Sari Nurbaya

686 7 4
                                    

Begitulah, mulai malam itu aku menjadi milik Pak Damar. Kapanpun diinginkan, aku harus datang untuk melayani nafsunya.

Hari-hari pun kulalui dengan penuh gundah dan perasaan tertekan. Seolah hidup ini telah terjajah.

Tubuh mungil dan mulus ini sudah menjadi milik orang. Sekedar untuk membayar hutang!

Perasaan jijik dan amarah terus mengguncang diriku. Teringat bagaimana bandot itu menjamah tubuhku.

Ingin rasanya membunuh orang itu. Atau mungkin bunuh diri saja?!

Aku sudah tak suci! Direnggut tanpa keinginanku pula!

Karena alasan reliji, aku tak melakukannya. Mungkin ini sudah takdir hidupku. Mengorbankan diri untuk keluarga.

Semoga tak ada perempuan sepertiku di luar sana!

Perasaan nyeri di dada dan vagina juga masih terasa. Terngiang-ngiang bagaimana Pak Damar menyedot putingku seperti bayi kelaparan. Dan bagaimana penisnya menyodok-nyodok kemaluanku!

Ah, rasanya masih saja sakit! Baik fisik ataupun mental!

Semoga saja aku bisa kuat menghadapi semua ini. Harus bertahan hingga hutang keluargaku lunas.

Siti Nubaya masih ada, saudara-saudara! Di sini mungkin namanya Sari Nurbaya!

Malam minggu berikutnya, hatiku berdegup kencang. Pasti Pak Damar akan memanggilku.

Rasanya seolah akan menghadapi ujian.

Ujian hidup!

Aku sudah mandi dengan bersih dan bersiap diri di kamar. Parfum kusemprotkan di tubuh selayaknya.

Pakaian pun sudah kupilih. Kemeja dan celana panjang jins hasil dari gajiku. Jilbab hitam polos juga kusiapkan.

Wajah kuolesi bedak dan sedikit lipstik. Aku harus nampak cantik di hadapan pemangsaku. Jangan sampai memalukan!

Kutunggu panggilan Pak Damar sambil rebahan di kamar. Tayangan televisi di ruang keluarga tak menarikku lagi.

Siapa yang tertarik dengan acara televisi jika sebentar lagi tubuh dan jiwamu hendak dijadikan budak nafsu?!

Kuhabiskan waktu dengan mengirim sms ke teman-teman. Berusaha melepaskan beban ini.

Dua orang teman permpuan, satu teman SMK dan satu teman kantor membalas dan kami saling bercanda lewat sms. Cukup menghibur hati yang terjajah ini!

"Belum ada panggilan dari Pak Damar?" tanya ibuku lirih masuk ke kamar.

"Belum," jawabku menghela nafas.

"Ya udah, tunggu aja!"

Kutunggu sampai malam, panggilan atau sms dari Pak Damar tak datang. Akupun tak bisa tidur menunggunya.

Entah jam berapa hingga akhirnya aku tertidur! Ternyata malam itu ia tak memanggilku.

Hati terasa lega. Tubuh ini lepas dari pemangsanya. Namun mungkin hanya untuk malam itu saja! Diri ini sudah resmi terjajah!

Hari Minggu yang biasa penuh dengan keceriaan keluarga pun tak menyenangkanku lagi. Beberapa saudara dan keponakan datang dari Bantul.

Biasanya aku senang dengan kehadiran mereka. Tapi entah kenapa hari itu tidak. Kebahagiaanku seolah telah terenggut oleh keluarga dan tetangga sendiri.

"Kamu kenapa, Sar?" tanya Isti, salah satu saudara sepupuku yang datang, lebih tua dua tahun dariku, "Banyak diem?"

"Nggak, nggak papa!" jawabku menggeleng dan berusaha tersenyum.

Sari NurbayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang