1

41 3 7
                                    

Pukul tujuh tepat...

Suara langkah kaki menuruni tangga terdengar samar disusul dengan kemunculan seorang remaja dengan pakaian kasual. Salah seorang pelayan dengan sigap menunggu di ujung tangga dan menerima uluran ransel dari sang tuan muda.

"Sarapan anda sudah siap, Tuan Muda." ujarnya sopan dengan sedikit membungkuk.

Tanpa mengatakan apa-apa pemuda itu melangkah ke arah ruang makan. Seorang pelayan menarik kursi untuknya disusul dengan pelayan lain yang mulai menata sarapan di depannya. Setelah semua tertata rapi, mereka membungkuk sopan dan pergi dari ruang makan meninggalkan pemuda itu sarapan sendirian.

Pukul 07.20,

Pemuda itu meletakkan peralatan makannya lalu seolah sudah di setel otomatis, para pelayan masuk kembali untuk merapikan meja. Salah satu pelayan mendekat dan berkata dengan kepala tertunduk, "Mobil anda sudah siap, Tuan Muda."

Sama seperti sebelumnya pemuda itu beranjak tanpa mengatakan sepatah kata pun. Dia langsung masuk ke dalam kursi penumpang belakang yang langsung ditutup oleh supir setelah pelayan meletakkan jas dan ranselnya.

"Apa anda perlu pergi ke suatu tempat sebelum ke sekolah, Tuan Muda?" tanya sopir begitu ia duduk di belakang kemudi.

"Kita jemput Minjeong dulu." Jawabnya setelah memeriksa ponsel.

"Baik, Tuan Muda."

Perlahan mobil itu berjalan keluar dari kawasan rumah megah milik keluarga Na.

...

Lima belas menit kemudian..

“Apa kau menunggu lama?” tanya si pemuda ketika gadis yang ia jemput masuk ke dalam mobil dan duduk disebelahnya.

“Tidak. Aku justru kaget kau sudah datang.” jawab Minjeong sembari memasang seatbelt.

“Aku tidak ingin kau menunggu lama.”

Minjeong terkekeh, “Kau berlebihan, Jaemin-ah.”

“Apapun untukmu.” timpal Jaemin yang membuat Minjeong tertawa.

“Jaemin-ah, kau benar-benar sesuatu sekali.” tukasnya

...

“Kau berangkat dengan Minjeong tadi pagi?” Pertanyaan itu membuat Jaemin yang sibuk memainkan ponsel mendongak. Dia menjawab dengan anggukan.

“Kau masih belum menyerah, ya?” Jaemin mendengus mendengar pertanyaan sarkas itu.

“Kau kenal aku, Hyunjin-ah. Tidak ada kata menyerah dalam kamusku.” sahutnya datar.

“Jadi apa dia sudah luluh?” tanya pemuda lain yang duduk tepat di sebelah Jaemin.

Jaemin berhenti memainkan ponsel sebentar sebelum menghembuskan nafas keras, “Kurasa tidak. Katakan padaku, apa aku kurang jelas? Kupikir aku sudah cukup membuatnya jelas.”

“Mustahil dia tidak tahu kecuali kalau dia benar-benar bodoh. Aku yakin dia tahu tapi pura-pura abai.” ujar satu-satunya gadis yang ada disana.

“Apa maksudmu, Ryujin-ah?”

“Apa lagi? Sederhananya Minjeong tidak menyukaimu.”

Jaemin berdecak.

“Jangan begitu, Ryujin-ah. Jangan hancurkan harapan pangeran kecil kita.”

Shut up, Yangyang!” tukas Jaemin. Dia benci panggilan yang ditujukan padanya itu.

“Jujur padaku, Jaemin-ah. Kenapa kau segigih ini mengejar Minjeong? Ada begitu banyak orang yang mengejarmu, hanya dengan sekali jentik kau akan mendapatkan puluhan yang mirip MinJeong.” kata Hyunjin.

Blackthorn (NoMin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang