Di sebuah rumah dengan nuansa putih terlihat mewah dengan pagar tembok yang tinggi. Dibalik mewahnya menyembunyikan sesuatu yang memilukan. Terlihat di balik Jendela ruang keluarga, seorang remaja laki-laki berbaju cokelat kusut tengah meringkuk di lantai.Wajahnya menampilkan senyuman teduh, senyuman yang dari kecil sudah ia pertahankan. Sesekali meringis kesakitan.
Ceritanya dia sehabis jatuh. Memang salahnya juga yang tidak bisa menjaga keseimbangan. Salahnya memaksa berjalan dengan kaki terluka yang terlihat seperti sehabis dipukul seseorang.
Memang itu kebenarannya,
Ia berusaha berdiri sambil bertumpu meja kecil di sebelahnya, nafasnya mulai menderu. Sakit. Sebenarnya lebih baik ngesot dibandingkan berdiri seperti ini. Rasanya sakit dan pedih luar biasa, meskipun begitu gempa harus bisa menahannya.
Sudut bibirnya berkedut setelah maniknya menangkap seorang remaja yang lebih muda darinya masuk melalui pintu depan. Memandang tidak senang semua barang-barang pecah berserakan, seraya tersenyum remeh menatap Gempa mengenaskan.
"Bagus, bagus sekali. Kamu masih belum membereskan ini semua? Apa gunanya kamu di rumah ini kalau ngerjain pekerjaan rumah aja engga becus."
Gempa berusaha tidak menatap saudaranya. Ia juga berhenti berusaha bangkit. Kenapa disaat seperti ini dia malah dipertemukan dengan adiknya? Manik solar memincing, dia ingin mendekati Gempa. Kakinya siap melayangkan tendangan sebagai hukuman, namun tiba-tiba langkahnya terhenti. Solar mengurungkan niatnya setelah menatap horor kaki Gempa yang memperlihatkan luka mengerikan.
"Menjijikkan."
Sudut bibir Gempa kembali berkedut, kali ini ia menunjukkan tatapan sedihnya yang berpusat pada kaki Solar, mulus tanpa luka.
Memang, luka-luka ditubuhnya ini mengerikan. Saat luka lama belum sembuh, tiba-tiba menambah luka baru, begitu saja terus.
Halilintar benar-benar memukulnya tanpa rasa ampun.
"Bersihkan ini segera." Final Solar.
Gempa mengangguk. Ia tau, paham bahwa solar masih memiliki belas kasih dengan tidak memukulnya juga. Itu membuatnya lega. Senyum diwajahnya pun terbit, dan kali ini lebih hangat.
Solar tertegun, segera ia melenggang pergi dari tempat itu. Ia harus menguatkan hatinya agar tidak terbuai oleh senyuman kakak ke-tiga itu. Dia masih sayang nyawanya sendiri.
Dia tidak ingin menjadi sasaran selanjutnya sang kakak sulung. Seperti dulu,
Gempa mulai membiasakan kakinya untuk berdiri lalu mengambil pecahan vas yang sebelumnya dibanting Halilintar. Melemparnya tepat pada kaki Gempa.
Terdengar mengerikan bukan bila dibayangkan? namun Gempa merasa lemparan vas itu lebih baik dari pada kakinya disiram air panas. Gempa mulai bergindik membayangkannya. Kejadian itu hanya sekali, dan benar-benar membekas dilubuk hatinya. Semakin ia menjerit, semakin kasar pula Halilintar melukainya. Gempa masih ingat bagaimana ia mati-matian menahan agar tidak ada suara yang keluar dari kerongkongannya.
Gempa mulai menyapu, mengepel, dan mengelapi barang-barang disana. Peluh keringat di dahinya ia seka. Sembari melanjutkan tugasnya menjadi seorang pembantu yang baik.
Setelah selesai, ia segera masuk ke Gudang. Mengambil kotak P3K Dan mulai mengobati lukanya. Sesekali ia meringis menahan sakit yang teramat. Gempa mengira ia akan terbiasa mengobati lukanya ini. Ternyata tetap saja menyakitkan.
Sudah selesai, aku harus cepat. Aku ingin bertemu dengannya.
Ia bergegas pergi keluar rumah, tak lupa menggunakan pakaian hitam panjang yang menutupi semua lukanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Star - Gempa (End)
Short Story"I promised that I wouldn't go near him, I will disappear from his sight. so I please... please... please... don't take Hali from me" -- Gem Semenjak kecelakaan Taufan, Halilintar semakin gila. Melampiaskan semua amarahnya kepada pelaku yang memb...