Dengan terpaksa, akhirnya Semesta menyetujui permintaan Juan untuk pulang ke rumahnya lagi.
Saat meninggalkan pemakaman, Semesta terus menengok ke arah belakang. Ia tidak tega meninggalkan Samudra sendirian di pemakaman. Semesta ingin menemaninya.
"Sampai jumpa dikesempatan yang lain, Bang Samudra."
-
Saat sudah sampai di rumah, Semesta langsung masuk ke kamarnya dan mengunci dirinya. Dunia yang dimiliki Semesta sekarang memang sedang tidak baik-baik saja.
Semesta hanya duduk dipinggir kasurnya. Ia melamun, pandangannya begitu kosong. Semesta tidak tau lagi harus bagaimana. Keluarganya sudah benar-benar habis. Tidak ada Ayah, Ibu, dan bahkan sekarang Samudra.
Semesta, benar-benar sendirian di dunia ini.
Semesta mulai beranjak dari tempatnya dan berjalan ke arah meja belajarnya. Disana, ia mengambil satu bingkai foto yang ia pajang di meja belajarnya.
Bingkai foto yang semesta pegang berisi foto dimana ia sedang digendong oleh Samudra saat Semesta masih bayi. Ia tidak tau persis dimana ia menemukan foto ini, namun Semesta bersyukur karena telah menemukannya.
Ia tersenyum tipis. Semesta juga menjadi teringat lagi saat-saat dimana ia memang benar-benar bahagia hidup di dunia ini.
"Semenderitanya Semesta hidup di dunia ini, Semesta tetap senang karena telah mendapatkan kesempatan hidup untuk menjadi salah satu tokoh dalam kehidupan Bang Samudra."
Semesta menyeka air matanya yang turun, "Sama seperti kata Bang Samudra, terimakasih dan maaf."
Nada kesedihan nampak terlihat sangat jelas dari suara Semesta. Belum ada satu hari penuh, ia sudah benar-benar rindu kepada Samudra. Ia rindu suara, pelukan, senyuman, dan bahkan semua tentang Samudra.
Semesta masih memegang bingkai foto itu dan ia mengelusnya. Kesedihan masih berada di dalam dirinya, sebenarnya memang iya Semesta belum ikhlas atas semua yang telah menimpanya.
Lagi dan lagi, Semesta menangis. Tangisannya tidak terdengar namun dapat dirasakan, rasanya sakit.
"Dunia emang jahat, Bang. Bahkan sangat jahat sampai Bang Samudra nggak kuat lagi buat ngejalanin hidup."
-
Juan sejak tadi sudah berdiri di depan pintu kamar Semesta yang tertutup rapat. Ia sejak tadi bingung bagaimana caranya ia membujuk Semesta untuk keluar. Sudah sejak pukul delapan pagi tadi Semesta tidak keluar, dan sekarang waktu sudah menunjukkan pukul setengah empat sore.
Setelah lamanya Juan berkelahi dengan pikirannya, akhirnya ia memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar Semesta perlahan.
*dok..dok...dok*
"Semesta, kamu udah daritadi ada di dalam. Keluar yuk? kamu juga belum makan apa-apa daritadi pagi.", ucap Juan, namun tidak ada jawaban sama sekali dari Semesta.
Sekali lagi Juan mengetuk, dan kali ini ia mengetuk lebih keras.
*dok..dok..dok*
"Semesta, ayo keluar. Kamu jangan kayak gini.", namun, lagi dan lagi Semesta tidak menjawabnya.
Juan mulai geram. Ia marah atas sikap Semesta untuk hari ini. Juan menganggap bahwa sikap Semesta kali ini adalah sikap yang kekanak-kanakan dan tidak dewasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Home || Enhypen
Teen FictionIni semua tentang siapa yang tersalahkan dan siapa yang bersalah. Dunia tidak sepenuhnya bergantung kepada uang. Terkadang, pola pikir manusialah yang terlalu bodoh. "Orang miskin kayak lo nggak akan pernah cocok ada di tempat ini, beda kasta." "Ja...