02. Goodwill

217 50 1
                                    

Saat matahari perlahan menuruni cakrawala, Dana memarkirkan mobilnya tepat di depan sebuah restoran, kesan yang pertama kali ia dapatkan kontras dengan keadaan langit yang saat itu tengah memancarkan semu jingga kekuningan.

Papan nama besar bertuliskan huruf abjad  SUN FLOWERESTO menyambut kedatangannya, Dana sempat melepaskan kacamata yang bertengger di kedua sisi daun telinganya sebelum melangkah masuk dengan perasaan campur aduk.

Ini jelas bukan sekedar tempat makan biasa yang mana dia hanya duduk dan memesan makanan, Dana merasa alasan kedatangannya kemari lebih daripada itu.

Ornamen-ornamen dengan nuansa kuning keemasan khas bunga matahari memenuhi hampir setiap dinding dan langit-langit, membuat suasana terlihat tak hanya hangat dan ceria, namun juga elegan.

Dana melangkahkan kaki berbalut pantofelnya di atas ubin kayu bergaris, tatapannya diam-diam menyusuri setiap jengkal sudut restoran tanpa terlewat.

Dia tak tahu pasti apa yang sebenarnya sekarang ini tengah ia cari, menyadarinya telah gelap mata sesaat, Dana memutuskan untuk duduk di salah satu sudut. Pikirannya kacau.

Setidakingin itukah Dana melihat Ayahnya bahagia? Sampai dia harus nekad datang ke tempat ini hanya untuk bertemu sosok yang juga sekarang ini tengah mengulurkan sebuah buku menu di depannya.

Dana kembali gelap mata, kepalanya mendongak untuk memastikan jika itu adalah wajah yang beberapa kali ia lihat bertengger di galeri ponsel sang Ayah.

"Silahkan, buku menunya." Kalimat itu seketika memecah atensi Dana dari gadis di hadapannya.

Dia memalingkan wajah. "Astaghfirullahadzim," gumamnya.

Jantungnya berdebar kencang tanpa bisa ia kendalikan. Hati Dana berbisik untuk pertama kalinya di hadapan wanita. Perasaan ini, sensasi ini, apa?

.

"Kayanya selain berhenti kuliah, kamu juga harus berhenti berhubungan sama si Om Aji, Om Aji kamu itu, deh."

Agni yang baru mematikan kompornya itupun menoleh ke sumber suara, tepat di sampingnya, Mbak Neta; orang yang sudah bekerja sejak restoran ini masih di pegang almarhum papanya, tengah menyiapkan piring sebelum beberapa detik kemudian membalas tatapan Agni dengan senyum tipis khasnya.

"Bukan apa-apa, kemarin Mbak nggak sengaja denger ada orang yang ngira kalo kamu itu simpenan Om-om." Mbak Neta menghela napas sebentar. "Mbak nggak tega denger kamu direndahin kaya gitu, Ni," imbuhnya.

"Yaudahlah Mbak nggak usah didengerin." Seperti biasa, Agni selalu, dan masih tak acuh. "Mereka nggak tahu kenyataannya kaya apa, kok. Lagian gue nganggep Om Aji sebagai Ayah, sebaliknya Om Aji nganggep gue juga udah kaya anaknya sendiri. Gue bakal kelihatan jahat dan nggak tahu terimakasih, Mbak, kalo tiba-tiba jauhin Om Aji cuma karena omongan orang."

"Iya, Mbak tahu, tapi tetep aja, Ni, kamu sama dia itu nggak punya ikatan apa-apa. Kecuali ... "

"Kecuali?" Agni menatap Mbak Neta penuh selidik.

"Ya kecuali kamu bener-bener jadiin dia Papa kamu, lah."

"Maksudnya?" Kening Agni berkerut tak paham. "Lo mau gue ngadopsi dia sebagai Papa gue, gitu?"

Satu detik setelah kalimat itu terlontar, satu geplakan keras mendarat pada pundaknya, cukup untuk membuat Agni mengaduh kesakitan.

"Kenapa, sih?!" Agni mengembuskan napas jengkel.

"Maksudnya jadiin dia Papa mertua kamu sekalian, gitu. Kamu bilang dia punya anak cowok, kan?"

"Gila!" Agni bergidik, kemudian pergi dari tempat itu. Sungguh, bulu kuduknya merinding.

Ikhfa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang