Part 4-Yang Terpilih

7 1 0
                                    

||Happy Reading||
.

An mengemasi barang-barang berupa dua pasang pakaian berlengan panjang dengan celana kulot berwarna cokelat dan hitam. An juga membawa beberapa snack ringan untuk stok di rumah sang nenek.

Gadis itu mengeluarkan sepeda pink dari garasi. An melajukan sepedanya membelah jalanan kota yang padat akan lalu lalang orang yang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Terlihat gedung-gedung pencakar langit menampakkan aktivitas orang-orang di dalamnya melalui dinding kaca.

An melewati area sawah menuju Desa Karangan. Suasana asri masih terasa ketika memasuki gapura Desa Karangan. Seperti namanya, Desa Karangan memiliki penduduk dengan mayoritas ahli membuat karangan bunga. Setiap kali datang ke desa, tak henti-hentinya An merasa takjub. Walaupun banyak orang yang sudah sepuh karena anak-anak mereka yang merantau di kota, tetapi mereka merawat Desa Karangan dengan sangat baik.

Rumah bernuansa kayu dengan hamparan sawah luas tepat di depan rumah neneknya, hanya terhalang oleh jalan setapak. An memarkirkan sepeda pinknya. Mulai melangkah menaiki anak tangga kayu menuju pintu.

Tok tok tok

Seorang wanita paruh baya berjalan mendekat dengan sekotak jeruk di tangan kanannya. "Sapa?" (Siapa?)

Merasa ada sahutan dari belakang, An membalik badan. "Mbah Uti! Ini Anne." An berlari kecil hendak memeluk sang nenek.

Surati mengelus pucuk kepala An penuh kasih sayang. "An kangen ... " lirih An tak kuasa membendung air matanya. "Mbah kakung mana, ti?"

"Ada di kebun jeruk. Nih mbah bawa sekotak dulu. Ayo, masuk!" ajak Surati kepada cucunya. Surati bergegas menuju kamar tengah, ia menebahi kasur yang hendak An gunakan.

"Sudah biar An saja." An mengambil alih sapu lidi di tangan neneknya. "Mbah kalau mau nyusul kakek ndak papa, An biar di sini nanti menyusul."

"Wes ndak papa, paling sebentar lagi selesai. Kamu istirahat, mbah mau buatin kopi dulu." An mengangguk seraya tersenyum simpul.

"Mbah Uti, An mau keluar jalan-jalan, ya?"

"Ati-ati." (Hati-hati)

"Nggeh, mbah." (Baik, mbah)

An berjalan menyusuri jalan setapak yang menghubungkan dengan kebun jeruk milik kakek-neneknya. Ia berjalan sembari menyunggingkan senyuman. An menikmati udara segar di sekitar perumahan warga. Ia mengerjapkan mata mendapati sosok tak asing dari kejauhan.

"Mas Alan, kan?" An menyapa ramah. Orang yang dipanggil menoleh ke samping kiri.

"Eh, Anne. Kapan nyampe sini?"

"Belum lama, sekitar tiga puluh menit yang lalu. Mas Alan kerja di sini?"

"Iya, bantu-bantu panen, yang punya sudah sepuh takutnya kecapean. Jadi, mas bantu sebisanya," jawab Alan seraya tersenyum singkat.

Ting

Sebuah notifikasi dari aplikasi hijau membuyarkan fokus An.

Mama
Kamu di mana?! Pergi ga pamitan! Pasti ke rumah nenek ya?!

Anne
Daripada di rumah, ribut terus.

Mama
Pulang! Kalau ga Mama aduin Papa buat pindahin sekolah kamu.

An mengacak rambutnya frustasi. "Ada apa, An?" Alan bingung melihat perubahan sikap An. "Ga papa, Mas Alan. An pergi dulu, ya, mau jalan-jalan," pamit An.

"Oh ya, hati-hati." An tersenyum singkat.

Ddrt ddrttt

Nada dering telepon terus berbunyi. An tak tahu lagi harus bagaimana ia menghadapi mamanya yang setiap hari selalu saja mengomel. Ia mengabaikan sang mama yang telah menelepon sebanyak sepuluh kali.

Kanvas PenjelajahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang