Bab 20

769 102 21
                                    

Aksara mengetuk pintu ruangan yang bertuliskan Presiden Direktur : dr.A. Irene Jayendra, Sp.BTKV, M.Ked.

"Siapa?"

"Aku sayang."

Irene menghela napas saat mendengar suara yang sangat familiar. Sebutan sayang yang terucap dari bibir lelaki itu seolah-olah justru membuat emosinya semakin menguat hari ini.

"Masuk!"

Gagang pintu bergerak perlahan setelah Irene memberikan perintah. Lelaki itu melangkahkan kaki masuk sebelum menutup pintu yang sekarang berada tepat di belakangnya.

"Belum pulang?" Pertanyaan dengan nada dingin dari Irene hanya dijawab dengan gelengan kepala oleh Aksara

"Dicari Mario tadi." Lanjutnya datar, membuat lelaki itu hanya bisa mengangguk dengan ekspresi bingung bercampur ragu.

"Kita harus bicara Yang."

"Nanti aja kalau di rumah mas. Ini kantor, nggak seharusnya kita membicarakan masalah pribadi di kantor."

"Tapi Ren.."

"Ren?" Irene mengulang ucapan Aksara. "Irene atau Rena maksud kamu?" Lanjutnya sarkas yang berhasil membuat lelaki itu hanya bisa mengusap wajahnya.

"Aku cuma nemenin dia periksa sayang. Dia sendirian sekarang, suaminya KDRT ke dia sama anaknya. Mereka pisah dua tahun lalu. Kamu tahu sendiri kan.."

"Apa?" Sela Irene tegas. "Dia yatim piatu dan hidup di panti asuhan sejak kecil?" Tanyanya dengan sorot mata tegas.

"Terus sekarang apa? Kamu mau jadi pahlawan kesiangan buat dia?"

"Kok gitu sih Yang ngomongnya?"

"Terus menurut mas aku harus ngasih respon gimana? Apa aku harus bangga karena suamiku masih peduli sama mantan tunangannya? Sakit kamu mas kalau nyuruh aku kasih respon begitu."

Aksara diam. Tatapannya benar-benar beradu dengan Irene yang sedang menatapnya tajam. Matanya memerah, bahkan guratan urat di pelipis kanan dan kirinya terlihat menonjol, tanda wanita itu sedang menahan emosinya agar tidak meledak.

Irene menghela napas kasar. Wanita itu menutup mata beberapa saat sembari mencoba mengatur ritme napasnya.

"Aku mohon kamu keluar dari ruanganku mas. Pekerjaanku masih banyak." Pintanya pelan dengan posisi kepala yang masih tertunduk. Irene benar-benar sedang berusaha mengendalikan dirinya sendiri dan juga emosinya.

Tidak ada yang bisa menghentikan Irene saat sudah meminta dengan nada tenang seperti ini. Titik tertinggi kemarahan Irene adalah saat wanita itu berbicara dengan sangat tenang di situasi yang membuatnya merasa frustasi.

Aksara menghela napas sebelum menghilang di balik pintu, menyisakan wanita yang sedang menyandarkan kepalanya di kursi kerja sembari memejamkan mata.

Tidak berselang lama, pintu ruangannya kembali diketuk. Sebuah izin diberikan oleh Irene untuk seseorang yang berdiri di balik pintu ruangannya.

Cantika terlihat melongokkan kepalanya, membuat Irene hanya tertawa pelan saat melihat sosok manusia yang selalu bisa mengimbangi semua pola pikirannya. Setidaknya itulah yang membuat Irene menjadikan Cantika sebagai wakilnya di rumah sakit.

"Kenapa sih? Berantem?" Tanyanya seraya menutup pintu ruangan Irene. Irene hanya mengangkat bahu, memberi respon abu-abu pada pertanyaan yang diberikan oleh Cantika.

"Berantem kenapa sih? Bukannya baru sebulanan tiap malam tidur gak pakai baju?"

Irene melirik tajam saat wanita yang sudah duduk di sofa itu bertanya padanya tanpa filter sedikitpun.

Best WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang