Bersembunyi

13 2 0
                                    

Hud duduk termangu di kursi kerjanya yang ia putar membelakangi meja. Menatap pemandangan di luar jendelanya. Ia menghela napas. Tak percaya bahwa pagi itu akan dimulai oleh hal yang menegangkan. Lelaki itu menutup mata sejenak kemudian membukanya lagi. Ia sadar betul bahwa bukan dirinya saja di dunia ini yang memiliki trauma mendalam, tapi banyak sekali orang di luar sana yang mengalami hal serupa dengannya. Hud melirik jam tangannya siap menyambut pasien yang sebentar lagi akan datang.

Tak dipungkiri menjadi psikiater merupakan obat tersendiri bagi dirinya. Dengan begitu, ia tau bahwa ia setidaknya tak terluka sendirian. Banyak sekali orang yang ingin sembuh dari lukanya.

"Dok pasien sudah datang." Ucap seorang suster membiarkan Karina pasien yang seminggu lalu datang berkonsultasi mengenai traumanya. Hud mempersilahkan pasien itu masuk.

"Bagaimana keadaan kamu hari ini? Apa mimpi buruk itu masih sering datang?" Suasana hening sesaat. Karina dengan sigap mengepal kedua tangannya tanda gugup dan takut. Pikirannya kembali melayang pada kejadian traumatis satu tahun silam yang ingin ia lupakan.

"Ya. Masih dok." Ucap Karina menahan tangisannya sebisa mungkin. Bulir air mata itu baru sampai di ujung kedua matanya. Belum jatuh. Ia bercerita kembali dan menyampaikan segala kecemasan dan trauma yang masih dirasakan, sementara Hud asik menulis diagnosanya. Ia mendengarkan seksama setiap kata yang diucapkan perempuan 20 tahunan itu.

Karina kehilangan seorang teman dalam kecelakaan tabrakan mobil satu tahun lalu. Namun sialnya yang selamat hanya dirinya walau sempat mengalami koma beberapa hari. Sedangkan temannya yang berada di kursi samping supir meregang nyawa tepat dalam perjalanan menuju rumah sakit. Ya kejadian itu sangat menyisakan rasa bersalah di hati perempuan itu karena ia yang menyetir mobil.

Air mata akhirnya jatuh. Dengan sigap tangan Hud meraih sekotak tisu yang berada di samping nya ke depan Karina. Wajah yang merah itu, mata yang basah itu dan tangan yang sedari tadi mengepal seolah memperlihatkan bahwa Karina benar-benar menyesal dan menyayangkan peristiwa tersebut. Betapa menyedihkan di usia yang baru menginjak 20 tahunan perempuan ini malah menghadapi ketakutan dan rasa bersalah yang tak tahu kapan hilangnya.

Sesi berakhir dengan Hud memberikan resep obat dan beberapa kalimat penyemangat agar Karina tak berakhir seperti Ajeng yang tadi ia temui di rooftop, mencoba bunuh diri.

***

Hari itu begitu melelahkan. Hud segera pergi menuju kafe terdekat untuk mendapatkan santapan siang. Kafe yang berjarak hanya 300 meter itu ia tempuh dengan berjalan kaki. Kafe yang menurutnya bisa menjadi salah satu tempat tenangnya selain masjid dan mushola. Kafe yang dipenuhi dengan nuansa coklat, dipenuhi dekorasi tanaman hidup serta gemercik air yang membuat semua pengunjung merasa damai dan berada di alam terbuka padahal hanya kafe.

Kafe itu berdinding kaca di bagian depannya sehingga memungkinkan Hud melihat segala aktifitas orang-orang di luar Kafe. Hud memesan satu kopi Americano berikut toast rasa coklat. Ia duduk di kursi dekat dinding kaca. Matanya asik menelisik dan mencoba menebak-nebak apa yang dipikirkan orang-orang yang berlalu lalang di luar kafe tersebut. Bibirnya tersenyum.

Ia selalu menikmati moment ini. Moment di mana ia berpikir bahwa setiap orang berkemungkinan besar punya badainya masing-masing. Badai yang mungkin mereka sembunyikan dari banyak orang, moment di mana orang-orangpun sedang sibuk memakai topengnya masing-masing.

Sejurus kemudian ia mengambil ponsel di saku celananya. Memeriksa jadwal ia besok. Ia harus bertemu beberapa penggemar novelnya. Selain menjadi seorang psikiater, Hud juga berprofesi sebagai penulis novel bergenre psikologi. Walau tak dipungkiri pekerjaannya sebagai psikiater memang sibuk, tapi karena Hud suka juga dengan dunia menulis, ia memutuskan untuk terjun juga sebagai penulis. Berharap setiap pembaca yang masih enggan berkunjung ke psikiater untuk memulihkan traumanya masih bisa sembuh melalui cerita-cerita yang ia buat.

Sementara Hud asik menyeruput kopi yang baru saja datang, dari kejauhan, di luar kafe, ada sepasang mata cantik memperhatikannya sejak tadi. Menahan kerinduannya karena sudah lama tak berjumpa. Namun ia sadar bila ia bertemu dengan Hud saat itu hanya akan membuat situasi mereka berdua terasa menegangkan dan canggung.

"Bagaimana kabarmu Hud? Apa kamu sudah lupa denganku?" Ucap wanita itu di tempat yang tak dapat mata Hud jangkau.

Bersambung...

Terimakasih sudah mau baca chapter 2 nya. Ditunggu komen dan bintangnya yaa!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 21 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Astaghfirullah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang