-1- [Perjodohan]

160 5 2
                                    

Gemuk tanda kemakmuran.

Siapa bilang?! Pasti orang yang menciptakan ungkapan itu sedang sakit mental, dalam tahap penyangkalan atau sedang menghibur dirinya sendiri.

Yang kutau, gemuk itu bencana! Gemuk itu rasa sakit. Gemuk itu menghinakan. Aku tau itu karena diriku ini korban [?] gemuk. Tidak.. tidak.. Aku tak suka disebut gembrot. Kupikir aku tidak 'semeledak' itu untuk dikatakan gembrot.

Aku masih 'normal' dalam lingkup kelebihan berat badan.

Dengan tinggi 168 cm dan bobot tubuh... emmmm... sekitar 70 kg. Oke lebih dari 75 kg. Okeeii, 79 kg dan itu yang terakhir! Beuh.

Nah lihat, tidak seburuk bayanganmu, kan? Teman-temanku bilang, aku sangat tertolong dengan tinggi badanku yang lebih menjulang dibanding ukuran rata-rata tinggi perempuan di negeri ini.

50% teman akrabku berukuran setipe denganku. Bahkan 2 diantaranya melebihi diriku. Kuakui, aku terkadang lebih nyaman hangout dengan keduanya tadi ketimbang bersama yang lainnya.

Karena... well... kau tau, aku jadi terlihat lebih 'kurus' di mata orang-orang. Kejam? Semoga tidak. Bukan berarti aku tak suka 'jalan' dengan teman-teman yang lebih kurus , loh. Aku tidak sepicik itu

Namaku Renata Devi, 26 tahun, salah satu karyawan Penerbit GrahaPenta [ehem] yang merupakan induk dari beberapa majalah dan tabloid, yang salah satunya adalah Majalah Emerald, majalah kecantikan dan gaya hidup dimana aku duduk di bagian Editor Senior.

Bukan. Bukan. Jabatanku tidak seserius dan se-prestisius yang terdengar. Tugasku hanya mengetik dan sesekali menyunting artikel-artikel yang akan ditampilkan, dan sesekali ikut rapat supaya terlihat elit dan penting di mata bawahanku. HAH!

Hanya karena aku sudah bekerja lama di sana, kurang lebih 4 tahun, maka aku bisa dikatakan tergolong senior. Dan entah kenapa, diriku merasa begitu tua, mengingat ada embel-embel Senior di jabatanku.

Oke, sudah kusebutkan tadi, aku 168 cm dan 79 kg (itu sudah paling jujur dariku!), bermata coklat tua dan berambut lurus menjemukan. Tapi wajahku tergolong manis, loh! Itu kata teman-temanku. Hanya aspek tentang tubuhku saja yang mengecewakan.

Dan yang membuatku tak habis terheran-heran, kenapa dadaku tidak segemuk pahaku?! Seakan-akan lemak-lemak sialan itu hanya berlari cepat dari tenggorokan langsung menuju perut, pinggul dan pahaku saja. Dadaku benar-benar merana kekurangan lemak. Ehem! 

Padahal, setauku, banyak orang gemuk lainnya punya dada yang sungguh luar biasa menggelembung, seolah semua bagian tubuhnya begitu kompak, tak ada yang dianak-tirikan. Hmm, benar-benar tidak adil. Kepada siapa aku harus mengajukan protes kalau begini?

Oh ya, aku masih lajang. Benar-benar lajang. Bukan berarti kategori lajang ada yang palsu dan asli. Bukan! Aku beneran lajang, dalam arti belum pernah menikah, bahkan belum pernah mencicipi indahnya perasaan memiliki seorang pacar. Menyedihkan? Mungkin.

Dan pastinya hal itu ada sangkut-pautnya dengan rendahnya rasa percaya diriku dikarenakan tubuh sialanku ini.

Bukan berarti aku malas berolahraga, loh. Aku rajin, kok! Tiap hari aku jalan kaki dari satu ruangan ke ruangan lainnya. Bahkan aku rela menghabiskan waktu selepas kantorku untuk berjalan-jalan di Mal mencari cemilan. Well... setidaknya ada kalori yang masuk dan ada yang keluar juga, kan?

Nah, gara-gara di usia menjelang akhir 20-an aku masih saja menyandang predikat 'terhormat' sebagai lajang ting-ting inilah kedua orangtuaku yang konservatif tak henti-hentinya mengejarku menanyakan kapan aku bersedia menikah. Dan pertanyaan membosankan itu mulai terdengar lantunannya semenjak aku lulus kuliah sekitar 5 tahun lalu.

Segitiga Sama KakiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang