Manik abu itu mendelik kepada Ali, berusaha mengirimkan sinyal isyarat bahwa; apa-apaan pertanyaan itu? Mulut mereka sangat terkunci. Tak ada yang berani.
Namun sayang, sinyal dari mata cokelat kawannya agak sulit ditafsirkan. Bola mata itu terus bergulir ke sudut kanan, alisnya pun mengikuti gerakan itu. Ali bisa rasakan betapa dinginnya malam ini, tatapan sang pemimpin prajurit tak ayal menembus tubuhnya.
Ah, mendadak ada satu kata terlintas di kepala Vante. Ia pun berusaha menetralkan debaran keras jantungnya dan berkata, "Saya lupa."
Sepersekon detik usai Ali menerjemahkannya, sang pemimpin menggertak sambil matanya memerah, sekilat cahaya mengacungkan pedang dari sarungnya. Luqya memekik dengan tubuh gemetar sementara Ali berusaha menjadi tameng Vante dan adiknya.
Bocah itu dengan mantap membentak pula kepada prajurit, kembali pada bahasa yang membuat Vante langsung tergelitik untuk bertanya. Sebab setelahnya, pemimpin itu memasukkan kembali pedang setengah ramping yang mengkilap dari besi.
Tatapan tajam belum juga lepas, terutama kepada Ali yang berani mendelikkan matanya. Setelah mengatakan sesuatu yang terdengar seperti ancaman di telinga Vante, sekelompok prajurit itu pergi.
Vante dan Ali menghela napas begitu panjang, tak terasa dengan keringat dingin yang mengucur di dahi sebesar biji jagung. Kini para sesepuh datang tergopoh-tergopoh. Mereka memegang bahu kedua remaja lelaki itu dan menemukan Luqya yang masih terdiam.
"Kau tak apa, Anak Muda?"
Sebenarnya pertanyaan Tuan Bahr sudah bisa Vante pahami sedikit, tetapi kalimat dari Tuan Hazn yang tercetus lembut dan lebih bisa ia mengerti itu membuatnya mengangguk padanya.
Setelahnya Ali bertanya tanpa dapat Vante dengar dengan paham pada Tuan Bahr. Kedua sesepuh itu tampak serius berbicara, dan ada sketsa sedih dalam air muka Tuan Hazn yang mengucapkan di dalam bahasa mereka. Namun, bocah manik abu-abu itu mengernyitkan dahi karena kesedihan yang mengiba itu seakan ditunjukkan padanya.
"Mengapa tatapan Anda seperti itu, Tuan Hazn?"
Pria tua itu tampak terkesiap, begitupun Ali. Ia menatap Tuan Bahr dan pria gempal itu juga diam sepatah kata, seakan tahu situasinya.
"Ada apa? Mengapa diam, Tuan-Tuan?"
Ia menoleh pada Ali dengan menelengkan kepala dan bertanya dengan sangat menuntut, "Wahai Ali, mengapa para prajurit itu mengepung kita? Mencecar kita dengan pertanyaan seperti itu? Apakah kita melanggar aturan?" Vante mengeluarkan semua yang tertancap di pikirannya. Sampai-sampai tentang kebudakannya, apakah itu perlu dipertanyakan?
Mata Ali sejenak menghindar dari manik Vante yang seakan bisa mengoyak dirinya guna mencari jawaban. Akhirnya dengan mengambil napas, ia berujar, "Agaknya penjual itu melapor kepada militer kerajaan pusat bahwa ada budak putihnya menghilang."
Vante membelalakkan matanya. Bagai api menggelegak dari tungkai hingga dahinya, terlebih dadanya terasa mendidih dan sesak. Sekujur bulu kuduknya berdiri, tak bisa terhindar dengan tangannya yang mengepal kuat sampai gemetar, napasnya tersengal.
Apa-apaan perbudakan itu? Bahkan, seorang budak yang menghilang saja harus anggota prajurit kerajaan yang mencarinya?
Tidak, Vante mengerti. Mungkin beginilah aturannya di kerjaan ini, karena pada dasarnya penjual budak itu yang menampung sehingga harus ada bayarannya. Akan tetapi, Vante jadi menyeringai sesaat memorinya terputar.
Utang mana yang harus dibayar? Sejatinya semua itu karena hati manusia yang semacam dengan iblis-lebih rendah dari seekor anjing. Mereka melakukan segalanya sendiri tanpa harus memperbudak anjing lain. Dan selayaknya hukum rimba; yang lemah ditindas setindas-tindasnya, atau bahkan mungkin hukum itu lebih baik dari hati manusia yang telanjur dipegang hawa nafsu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arabian Nights (On Hold)
Ficción GeneralTentang Vante yang mesti menjejakkan kaki sepanjang rasa bencinya pada Tanah Arab; di mana semua keindahan eksotis, romantika dan budayanya yang begitu berbeda dengan tanah asalnya. Ia tetap berusaha segenap matanya setajam elang, menguak tempat-tem...