5. Juna dan sifat kekanak-kanakannya

863 120 16
                                    

"Bukan mau menyepelekan, Bang. Tapi aku emang udah lupa rasanya di sayangi mereka tuh kayak gimana," kata Juna.

Demi apapun dengan sekuat tenaganya Jova berusaha menahan amarahnya setelah mendengar kata yang keluar dari mulut adiknya.

"Kamu pikir kamu bisa hidup enak atas campur tangan siapa, Dek? Sekolah di tempat elit, les renang kamu bergengsi, fasilitas lainnya? Kalau gak ada Mas, Kakak sama Ayah mana bisa kamu hidup enak." Juna tersenyum miris.

"Abang mau itung-itungan sama aku? Bang kalau aku udah bisa cari uang juga aku gak bakalan minta-minta kok. Abang mau aku kerja bi--

"Stop Juna stop! Jangan berlebihan!" sentak Jova yang sudah tidak sabar lagi dalam menahan amarah.

"Abang gak suka aku minta ini itu?" lirih Juna.

"Abang bukan gak suka, Abang hanya menyadari kamu bahwa selama ini kita sayang sama kamu."

"Yaudah sok we gimana, Abang.  Mau males sama aku gak papa, mau gak nurutin apa yang aku mau gak papa. Yang Abang sebut emang mereka sayang aku tapi di aku nya gak merasa sayang aku, cara mereka menyayangi aku gimana? Mereka udah beda," tutur Juna entah mengapa dengan mudahnya Juna mengeluarkan isi hatinya.

"Kamu beneran ragu sama kita, De?" Jova tak habis pikir.

"Dulu mereka gak kayak gini," cicit Juna. 

"Dulu? Maksudnya? Dulu sewaktu ada Bunda gitu?"

Juna terdiam takut. Juna tahu Jova sudah sangat memendam amarah karena ucapan-ucapannya.

"Lucu banget ya kamu."

***

Hari ini mendung, padahal masih pagi. Bukan saja langit yang mendung tetapi hati Jova pun demikian. Setelah cekcok sedikit dengan sang bungsu, Jova meningalkan Juna sendirian dan kembali ke kamarnya. Bahkan pagi ini pun Jova tidak tahu apakah adiknya itu pergi sekolah atau tidak, yang pastinya Jova belum melihat anak itu turun.

Di meja makan sudah ada Dylan, sang ayah. Di susul dengan Sarfa yang sudah lengkap dengan stelan kantornya, dan Jay yang masih kaosan dengan celana pendek yang di pakaikan. Bisa Jova simpulkan bahwa Jay tidak ada kerjaan hari ini, atau mungkin ada tetapi nanti siang.

"Ayah kirain semalam Ayah gak pulang," kata Jova langsung duduk di kursi yang berhadapan dengan Dylan, di samping Dylan ada Sarfa dan di sampingnya ada Jay yang sedang menikmati sarapan lebih dulu.

Dylan tersenyum tipis. Sedikit ia menyadari bahwa bertapa jarangnya ia berada di rumah. Pekerjaannya lah yang membuat Dylan harus berkelana ke satu kota ke kota lainnya.

"Juna mana?" tanya Dylan.

Membuat tiga putranya itu langsung menoleh secara bersamaan. Sarfa langsung menoleh ke arah Jova, menyernyitkan dahinya untuk mencari jawaban kemana si bungsu berada.

"Biasanya sama Jova. Gak kamu samper, Jov?" Jova menggelengkan kepalanya.

Dari raut wajah Jova yang datar, Sarfa menyadari sesuatu.

"Kamu berantem sama Juna?" tanya Sarfa.

Jova mengangguk pelan.

"Bukan berantem yang gimana-gimana, Mas. Biasa, Juna menyepelekan orang yang perduli sama dia sekaligus kurang percayanya kalau kita sayang sama dia," tukas Jova.

Jay berdecak kesal. Lagi, Jay muak dengan Juna yang terkesan kekanak-kanakan tersebut. Terkadang Jay kasian dengan kembarannya yang selalu menjadi korban atas sifat kekanak-kanakan Juna.

"Kapan sih dia mau punya pikiran lebih dewasa?" tanya Jay yang menyimpan sendoknya secara kasar, tidak perduli dengan tatapan Dylan ke arahnya.

Dylan menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak tahu harus menjawab apa tentang hal ini kepada ketiga putranya. Setelah istrinya tidak ada seakan Dylan kesulitan untuk mengurusi keempat putranya.

Stronger | Jun SvtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang