3

19 2 0
                                    





Jaemin menatap pantulan wajahnya di kaca kamar mandi kemudian mengusak rambutnya kesal. Dia ingin berteriak, tapi akan memalukan kalau ada yang mendengarnya meskipun dia sengaja memilih toilet paling jauh dari tempat acara agar bisa sendirian.

“Lee Jeno sialan! Dia pikir dia siapa? Berani sekali membuatku kesal!” Tangannya memukul ubin wastafel untuk melampiaskan kekesalannya.

Dia berjalan masuk ke dalam satu bilik toilet saat mendengar ada suara langkah kaki mendekat. Namun sayangnya yang ia lakukan untuk menghindari orang lain justru menjadi bumerang baginya karena yang terjadi adalah sekarang dia terjebak bersama seseorang dengan tubuhnya yang terhimpit ke dinding dengan mata tertutup.

Haechan di satu sisi sedang kebingungan mencari Jaemin di setiap toilet gedung dimana acara pekan seni diadakan tapi sayangnya dia tidak melihat batang hidung kawan kecilnya itu. Dia sudah menghubungi Ryujin untuk menanyakan apa Jaemin sudah kembali tapi Ryujin bilang Jaemin tidak bersama mereka. Haechan panik, dia takut reaksi alergi Jaemin kembali datang. Mereka tadi bisa tenang karena berpikir Jaemin tidak menelan jus strawberry itu jadi reaksi alerginya tidak parah dan bisa ditangani hanya dengan kumur-kumur dan minum air putih. Lain halnya jika minuman itu sempat tertelan, maka kondisinya berubah menjadi siaga satu. Jaemin bisa mengalami kesulitan bernapas dan itu membuat otaknya memikirkan kemungkinan terburuk yaitu Jaemin pingsan di suatu tempat.

Dia menggelengkan kepalanya berusaha mengusir pikiran negatif itu dari otaknya. Perlahan dia mulai mencoba menenangkan diri dan mencari Jaemin lagi. Masih ada satu lagi toilet yang belum dia periksa, kalau Jaemin ternyata juga tidak ada disana, maka dia tidak memiliki pilihan lain selain meminta bantuan teman-temannya yang lain.

“Kau dimana, Jaemin-ah?” gumamnya, “Kuharap tidak terjadi sesuatu yang buruk padamu.”


“Jadi, jaket siapa yang kau pakai?” Ryujin menaik-turunkan alisnya untuk menggoda Minjeong, “Jeno, ya?” Mereka berjalan paling belakang sekarang jadi tidak ada yang mendengar obrolan mereka.

Minjeong mengangguk.

“Dia perhatian sekali. Mungkin kau memang ada kesempatan, Minjeong-ah.”

“Jangan mengada-ada. Lagipula bukankah kau juga menyukainya?”

Ryujin mengibaskan tangannya, “Meski dia tipeku tapi aku tidak mungkin bertindak lebih. Aku masih memegang teguh prinsip persahabatan kita ‘Dilarang saling merebut milik satu sama lain.’”

“Kau bicara seolah Jeno itu barang.”

“Lupakan tentang itu. Serius, mungkin kau memang punya kesempatan. Dia bahkan memberi mol/ boneka ini.” Ryujin memukul boneka yang ada di pelukan Minjeong.

“Dia memang baik,” Minjeong tersenyum dan mengelus kepala boneka yang tadi dipukul Ryujin, “Tapi kurasa aku tidak seistimewa itu karena dia melakukannya pada semua orang.”

“Maksudmu?”

“Ya, dia baik pada semua orang. DIa meminjamkan jaket dan memberikan boneka ini padaku tapi dia juga memberimu ini,” Minjeong menunjuk gelang di pergelangan tangan Ryujin, hadiah yang tadi sempat Jeno menangkan, “Dia juga meminjamkan topinya pada Renjun, menawarkan diri membawakan tas Jimin bahkan membantu Jaemin yang jelas-jelas bersikap sinis padanya. Awalnya kupikir aku memang istimewa, tapi setelah melihat semua itu aku sadar apa yang dia lakukan padaku memang hanya karena dia sebaik itu, tidak ada maksud lain.”

Ryujin merasa sedikit bersalah melihat wajah murung Minjeong, “Teruslah berusaha. Kalian baru kenal jadi masih banyak waktu untuk saling mengenal satu sama lain.” tangannya mengusak rambut Minjeong, “Aku yakin kau bisa membuatnya luluh. Jangan patah semangat, Minjeong-ah.”


Blackthorn (NoMin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang