewat, jadi mampir,” jawab Cio kemudian menyendok jeli berbentuk bulat itu ke mulutnya. Pipi pemuda itu menyembul bulat, membuat Gea terkekeh lalu menyentuh pipi Cio dengan jarinya karena terlihat menggemaskan.

“Jangan, Ge,” kata Cio yang menjauhkan kepala sambil menguyah jeli itu.

“Bohong itu, Mbak,” sahut sang penjual jeli.

“Bohong kenapa, Pak?”

“Masnya kangen itu, dari tadi tanya-tanya soal Mbak ke saya,” kekeh bapak itu yang membuat Cio melotot sempurna. Pemuda itu langsung berpaling ketika Gea menoleh.

Sambil menyenggol pelan Gea berkata, “Cie … ada yang mulai kepo-kepo, nih.” Cio semakin balik badan. Tak menyerah Gea langsung berdiri, memegang kedua bahu pemuda itu lalu meletakkan dagunya di bahu sebelah kiri. “Udah mulai sayang ya?” tanyanya dengan nada menggoda.

“Apa, sih? Makan jeli jadi gak tenang,” keluh Cio tak menanggapi perkataan Gea.

Gea Kembali ke posisinya, senyum gadis itu terbit dengan mata menatap jalanan, pipinya menggembung lalu mengeluarkan napas untuk mengurangi rasa gugupnya sekarang. Ia juga melipat bibirnya ke dalam untuk tidak salah tingkah, bohong jika dirinya tidak tersipu saat ini. Meski kulit pipinya bukan jenis kulit yang mudah memerah, tetapi rasa hangat yang menjalar dari sana menjadi bukti jika dirinya teramat senang.

“Kalau kangen gue tinggal telfon, gak susah kok,” ucap Gea saat tahu jika Cio sudah kembali ke posisi awal.

Cio yang memperhatikan Gea terdiam sejenak, apalagi ketika dua tangan gadis itu saling mengusap. Gea ceroboh malam ini, gadis itu memakai baju tidur berbahan tipis saat keluar rumah.

“Lo gak kedinginan?”

Gea menggeleng.

“Bohong banget." Pemuda itu meletakkan mangkok kosong di sampingnya lalu melepas jaket, menyisakan kaus putih selengan.

“Eh! Ngapain dibuka? Rumah gue deket, lagian angin malamnya gak dingin banget, seger malah.”

Cio tak menghiraukan, jelas gadis itu berbohong, apalagi telinga Gea sudah memerah. Tak banyak bicara, Cio langsung menyampirkan jaketnya ke tubuh Gea. Lalu meraih tangan Gea untuk digenggam.

"Tangan lo dingin," komentar Cio seraya memerhatikan tangannya yang berusaha menghangatkan tangan Gea. Meski gadis itu berusaha menarik, tetapi cekalan Cio lebih kuat.

NEXT LEVELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang