3

17 2 0
                                    


Jendela tanpa embun pagi. Sinar mentari berusaha menyeruak masuk lewat celah. Kicauan burung mencari perhatian sang pemilik rumah. Suara mesin mobil berkeliaran, mereka sibuk dengan tugas masing-masing, mengantarkan pemilik mereka ke tempat tujuan pagi ini. Tempat untuk mencari pasak-pasak kehidupan. Apalagi kalau bukan pundi-pundi uang yang gila itu. Uang yang akhir-akhir ini menjadi pusat perhatian seluruh insan di dunia. 

Kalau hidup punya uang, menjalaninya jadi tidak sulit, begitu kata banyak orang. Namun nyatanya, banyak orang kaya yang kesepian. Banyak orang kaya yang kelelahan. Banyak orang kaya yang kesusahan. Banyak orang kaya yang sakit. Banyak orang kaya yang selalu dibalut kesedihan. Banyak orang kaya yang 'kasihan'. Uang sebenarnya tidak mampu menentukan garis bahagia seseorang, Itu hanya omong kosong dari orang-orang yang tidak mengerti. Tidak mengerti kalau punya uang terlalu banyak juga merupakan kesulitan tersendiri. Tidak ada gunanya memiliki sesuatu secara berlebihan.

Namun memang ada satu fakta lagi yang tak dapat pula dipungkiri bahwa tidak punya pekerjaan dan uang yang melimpah pun merupakan kesulitan. Memanglah di dunia ini tidak ada yang mudah bagi siapapun. Siapa yang hidupnya paling bahagia di hamparan bumi yang luas ini? Bahkan mikrobakteri pun hidupnya tidak selalu bahagia. Kita harus adil. Ada kalanya kita boleh bahagia dan ada kalanya kita harus berhadapan dengan 'waktu bersedih dan kesusahan'. Toh semua makhluk di bumi ini melalui proses seperti itu.

Dering telepon giat sekali bersuara. Bisa dikira-kira bahwa sudah tiga kali ia berdering lalu mati dalam waktu 1 menit. Sayangnya sang empu belum juga terinterupsi. Ia terlalu terlarut dalam buaian lelahnya. Wanita itu benar-benar pulas. 

Dering keempat. Dering kelima. Dering keenam. Wanita itu belum juga terpengaruh. Kalau lah ibunya ada di sini, pasti ia akan diejek dengan sebutan 'pekerja dan calon ibu yang buruk'. Bagaimana bisa panggilan sebanyak itu tak membuatnya bangun?

Dering kesembilan belas, dan akhirnya ia terbangun. Entah seberapa hebat sel-sel pada otaknya berjuang hingga akhirnya berhasil untuk menghentikan interaksi mereka, interaksi panjang antara wanita itu dengan dunia mimpinya. Tangan itu meraih ponsel kuning (yang kalau ponsel itu bisa bicara, ia pasti sudah mengomel panjang karena harus terus-terusan berdering) dari atas meja kecil di samping tempat tidurnya. Jemari itu gesit mengusap layar dan menjawab panggilan kedua puluh dari pemanggil yang sama sejak jam 07.00 tadi.

"WOOOOYYYYYYYYY GUA PIKIR LU MATI TAU GAA??!!" prolog yang bagus. Sukses membuat Ascla terduduk dan membuka matanya. 

"Hah? Kenapa? Eh siapa ini? Kenapa beb? Siapa yang mati"

Helaan nafas kesal terdengar jelas dari sang pemanggil. Jelas sekali ia kesal karena panik.

"Kuping lo yang mati"

Jawaban itu terdengar ketus, membuat Ascla menyeringai sambil mengecek ponsel. Setelahnya, ia malah tertawa kecil. Ia baru tahu sebuah fakta bahwa dirinya sama sekali tidak terusik dengan delapan belas panggilan berulang yang sama sekali tidak ia angkat.

"Sorry banget, Na. Gua kayaknya kecapekan deh, hehe"

Tidak ada respon. Yang ada hanya suara gaduh dan sirene ambulans.

"Na, siapa yang sakit?" kini gantian, Ascla yang jadi panik.

"Aduh, Mba Neti hati-hati. Kalo Mbak jatoh, bisa repot!"

"Na?" Ascla masih belum mengerti dengan keadaan sekarang.

"AYAAANGGGGGGGGG! AYO YANGG! AY CEPETAN! AKU IKUT AMBULANS AJA SAMA MBAK RATIH, KAMU BAWA MOBIL YA, YANG!"

"Na, lu sebenernya mau ngomong sama gua ga sih?"

"Sebentar Cel, wait"

Ascla mendengus pelan dan mematikan panggilan itu sepihak. Percuma menunggu. Jena kalau sedang panik ga akan nyambung diajak ngomong. Lebih baik ia bertanya kepada Baga. 

Pittura del DestinoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang