Pagi harinya, anusku teras nyeri dan sakit sekali. Apalagi saat buang air besar. Ah, apa yang bandot tua itu lakukan padaku?!
Tak puas dengan lubang depan, lubang belakang pun dibobol! Kurang ajar!
Untuk duduk saja rasanya sakit. Bokongku terus bergerak menahan rasa risih dan perih. Seperti masih ada benda besar yang menusuk-nusuk duburku. Oh!
Penderitaan macam apa ini?
Dan penderitaan ternyata belum berakhir. Pagi-pagi, ibuku pulang dari rumah Pak Damar berbisik padaku, "Mau diajak Pak Damar jalan tuh. Cepat mandi sana! Jam delapan ditunggu di rumahnya!"
"Mau kemana Bu?" tanyaku.
"Nggak tahu! Udah ngikut aja!"
Aku segera mandi dan menyantap sarapan yang telah disiapkan ibuku. Tak lupa berdandan cantik dengan mengenakan baju dan jilbab terbaik.
"Mau kemana Mbak?" tanya adik perempuanku menonton televisi saat melihatku hendak keluar.
"Ada, pergi sama Pak Damar," jawabku hampir menangis.
"Ohh," jawab adikku singkat dan termangu.
Oh, adik cantikku! Jangan sampai kau mengalami nasib sepertiku.
Kau harus pintar dan bisa berkuliah. Kau menjadi tumpuan keluarga ini sekarang! Kita harus keluar dari jerat kemiskinan ini.
Dengan penuh rasa sedih dan pasrah, aku berjalan kaki menuju rumah Pak Damar. Mobil minibus hitam miliknya sudah disiapkan di depan rumah.
"Udah siap?" tanya Pak Damar keluar dari rumah, "Ayo berangkat!"
"Mau kemana Pak?" tanyaku menunduk.
"Udah ikut aja!" jawabnya membuka pintu mobil.
"Diajak jalan-jalan Sar!" ungkap istri Pak Damar yang turut keluar rumah, "Sekalian ngurus bisnis bapak. Ikut aja. Temani bapak ya!"
Aku mengangguk dan segera memasuki mobil. Cuma kami berdua saja yang berangkat.
"Kenapa kamu duduknya begitu?" tanya Pak Damar di perjalanan melihat pinggulku terus bergerak tak nyaman, "Nggak enak kursinya?"
"Enggak Pak."
"Terus?"
"Anu, pantat saya sakit Pak," jawabku memberanikan diri, "Gara-gara semalam."
"Oh, belum biasa aja kamu!" hibur Pak Damar mengusap-usap pahaku sambil menyetir, "Nanti lama-lama juga terbiasa."
Aku hanya mengangguk tanpa bersuara.
"Mau pakai alas bantal?" tawar Pak Damar menunjuk bantal kecil yang terpasang di kursi untuk kepala, "Tuh, di belakang kepalamu copot aja!"
"Ah, nggak usah Pak! Begini saja nggak papa!"
Bantal untuk kepala tidak boleh diduduki. Kata orang-orang tua, bisa menimbulkan bisulan!
Aku sendiri percaya jika bantal untuk kepala memang tak elok jika mendapatkan pantat. Kepala adalah suci dan pantat tempat membuang kotoran. Energinya tak akan bagus. Bisa kualat!
Di sepanjang perjalanan, Pak Damar sesekali meraba dan mengusap pahaku. Seolah berusaha menenangkan penderitaan anusku.
Bahkan sentuhannya merambat ke selangkanganku. "Pak!" tegurku selembut mungkin sambil menahan tangannya.
Ia hanya tersenyum dan terus mencolek-colek vaginaku dari luar celana. Aku tak dapat menahannya. Tangannya cukup kuat.
Perasaan merinding dan bergairah justru muncul dari dalam tubuhku. Dilecehkan di dalam perjalanan begini ternyata menimbulkan sensasi tersendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sari Nurbaya
RomansKetika aku dan adikku dipakai untuk membayar hutang keluarga.