01. My Destiny

327 53 9
                                    

Di salah satu sudut kota yang gelap, berpayung mendung yang menyembunyikan terangnya cahaya bulan, Agni berjalan keluar dari pemakaman usai melepas setumpuk rindu yang beberapa minggu ini bertengger di pundaknya.

Sudah satu tahun, Agni baru sadar jika sudah selama itu dia bertahan dalam kesendiriannya. Tanpa tempat bercerita, teman tertawa dan juga pelukan.

Setiap langkah yang ia ambil terasa begitu berat, hidup di antara orang-orang yang bahagia membuatnya merasa seperti seonggok bunga kering yang terjatuh di atas hamparan rumput hijau.

Masih sulit rasanya untuk menerima kenyataan, namun Agni juga tak memiliki kuasa untuk menolaknya. Dia masih harus hidup, dia masih harus melangkah, dan dia masih harus tetap tertawa.

Jalanan mulai sepi, Agni sudah berulang kali mencoba memesan kendaraan yang bisa mengantarnya pulang, tapi entah ada apa dengan semesta malam ini. "Butuh duit nggak, sih?!" Agni memaki ponselnya, seakan benda itu yang paling pantas disalahkan.

Dia berdecak, menatap langit untuk sekedar memastikan dari mana datangnya setetes air yang jatuh membasahi punggung tangannya.

"Hujan." Dia bergumam resah, lalu menghela napas singkat, mencoba memikirkan segala cara untuk sampai rumah dengan cepat.

Agni kembali pada ponselnya, tidak ada pilihan lain, dia harus menghubungi seseorang tanpa membuat seseorang itu merasa direpotkan. Seseorang yang selalu dengan sukarela membantunya.

"Om Aji." Begitu panggilan di angkat, kata itulah yang pertama kali terlontar dari bibir Agni. Senyumnya sedikit mengembang. "Maaf ganggu malem-malem, aku boleh minta tolong lagi nggak?"

Setidaknya sesi bertelepon singkat itu membuahkan hasil dan membuat Agni bernapas lebih lega.

Dia mencari tempat yang sekiranya aman dan juga nyaman untuk menunggu. Ya, untuk kesekian ratus kalinya, dia kembali merepotkan orang yang sama.

"Apapun masalahnya, sekecil apapun itu, kalau Agni butuh bantuan, kasih tahu Om. Biar Om tunjukin, kalau kamu nggak pernah kehilangan sosok Ayah di dalam hidup kamu."

Entah, mungkin Agni yang terlena atau dia memang tidak tahu diri, sulit rasanya menolak kata-kata itu saat dia berada di titik sehancur-hancurnya. Aji Pradana sekarang lebih dari sekedar pengacara, sahabat, dan juga orang kepercayaan almarhum papanya. Pria itu nyaris memiliki takhta yang sama dengan sosok papa dalam diri Agni.

Terdengar aneh, tapi bisakah menyalahkan Agni? Dia hanya seekor anak ayam yang kehilangan induk, tak peduli sekalipun elang membawanya pergi, dia akan tetap ikut, karena dia, benar-benar merasa sendirian.

Di keheningan malam, Agni mengusap air matanya yang sempat jatuh. Dia kembali menatap langit dengan gerimis yang semakin padat. "Ya Allah, Agni rindu bahagia yang dulu."

.

"Ayah mau ke mana?" Di tengah perasaan paniknya, langkah seorang Aji Pradana di halangi oleh sang putra yang berdiri tepat di tengah-tengah pintu keluar.

El Fardana, dia bersedekap dada di sana, mengamati penampilan Ayahnya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Masih tampak gagah dan keren di usianya yang sudah terbilang tua, tapi Dana tidak sedang mentolerir sebuah penampilan sekarang.

"Ayah mau jemput ... "

"Cewek itu?" Dana menyela, seolah hal ini bukan kali pertamanya terjadi. "Yah, tolong, dong. Ayah itu udah tua. Iya, saya tahu kalau Ayah mungkin butuh temen lagi setelah ditinggal pergi Bunda, tapikan Ayah bisa cari yang seumuran sama Ayah, bukan anak-anak kaya dia."

"Agni bukan anak-anak, El."

"Dia lebih cocok jadi anak Ayah." Atau bahkan gadis bernama Agni itu lebih cocok menjadi adiknya ketimbang ibu tiri Dana sendiri. Tunggu, ibu tiri? Bulu kuduk Dana merinding begitu kata itu terbesit dalam batinnya.

"Udah jangan buang-buang waktu Ayah, kasihan dia nunggu, nanti hujannya makin deras." Aji mencoba menerobos melewati Dana, tapi anaknya itu malah dengan cepat menutup pintu.

"Nanti jadi fitnah, Yah, ini udah malem. Ayah bisa pesenin dia taksi online, kan?"

"Kamu nggak ngerti. Ayah cuma jemput dia terus anterin dia pulang, selesai." Aji menghela napasnya, jengah dengan sikap sang putra.

"Mau berapa kali lagi? Ini bukan cuma sekali dua kali saya mergokin Ayah keluar malem-malem buat ketemu dia." Lebih tepatnya setahun belakangan ini, dan jika mau menghitung, entah sudah berapa puluh kali Dana akan melihat Ayahnya pergi ke luar rumah, bahkan meninggalkan pekerjaannya hanya untuk seorang anak gadis kuliahan.

"Ayah cuma mau bantu, emangnya itu salah?"

"Salah." Dana menjawab cepat bahkan sebelum bibir Ayahnya terkatup. "Ayah harusnya bisa ngerti mana yang setara sama Ayah dan mana yang bukan. Ayah itu bisa menimbulkan spekulasi yang enggak-enggak di mata masyarakat, nanti jadi fitnah."

"Astaga. Kamu pikir Ayah sama dia itu ngapain? Ayah masih waras, El." Lagi-lagi Aji menghela napasnya, kali ini dengan tambahan sedikit bumbu frustasi. Dia menatap putranya dengan tatapan yang semakin jengah. "Sekali-kali kamu harus berhenti jadi manusia yang  kaku dan serius."

"Saya? Kaku?" Dana menggeleng tak habis pikir. "Saya cuma mau ngasih tahu ke Ayah kalo nggak semua yang kita pikir baik itu bisa kelihatan baik di mata orang lain bahkan di mata Allah. Saya mungkin nggak tahu apa aja yang udah Ayah lakuin sama cewek itu, tapi Allah? Allah itu maha tahu, jangan sampai .... "

"Cukup." Aji mengangkat tangannya di depan wajah Dana. Tidak siap, ini bukan waktu yang tepat untuk mendengarkan ceramah. Di luar sana, butir-butir gerimis yang jatuh terdengar semakin nyaring di atas atap rumah. "Kalo kaya gini kamu yang jatuhnya fitnah Ayah."

"What?"

Aji berdecak. "Come on, Ayah dulu masukin kamu ke pesantren bukan buat jadi manusia kaku yang nggak bisa menikmati hidup. Kamu udah 29 tahun, El."

Jantung Dana berdebar seketika, tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar dari mulut Ayahnya. Dana nggak bisa menikmati hidup? Lelucon macam apa itu?

"Apa?" Kekehan Ayah terdengar begitu mengejek. "Sadar nggak kamu." Lalu dengan kurang ajarnya menggeser tubuh Dana dari pintu dan melarikan diri dari sana.

Kedua tangan Dana masing-masing mengepal di sisi tubuhnya, dia berbalik, bersandar pada daun pintu dan melihat bagaimana mobil Ayahnya melesat membelah lautan gerimis dengan begitu terburu-buru.

Napas pria itu terhela tak kalah kasar. Otaknya berputar, berpikir kira-kira cara apalagi yang harus ia lakukan untuk menghentikan kisah asmara Ayahnya itu.

Bahkan ketimbang Aji, yang lebih pantas kasmaran di sini itu harusnya Dana. Ya, dia sudah berumur 29 tahun tapi hidupnya masih datar-datar saja. Tidak ada hati yang berbunga-bunga, tidak ada jantung yang berdetak karena cinta. Miris sekali bukan?

Untuk beberapa detik, dia berpikir jika omongan Ayahnya ada sedikit benarnya juga. Dia ... sedikit kaku. Tapi tetap saja cara menikmati hidup yang Ayahnya contohkan itu tidak dapat ia terima. Bagaimana mungkin menikmati hidup dengan mencintai anak gadis dengan jarak usia sejauh itu? Tidak. Dana tidak akan membiarkan gadis yang seharusnya lebih pantas menjadi istrinya itu menjadi ibu tirinya.

Apa? Istri? Bukankah beberapa saat yang lalu Dana berpikir bahwa gadis itu lebih cocok menjadi adiknya? Tentu saja, dia tidak melupakan itu, hanya saja, apa yang baru saja terlintas terlihat seperti sebuah penawar yang tak perlu lagi ia teteskan berulang kali.

"I will make her my wife, not my stepmother, or whatever. " Sebuah senyuman yang sangat jarang , terukir di sudut bibirnya. "Agni, kamu harus jadi takdir saya."

[]

Kadang yang kaya gini langsung pake jalur langit, nentang bapaknya ugal-ugalan bgt.

Semoga kalian suka dengan kapal mereka 🌻💛

Jangan lupa masukin Ikhfa ke perpus atau follow akun ini, karena aku update ga nentu jadi biar kalian ga ketinggalan nontifnya.

Terimakasih sudah baca, see you soon cinttaaaa




Ikhfa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang