Peluh mengucur di dahi Vante yang mengernyit, menahan rasa nyeri di kakinya sebab terikat rantai besar. Daripada ingin menangis, dia ingin marah. Meski di negerinya ia bukan bangsawan, tak pernah tubuhnya terasa sangat lusuh seperti sekarang.
Seorang di depan berteriak dengan bahasa yang tak ia pahami. Melihat para budak lain masuk ke dalam jeruji, membuatnya hanya diam. Entah hari keberapa ia berada di dalam jeruji karatan yang menyeruak baunya itu.
Tentu saja tubuhnya didorong paksa, tetapi ia memberontak dan berlari. Sungguh telah dibutakan amarah, akhirnya ia terjerembab. Ia meringis, kakinya semakin nyeri saat sebuah tendangan menghantam. Namun, teriakan marah lain bersahut. Setelahnya, ia dibangunkan dengan kasar, dibanting ke dalam jeruji.
Mata dengan manik abu-abu itu menyipit. Seingatnya, terakhir ia minum dan makan dengan roti pahit adalah waktunya para budak dijual, persis sekarang ini.
Sejenak kemudian, dengan samar seorang budak berbicara kepada dua orang tadi; penjual para budak ini. Lalu, segelas air dibagikan untuk seorang. Tak ada makanan seperti kemarin. Entah apa yang diucapkan penjual itu, akan tetapi Vante merasa kesabarannya lenyap.
"Hei, apa Anda tak punya akal?" serunya. Salah satu penjual menghampiri, membentaknya balik. Ia mengentakkan kaki, persetan dengan nyeri dan penjual itu.
"Aku ingin makanan!" Tamparan keras lantas membuatnya terjatuh, darah yang hangat mengalir dari hidungnya. Penjual itu berlalu setelah berteriak-teriak lagi hingga telinganya sumbang.
Jeruji itu berada di balik dinding di mana penjual memperlihatkan budaknya kepada calon pembeli. Sehingga terkadang ada waktu di mana jeruji luput dari pengawasan. Akan tetapi, suara tawa yang sering menggema membuatnya merasa dadanya sempit.
"Hei." Sebuah bisikan membuatnya terperanjat. Ia menyadari seorang bocah berkulit kecokelatan berada di hadapannya dengan mengendap-endap.
"Apakah kau ingin bebas?" Mata abu Vante terbuka lebar.
Vante lantas mencekal tangan bocah yang nampak seumurannya itu. "Ya, aku mau! Keluarkan aku dari sini!" Beberapa kali ia mengangguk-angguk dengan mata berbinar. Jiwanya seakan telah terisi kembali.
Lalu, kasak-kusuk dalam jeruji terdengar, hingga akhirnya salah seorang di sana berbicara pada bocah di hadapannya. Namun, bocah itu hanya bungkam. Vante menoleh kepada budak lain dan mendapat tatapan menusuk dari sana.
"Apa kau juga tak paham dengan ucapan mereka?"
Bocah itu menggeleng, lekas pergi menuju pintu jeruji besi. Ia menyeringai dan sedikit terkekeh, dalam hati bersyukur sekaligus memaki para penjual budak. Dengan hati-hati membuka lilitan rantai tanpa gembok itu.
Jantung Vante berdebar hingga akhirnya gerbang itu terbuka, matanya terus membelalak. Bocah itu pun masuk, dengan sehelai kecil kawat ia merogoh-rogoh gembok di kakinya. Gembok di rantai kaki bocah berambut emas itu terbuka tak berapa lama, membuat Vante terpana. Bocah si pembuka itu pun menarik tangan Vante keluar dan melemparkan sebuah kantung kepada para budak.
"Kalian tidak ingin keluar juga?" tanyanya sedikit terkejut saat budak lain justru menutup pintu alih-alih mengikutinya. Vante juga bergantian menatap pada bocah yang membawanya.
Tanpa jawaban, Vante pun hanya segera mengikuti langkah bocah itu. Ia menutup mata, menghirup dalam-dalam udara berbau kebebasan ini. Meski matahari sangat terik, senyumnya tetap begitu lebar.
"Kau banyak omong." Vante menghentikan langkah, begitupula senyumnya. Ia menatap lurus kepada sang bocah yang memakai lilitan kain merah di kepala, hingga tersadar dan menoleh.
"Kau baru bertemu denganku."
"Itu perkataan budak di dalam jeruji," jelas bocah itu. Seketika Vante menaikkan sebelah alisnya. Ketika hendak berbicara lagi, bocah itu mendahuluinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arabian Nights (On Hold)
Ficção GeralTentang Vante yang mesti menjejakkan kaki sepanjang rasa bencinya pada Tanah Arab; di mana semua keindahan eksotis, romantika dan budayanya yang begitu berbeda dengan tanah asalnya. Ia tetap berusaha segenap matanya setajam elang, menguak tempat-tem...