e m p at

114 18 2
                                    

Udara dingin masih setia menyelimuti seluruh penjuru kota beserta penduduknya. Salju tak pernah absen untuk turun memperlihatkan wujudnya sejak kemarin. Beberapa dari mereka memilih untuk diam di rumah dan menghangatkan tubuhnya.

Hanni, yang sedang dalam perjalanan pulang memilih berhenti sejenak untuk menikmati makanan hangat yang di jual di pinggir jalan.

Hoppang menjadi salah satu makanan favorit nya di musim dingin, atau, mungkin ini satu-satunya makanan musim dingin yang ia sukai.

Meski, salju tahun ini adalah salju pertamanya di sini semenjak ia merantau dari tempat kelahirannya, Australia, tak terhitung sudah berapa kali ia memakan Hoppang sejak musim dingin tiba.

Danielle selalu membawa makanan ini saat dirinya pulang bekerja. Gadis itu membawanya untuk dimakan bersama tentunya.

Seakan menjadi kebiasaan. Hanni maupun dua teman serumahnya yang lain sudah hafal akan sifat Danielle yang selembut wajahnya saat tersenyum. Danielle itu seperti matahari, cahayanya tidak pernah redup.

Haerin juga menyukai Hoppang, dan menjadi orang pertama yang menghabiskan makanan ini dengan cepat.

Bicara tentang Haerin,

Hanni belum berbicara dengannya seminggu ini.

Pada dasarnya yang Hanni ketahui, Haerin bukan orang yang banyak bicara. Gadis itu hanya bicara saat ada hal penting yang ingin ia katakan.

Namun situasi ini sedikit aneh dan ada yang janggal menurutnya. Hanni juga tidak tahu mengapa ia merasakan jika Haerin berusaha menjaga jarak darinya.

Walaupun ia dan Haerin jarang sekali memiliki waktu untuk berdua.

·–·

Pintu apartemen terbuka, dan tertutup begitu ia melangkahkan kakinya untuk masuk. Sesuai dugaan Hanni, hanya ada Minji di dalam. Danielle sudah pasti memilih bersama teman-temannya di luar.

"Sudah kuduga Haerin pasti pergi entah kemana sepulang dari sekolahnya." Minji yang duduk di ruang tamu itu menghela napas beratnya.

Hanni tersenyum geli sambil meletakkan coat-nya pada gantungan baju di ruang tamu, "kau berbicara seperti kau adalah ibunya," celetuknya setelah itu.

Minji melontarkan kekehan khasnya yang terdengar lembut di telinga Hanni. Dua gadis seumuran itu kini duduk bersandar di sofa ruang tamu, bedanya kini Minji tidak lagi menggenggam ponsel seperti sebelumnya.

"Entahlah, setiap kali aku melihat orang yang lebih muda dariku, aku merasa memiliki tanggung jawab," ucap Minji menatap lurus ke arah jendela.

"Tanggung jawab untuk?"

"Menjaga mereka, tentu saja."

"Lalu untuk orang yang seumuran denganmu seperti aku, kau tidak akan menjaga kami?" tanya Hanni lagi sangking penasarannya.

Minji memutar bola matanya jengah ke arah Hanni.

"Terserah, aku tidak akan mengulangi perkataan ku."

Hanni tertawa sementara Minji sudah mengerucutkan bibirnya lucu. Dengan jahil Hanni mencubit pipi kanan Minji yang terasa hangat, padahal cuaca di luar sedang dingin.

"Aigo, aku tidak tahu kau bisa merajuk seperti ini," ledek Hanni dengan bercanda.

Entahlah, menurut pandangannya, Minji yang seperti ini terlihat lucu. Membuatnya ingin melihat sisi Minji yang seperti ini terus-menerus.

Hanni terus memainkan pipi milik Minji sambil senyumannya tak pernah pudar dari wajahnya. Jujur, ini pertama kalinya Minji melihat senyuman Hanni yang lebar seperti itu.

Matanya bahkan ikut tersenyum ketika dirinya melebarnya senyuman di bibirnya. Suara lembut menyapa telinganya, seakan menjadi terapi.

Hatinya menghangat, terlebih lagi alasan dibalik senyuman tersebut, adalah dirinya.

"Hanni..."

Senyuman lebar itu perlahan turun dan menjadi seutas senyuman tipis. Bersamaan dengan tangannya yang menyeluruh ke bawah, meninggalkan kesan yang sangat berarti bagi Minji sendiri.

Minji menatap lurus kedua netra di depannya itu dengan amat dalam. Tatapan yang berbeda dari biasanya ketika ia menatap Hanni.

Bahkan Hanni pun menyadari itu.

"Kau pernah jatuh cinta?"

Hanni balik menatap lekat netra Minji dengan tatapan tak jauh berbeda.

Pertanyaan yang telah ia dengar dari banyak orang selama bertahun-tahun. Dan jawabannya tetap sama setelah bertahun-tahun juga.

"Mustahil jika manusia tidak pernah jatuh cinta sekali dalam seumur hidupnya, bukan? Sekalipun itu adalah manusia fiksi, atau bahkan orang yang tidak pernah ditemuinya."

Hanni masih mempertahankan senyum di wajahnya, yang kali ini mengundang Minji untuk membalas dengan sebuah senyuman juga. Satu anggukan dari Minji menjadi balasan dari pernyataan Hanni.

"Then, do you believe in love at first sight?"

Kali ini Hanni berpikir sejenak untuk menjawab pertanyaan kedua dari Minji. Seketika kebingungan menyelimuti isi pikirannya.

Jika boleh jujur, sampai saat ini Hanni belum bisa memastikan.

Apakah dia menyukainya atau tidak.

"Aku–"

Keduanya berjengit kaget secara tiba-tiba. Sontak mereka menoleh ke sumber suara yang mengganggu momen mereka berdua.

Minji mengumpat dalam hati.

Suara itu berasal dari pintu apartemen yang terbuka. Sebenarnya pintu tersebut terbuka secara perlahan dan tidak tahu mengapa kedua gadis itu bisa sampai kaget setengah mati.

Mungkin karena mereka sedang fokus.

"Haerin, kau sudah pulang ternyata."

Yap, itu Haerin. Lengkap dengan seragam sekolahnya, berdiri di depan pintu dengan tatapan yang tidak dapat diartikan.

Sorot bola mata kucingnya itu langsung bertemu dengan mata Hanni, kemudian ke Minji secara bergantian.

Minji bangkit dari duduknya lalu berjalan menuju dapur, sambil tangannya mengkode kepada Haerin agar masuk dan mengikutinya.

"Aku tahu kau belum makan siang, ayo makan sebentar-"

"Tidak perlu, aku sudah makan."

Langkah Minji terhenti begitu saja sebelum sampai ke dapur. Reflek menoleh ke arah Haerin dengan herannya.

"Kau sungguh?" tanya Minji.

Bukan apa, air wajah Haerin nampak seperti orang yang belum makan apapun selama seharian. Membuat Minji sedikit khawatir dengan kondisinya.

"Iya, Kak." Haerin mengangguk meyakinkan. Bahkan tatapannya sengaja ia kunci pada netra Minji agar kakak tertuanya itu mempercayainya.

Minji tidak mudah sepercaya itu dengan perkataan orang. Ia lebih mempercayai apa yang dilihat di matanya daripada pengakuan orang itu sendiri.

Tapi lagipula, Minji juga bukan siapa-siapa Haerin. Maka dari itu ia pun tak berani untuk menyelidiki Haerin lebih jauh. Terlebih mereka berdua yang belum terlalu dekat.

Disitu tatapannya bertemu dengan Hanni, seolah mereka berdua saling bertukar pikiran. Tatapan Hanni tidak jauh berbeda dengan dirinya.

Lalu Minji menghela napas, "kau tahu aku mempercayaimu, Haerin. Jika lapar kau boleh memanggilku di kamar. Aku tidak ingin kau merasa kelaparan sepanjang hari."

"Masuklah, udara di luar semakin dingin."

·–·

terimakasih atas votenya di chapter-chapter sebelumnya, aku sayang kalian semuaa

flatmateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang