s a t u

130 26 2
                                    

Minji menekan tombol pin pada pintu apartemen sesuai dengan nomor yang ia ingat terakhir kali. Namun, berkali-kali ia mencoba, pintu tetap tidak terbuka. Padahal, ia baru menempati apartemen ini selama dua malam, tapi pin-nya sudah berubah.

Dengan frustrasi, ia mendecakkan lidah dan bahkan memukul tombol pin itu dengan harapan akan berfungsi, namun hasilnya tetap nihil.

"Sial, siapa yang menggantinya?"

"Kak Minji?"

Minji menoleh dan melihat Danielle yang sedang berjalan menghampirinya.

"Dani, apakah kau tahu siapa yang mengganti nomor pin-nya?"

Gadis Australia itu memiringkan kepalanya sedikit, "bukankah Kak Hanni yang menggantinya? Dia mengirimkannya di grup obrolan kita—sebentar, akan kucek lagi."

Danielle segera mengambil ponsel yang berada di saku roknya.

"Grup obrolan?" Minji bergumam pada dirinya sendiri.

"Ini dia, 761315," ucap Danielle, menyebutkan angka itu satu per satu.

Minji yang masih bingung kemudian menekan tombol-tombol pin dengan angka yang disebutkan Danielle. Setelah selesai, pintu benar-benar terbuka.

"Kenapa Hanni menggantinya?" tanya Minji saat mereka berdua memasuki apartemen.

"Dia bilang ada orang asing yang entah bagaimana mengetahui pin apartemen kita, jadi dia menggantinya," jawab Danielle sambil menekan saklar lampu.

"Darimana kau tahu?"

"Kak, itu ada di grup obrolan kita. Kau belum melihatnya?"

"Ah..." Minji mengusap leher bagian belakangnya. "Aku belum melihatnya hari ini."

Danielle tidak menanggapi lebih jauh, hanya berjalan menuju dapur diikuti oleh Minji. Mereka berdua, bersama Hanni dan Haerin, baru saja saling mengenal selama dua hari sejak tinggal bersama di apartemen ini. Tujuannya adalah untuk mengurangi beban biaya masing-masing.

Jadi, rasa canggung itu masih ada. Mungkin jika bukan karena pin yang telah diganti, Danielle dan Minji hanya akan bertukar sapaan di depan pintu.

"Apa yang kau bawa itu?" tanya Minji saat melihat Danielle meletakkan plastik yang cukup besar di meja makan. Sementara itu, ia sendiri sudah duduk dengan nyaman di kursi makan.

"Aku membawakan tteokbokki untuk makan malam kita hari ini. Aku membelinya dari restoran favoritku, jadi kupikir kalian akan menyukainya juga," jawab Danielle setelah selesai mencuci tangannya di wastafel. 

Minji tersenyum, melihat Danielle yang mengeluarkan makanan itu satu persatu dari plastiknya. Yang Minji tahu selama ia berbagi apartemen dengan gadis keturunan Australia ini adalah hatinya selembut wajahnya saat tersenyum. Ia bahkan memikirkan teman serumahnya yang lain di saat Minji sama sekali tidak berpikiran tentang itu.

"Seharusnya aku juga membelikan sesuatu untuk kalian semua tadi."

"Tidak, tidak apa-apa, Kak. Kau pasti kelelahan setelah pulang bekerja, aku memaklumi itu." Jawaban dari Danielle cukup untuk meluluhkan hati Minji.

Benar, kan? Danielle adalah gadis yang lembut.

Bunyi derit pintu yang sengaja dibuka mengalihkan perhatian mereka berdua, seolah-olah bunyi tersebut menggema ke seluruh ruangan.

"Ah, sepertinya itu Kak Hanni," ucap Danielle sambil berpikir.

Minji hanya mengawasi dengan matanya saat Danielle memilih untuk memeriksa siapa yang tiba di apartemen.

"Kakak! Tak kusangka kau pulang lebih awal dari biasanya."

Seruan dari Danielle itu terdengar dari arah dapur. Minji yang berada di sana menoleh, kedua gadis yang sama-sama pernah tinggal di Australia itu berjalan beriringan untuk bergabung dengan Minji di dapur.

Bukan tanpa alasan mengapa mereka berdua cepat akrab. Hanni dan Danielle sering berbagi cerita tentang kehidupan mereka selama berada di negara itu, saling mengisahkan pengalaman dan kenangan.

Itu sebabnya mereka tampak selaras saat berbincang berdua.

"Kalian sudah bersiap untuk makan malam?"

"Oh? Hanni kau juga membawa sesuatu?" Minji terkesiap, pasalnya Hanni yang juga membawa plastik belanjaan di tangannya.

"Ah, ini, hanya beberapa bahan makanan yang siapa tahu bisa aku olah untuk kedepannya. Agar menghemat biaya." Hanni meletakkan bahan belanjaan itu di lemari dapur lalu duduk di hadapan Danielle dan Minji.

Kedua gadis itu mengangguk tanda mengerti. Sementara Danielle mempersiapkan tteokbokki, suara notifikasi terdengar dari ponsel mereka bertiga.

"Oh, Haerin mengirim pesan."

Apartemen No. 503

kang haerin
| Apakah sudah ada yang di rumah?
| Maaf, aku ada latihan mendadak jadi tidak bisa bergabung dengan kalian.
| Maaf, kak.

Ketiganya menatap pesan dari Haerin tersebut dengan perasaan yang tidak bisa ditebak, akhirnya pesan tersebut ditinggalkan tanpa ada balasan apapun.

"Apakah anak SMA sekarang sesibuk itu?" gumam Minji setelah membaca pesan Haerin di grup obrolan.

"Aku juga tidak tahu," jawab Danielle sambil kembali duduk. "Terkadang aku bersyukur karena sudah lulus SMA dua tahun lalu."

"Benarkah? Aku lulus tiga tahun yang lalu. Rasanya bahagia sekali saat masih SMA," kata Minji mengenang masa-masa sekolahnya.

Danielle tersenyum, "Kita harus makan malam dulu, Kak Minji. Setelah itu, kita bisa mengeluh tentang kehidupan."

Minji terkekeh mendengar penuturan Danielle.

"Selamat makan."

Hanya terdengar suara sumpit yang beradu dengan mangkuk di hadapan mereka. Semuanya larut dalam pikiran masing-masing sambil menikmati makanan mereka.

Hanni melirik ke ponselnya yang tergeletak di sebelahnya. Notifikasi dengan nama Haerin masih terpampang di layar, belum sempat dibukanya.

"Dia pulang terlambat, lagi."

·–·

flatmateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang