t i g a

129 28 5
                                    

Ding dong!

Pagi itu, sinar mentari menyusup masuk ke dalam apartemen menciptakan siluet-siluet indah di sekitar ruangan. Ketenangan itu terusik oleh suara bel  yang berdering, entah siapa yang datang sepagi ini.

Hanni, masih bergelung di dalam selimutnya, menjadi satu-satunya yang terbangun karena suara bel yang nyaring itu. Ia menggosok-gosok matanya dalam kebingungan. Dengan langkah tertatih-tatih menahan kantuk yang masih ada, ia menapaki lantai apartemen untuk membukakan pintu.

"Halo."

Di depan sana, gadis tinggi dengan pakaian kasualnya membungkuk memberi hormat kepada Hanni. Perawakannya lebih tinggi daripada Hanni sendiri.

"Ada keperluan apa kesini?"

Hanni tidak mengenal siapa yang berdiri di depan pintu sekarang, dan apa perlunya datang di apartemen ini.

Tapi nampaknya, Hanni seperti pernah melihat wujudnya sekilas.

"Apakah Kak Haerin sudah bangun? Aku adiknya, namaku Hyein," jelas gadis itu.

"Ah, Hyein? Tunggu sebentar aku akan memeriksanya."

Hanni melangkah menjauh dari sosok yang ia tahu sebagai adik dari Haerin menuju kamar di gadis bermata kucing. Melalu pintu yang sudah dibuka sedikit, Hanni bisa melihat Haerin yang masih tertidur nyenyak seperti putri dalam dongeng.

Rasanya enggan untuk mengganggu kenyamanan itu, namun, Hanni yakin kedatangan Hyein kesini pasti bukan tanpa alasan. Mungkin saja ada sesuatu yang ingin dibincangkan.

"Haerin, adikmu datang."

Satu panggilan belum berefek apa-apa.

"Haerin..."

Hanni akhirnya memutuskan mendekat ke tempat tidur untuk melihat wajah Haerin lebih jelas.

Untuk sejenak ia terpaku, tersentuh oleh pesona Haerin yang terpancar bahkan dalam tidurnya yang lelap. Ada sesuatu yang sangat familiar dan memikat tentang Haerin yang membuatnya tak bisa berpaling.

Hanni bisa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat, seperti saat pertama kali mereka saling bertatapan di halte bus.

Hanni yakin itu adalah orang yang sama.

"Haerin, adikmu datang kesini." Hanni menggoyangkan tubuhnya sekali lagi, dan itu berhasil membangunkannya.

"Hah? Apa– siapa?"

Hanni tersentak sedikit, melihat Haerin yang tiba-tiba terduduk dan mengatakan itu dengan linglung.

"Adikmu, namanya... Hyein?"

Haerin mendongak menatap Hanni dengan tatapan bingungnya. Ia membeku sejenak sebelum turun dari ranjang dan berjalan keluar.

Hanni ikut keluar karena dirinya juga penasaran apa yang membuat Haerin sampai kebingungan seperti itu. Ia menyaksikan interaksi keduanya dari ruang tamu.

"Kakak? Apa pin-nya sudah diganti?"

"Apa maumu datang pagi-pagi sekali? Yang lain masih tidur, mereka akan terganggu dengan suaramu."

"Tunggu, jadi kau orang asing yang tahu pin apartemen ini?" sambung Haerin lagi sedikit dengan nada yang terdengar marah.

Dengan wajah tak berdosanya, Hyein mengangguk santai. Sementara Haerin merasa ingin memukul wajahnya saat ini. Menutup matanya sejenak menahan semua emosi yang terkumpul di dalam jiwa.

"Darimana kau tahu itu?" tanyanya dengan geram.

"Aku sempat melihat catatanmu di tas sekolah. Jangan marah seperti itu, lagipula sudah diganti, kan?" ucap Hyein lagi.

"Katakan apa maumu– tunggu, kita tidak seharusnya berbicara di sini." Haerin buru-buru mendorong Hyein untuk keluar lalu menutup pintu apartemen.

Hanni terpaku di ruang tamu setelah mendengar percakapan sekilas dari dua bersaudari itu. Pantas saja ia merasa tidak asing dengan penampilan Hyein, orang itu yang Hanni lihat sebelumnya memencet pin apartemen ini.

Setidaknya Hanni sedikit bersyukur karena itu adalah adik Haerin yang kecil kemungkinannya untuk mencuri barang di apartemen ini.

Samar-samar Hanni bisa mendengar apa yang mereka berdua bicarakan dari dalam sini.

"Uang ku habis untuk membayar uang sekolah. Kau tidak punya sedikit saja? Ayolah, aku akan menggantinya setelah 3 hari."

"Kau bisa meminta nya pada ayah atau ibu. Uangku kupakai untuk keperluan ku sendiri."

"Kak, aku ingin berjalan-jalan dengan temanku hari ini."

"Gunakanlah sisa uangmu itu, aku juga perlu uang."

Setelahnya Hanni tidak mendengar apa-apa lagi, mungkin Haerin sadar suara mereka terlalu keras jadi langsung mengecilkan volumenya.

.
.
.
.

"Siapa yang berada di luar, Kak?"

Danielle yang baru keluar dari kamar dan bertanya dengan suara serak khas orang bangun dari tidurnya. Ia berjalan lurus ke arah Hanni yang duduk di ruang tamu.

Hanni menoleh, "adik Haerin datang ke sini. Apa suaranya sekeras itu hingga terdengar sampai ke kamarmu, Dani?"

"Tidak, tapi aku mendengar seperti ada orang di luar."

Pintu utama itu kembali terbuka setelah beberapa menit tertutup. Haerin menyisir rambutnya ke belakang sambil menghela napas, berbicara dengan adiknya selalu menghabiskan energinya dalam sekejap. Terlebih lagi Hyein datang hanya untuk meminta uang.

Hyein bisa dengan mudah meminta apapun pada orang tuanya, berbeda dengan dirinya.

Jadi Haerin tidak salah, kan? Jika ia tidak mau memberikan uangnya sepersen pun hanya untuk kesenangan yang bukan miliknya?

"Haerin, kau baik-baik saja?" tanya Danielle melihat gurat kelelahan di wajah gadis bermata kucing itu.

"Oh? Apakah wajahku terlihat tidak baik?" Haerin bertanya balik.

"Iya, kelihatannya seperti itu."

Haerin menghela napasnya panjang, kemudian menggeleng.

"Aku baik-baik saja, hanya lelah sedikit."

Kalau kata Eunchae, Haerin mengucapkan kata 'lelah' hampir setiap harinya. Hingga setiap kali temannya mengeluh, ia sudah terbiasa, maka Haerin akan sembuh dengan sendirinya.

Tentu, penghuni apartemen ini belum terbiasa dengan itu. Oleh karenanya Danielle bertanya dengan khawatir.

"Kau serius? Ada yang bisa ku bantu? Katakan padaku, aku akan membantunya sebisa mu," tawar gadis itu kemudian.

Danielle memegang bahu Haerin dengan lembut, namun perlakuan itu segera ditepis dengan lembut oleh Haerin.

"Tidak perlu, aku hanya lelah, sedikit," tolak Haerin dengan lembut.

Hanni berdiri dari posisinya. Mulutnya terbuka, hendak mengatakan sesuatu.

Tidak, kata-kata yang berada di benaknya belum sempat terlontar, bibirnya terkatup kembali.

Mungkin lain kali.

·–·

flatmateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang