02. Secercah Harapan

11 3 0
                                    

Gavin berjalan memasuki kamarnya dengan senyum tipis yang terus terukir di bibirnya. Ingatannya kembali berputar tentang gadis bernama Rindu yang ia temui tadi sore. Seorang gadis yang memiliki nama serta sifat yang unik.

Kembali tersenyum, Gavin merebahkan diri di atas kasur. "Rindu Varsha Luana," gumamnya sembari memejamkan mata sejenak.

Beberapa saat kemudian, Gavin kembali membuka matanya. Tatapannya tertuju pada beberapa lukisan yang ada di kamarnya. Lukisan seorang perempuan yang teramat ia cintai.

Gavin bangkit dari posisi tidurnya, lalu melangkah untuk mengambil salah satu lukisan yang ia letakkan di dekat cermin. Ia tatap lukisan seorang perempuan cantik yang mengenakan baju biru lengkap dengan selendang putih di kepalanya.

Lelaki yang mengenakan baju hitam itu tersenyum tipis seraya mengusap lukisannya. "Ma, kayaknya Gavin mulai jatuh cinta," bisiknya parau.

"Dia cantik, cantik banget kayak mama," lanjut Gavin seraya mengusap sudut matanya yang sedikit berair.

Gavin menarik napas dan mengembuskannya secara perlahan. Kemudian mengembalikan lukisan yang dipegangnya itu ke tempat semula. Tangannya bergerak mengambil kanvas dan peralatan lukis lainnya.

Mata Gavin bergerak menatap satu per satu lukisan wajah ibunya yang ada di kamarnya. "Ma, Gavin izin untuk ngelukis cewek lain selain mama. Boleh, 'kan?"

Gavin tersenyum tipis sembari mengangguk, seolah-olah sang ibu sudah memberikan persetujuan untuknya. Perlahan, ia mulai melukis wajah Rindu di atas kanvas.

Tiga jam sudah berlalu, kini lukisan Gavin sudah setengah jadi. Ia pandang gambar gadis yang baru dilukisnya itu. Gadis yang sudah menarik perhatiannya sejak pertemuan pertama. Gadis yang mampu membuat Gavin jatuh cinta pada pandangan pertama.

Gavin kembali larut dengan kegiatannya melukis Rindu. Ia terlalu fokus, bahkan ketukan pintu kamar pun tak dihiraukannya.

"Cantik banget, Kak. Siapa itu?"

Gavin tersentak begitu menyadari ada seorang gadis yang masuk ke kamarnya. "Ngapain kamu ke sini?" bentaknya saat tahu bahwa orang itu adalah Gaura, adiknya.

Gaura meletakkan makanan yang dibawanya untuk Gavin di atas meja. "A-aku mau antarin makan malam untuk Kak Gavin," ujarnya terbata-bata.

"Bisa ketuk pintu dulu, 'kan?"

Gaura menunduk, tangannya sibuk menarik-narik ujung bajunya. "Ma-maaf, Kak. Aku udah ketuk tadi, tapi Kak Gavin enggak jawab."

Gavin berdecak, kemudian meletakkan kuasnya dengan kasar. Tiba-tiba ia menjadi tidak bersemangat melanjutkan kegiatan melukisnya.

Gaura perlahan mendongak menatap Gavin. "I-itu siapa, Kak? Pacar kakak? Cantik banget," ujarnya takut-takut sembari menunjuk lukisan Gavin.

Gavin menatap tak suka ke arah Gaura. "Bukan urusan kamu. Keluar sana! Sekalian bawa makanan kamu itu," usirnya.

Gaura menatap Gavin sedih. Ia sudah bersusah payah memasak makanan kesukaan kakaknya itu. Namun, Gavin tak pernah menghargainya. Padahal Gaura hanya ingin dekat dengan lelaki yang ia sebut sebagai 'Kakak' itu.

"Ta-tapi, Kak—"

"Keluar, Gaura!" potong Gavin, ia bangkit dari posisi duduknya. Menatap Gaura penuh amarah. "Lebih baik aku yang keluar," lanjutnya ketika tak melihat ada pergerakan dari Gaura.

"Kak Gavin mau ke mana?"

Tanpa menjawab pertanyaan Gaura, Gavin mengambil jaket hitam miliknya, lalu keluar dari kamar dengan membanting pintu secara kasar.

Melodi Hujan RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang