Kertas-kertas papirus beterbangan, serta para prajurit berteriak seperti tengah mengumumkan sesuatu di atas kuda dan penduduk kota dengan mata berbinar bersama tangan bergetar membaca apa yang tertulis di dalamnya. Para budak pun segera berhamburan kembali pulang ke rumah sang majikan.
Kertas papirus yang sampai di tangan pria gempal itu pula membuat seluruh anaknya tengah berlatih untuk rencana hiburan yang akan ditampilkan saat parade nanti. Parade itu memang sudah berjalan sekali setiap tahun, tetapi sebelum berita resmi menyebar, banyak rumor yang menyatakan parade ini berhenti sementara akibat kerajaan yang tak keruan atas perseteruan dengan negeri Galia.
Hati Vante antara sengsara dan tak peduli saat Ali dengan hati-hati menjelaskan. Pikirannya tentu masih terpaku pada rahasia yang digamblangkan nyonya peramal. Ia telah mengerti, mungkin inilah ganjaran dari kebebasan yang dicuri. Akhir-akhir ini bayangan di kepalanya terus melayang pada orang tuanya kini. Ah, pasti warga negaranya yang menjadi budak di sini lebih nelangsa.
Namun, bocah itu bertekad akan menggunakan parade ini sebagai batu loncatannya menemui ibu dan ayah. Hingga kali ini, ia meminta Tuan Bahr untuk menempatkannya sebagai kuli angkut dan membantu saja dengan masih sedikit terbata. Meski cukup lama pria itu mengelus-elus dagunya yang penuh rambut dan helaan napas panjang, ia mengangguk setuju.
Sebagai gantinya, seluruh pemuda akan menabuh darbuka, beberapa memetik gambus dan menggetarkan tamborin kayu sederhana. Tentu vokal Luqya yang akan diiringi oleh instrumen-instrumen tadi. Ali diajukan untuk menjadi vokal kedua, tetapi bocah itu tak menjanjikan suaranya. Namun, Tuan Hazn meyakinkan bahwa ia akan mengajarkan olah vokal pada Ali dan dalam waktu singkat, suaranya akan merdu bagai dari surga.
"Kalian mesti tahu kalau waktu muda dulu, para gadis akan berkumpul ketika aku bersenandung," celetuk pria itu. Entah mengapa ada sedikit sendunya yang hilang pada saat mereka istirahat dari latihan, sekejap malam sebelum parade.
"Dan para gadis itu mencibirmu dalam waktu bersamaan, bahkan sampai kau selesai bersenandung!" sahut Tuan Bahr, hingga di dalam tenda itu penuh gelak tawa. Tak terkecuali Vante yang merasa sedikit lega. Kapan terakhir kali ia sepuas ini dalam tertawa?
Akhirnya setelah satu sesi latihan lagi, para sesepuh menyuruh mereka untuk melanjutkan besok pagi. Para penghuni bubar menuju tempat sesuai keinginan dan bocah berambut emas memilih untuk duduk di bawah langit malam yang sunyi dari gemintang.
Ia memegang sebuah pena dan kertas dengan beberapa coretan; misi-misi yang akan ia lakukan nanti. Entah, Vante hanya bisa percaya pada itu saat ini. Ia juga berdoa pada tuhan yang dianut Ali, seusai bocah itu bercerita tentang apa yang ia sembah diam-diam.
Saat memejamkan mata merasakan pipinya diterpa angin malam, sebuah tepukan di bahu membuatnya tersadar pada Ali. "Apa kau tengah menulis rencana lagi?" Matanya melirik pada kertas sang kawan.
Vante mengangkat bahu. "Begitulah. Kurasa hal paling dasar inilah yang sementara bisa dilakukan." Bocah itu setengah pasrah.
Sejenak mereka hanya diam dengan kesibukan masing-masing; Ali mendongak pada langit gelap dan Vante merunduk dengan kertasnya.
"Bolehkah aku bercerita?" Vante memicingkan mata saat kawannya mendadak bersuara.
"Bahkan selama ini aku tak pernah izin ketika bercerita kepadamu, 'kan?"
Ali menarik satu sudut bibirnya dengan tatapan kini tertuju pada pasir.
"Sebenarnya, ketika kecil dulu, aku pernah ditinggal sendirian di sebuah pasar hanya dengan membawa sekantung kurma." Matanya seakan tengah membelah bukit-bukit pasir di kejauhan sejauh lampunya bisa menerang.
Vante menatap dalam temannya itu, ia merasa siap untuk tenggelam dalam suatu teka-teki. Jantungnya berdebar, ini salah satu yang ia tunggu-tunggu.
Mata wanita itu terlalu menakutkan bagi Ali untuk ditatap. Mata yang selalu mendelik, sirat dengan bentakan dan teriakan. Sebab tiada hari tanpa bahu Ali yang tersentak atas teriakan ayah ibunya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arabian Nights (On Hold)
General FictionTentang Vante yang mesti menjejakkan kaki sepanjang rasa bencinya pada Tanah Arab; di mana semua keindahan eksotis, romantika dan budayanya yang begitu berbeda dengan tanah asalnya. Ia tetap berusaha segenap matanya setajam elang, menguak tempat-tem...