12. Topik Makan Siang

22 1 0
                                        

Perihal pandangan orang lain terhadap seseorang yang lain, memang sulit untuk dikendalikan. Tidak akan bisa diserempakkan sebagaimana kita ingin dilihat atau sebagaimana kenyataan yang paling kita anggap nyata dari diri kita. Saya tidak bisa melarang Ben ataupun Mila berpikiran nyeleweng perihal keterkaitan saya dengan Rumi. Pacar, gebetan, bahkan... istri? Itu terlalu liar bagi saya, tapi mungkin wajar bagi mereka? Bebas, terserah. Tapi, saya selalu punya ranah untuk meluruskan dan pada akhirnya menuntun mereka untuk berjalan di garis yang seharusnya.

"Nggak usah kebanyakan ide deh," balas Rumi tanpa memalingkan fokusnya dari sketchbook berukuran A5 di pangkuannya. "Stop rewel, Bi, kita udah sepakat dan poin-poin itu udah yang paling oke."

Siang ini dia tidak membuatkan saya bekal. Sebagai gantinya, dia menyeret saya ke tukang kunci dengan dalih mentraktir saya makan siang di luar sebagai bentuk pertanggungjawaban atas absennya menjalankan kewajiban. Sejak dia ngotot mendapatkan persetujuan saya untuk terlibat kerja sama dengannya, saya telah mengetahui gadis ini memang agak licik dan punya seribu satu cara untuk mewujudkan keinginannya. Saya yakin dia bukannya tidak bisa menyiapkan bekal, tapi sengaja melakukannya agar lebih cepat mendapatkan kunci duplikat.

Beberapa meter ke arah timur dari rumah saya, ada sebuah pasar tradisional, letaknya di dalam sebuah gang yang diapit gedung ruko. Selayaknya pasar tradisional, titik teramainya adalah pagi hari. Tapi siang bolong begini pun masih ada beberapa pedagang yang tetap buka. Terutama pedagang-pedagang yang menggelar lapak atau mangkal di mulut gang hingga sisi-sisi trotoar di depan ruko-ruko di sekitar pasar.

Hanya ada satu lapak yang menawarkan jasa membuat kunci di daerah ini. Dengan bermodalkan meja kecil dan beberapa peralatan sederhana, pria tua berjanggut putih itu menjajakan keahliannya, menumpang di pojok teras warung kopi saring tradisional yang menempati ruko nomor dua dari kiri gang pasar.

Sembari menunggu, saya dan Rumi menyantap tahu tek dan es kelapa di pinggir trotoar. Tidak perlu pertimbangan atau perdebatan apa pun perihal pemilihan menu makan siang kami. Hanya karena kebetulan kedua pedagang itu sedang mangkal persis di depan lapak tukang kunci.

"Karena kamu bawain saya bekal—"

Meong....

Saya terpaksa melirik seekor kucing putih ceking yang sedang lahap menikmati makanan kering yang beberapa saat lalu Rumi tuangkan ke atas sobekan kertas dan diletakkan di dekat kaki kursi plastik yang dia duduki. Detik itu juga saya mencecarnya: "Jadi kamu orangnya? Yang ngebuat daerah ini jadi kayak sarang kucing liar? Kamu kan pelakunya? Yang suka nyebarin makanan kucing di mana-mana?"

Dia menatap saya dengan aneh sebelum kemudian menjawab sinis: "Ya emang kenapa kalau saya yang ngelakuin? Emangnya ngasih makan kucing jalanan termasuk tindakan kriminal? Emangnya cuma kamu yang butuh makan?"

Saya mengembuskan napas samar, segera kembali fokus pada apa yang ingin saya sampaikan—yang sempat terputus karena disela oleh si kucing putih ceking.

"Gara-gara kamu setiap hari bawain saya bekal, jadi banyak yang salah paham."

Kalimat yang baru saja meluncur dari mulut saya sukses membuat dia berpaling dari aktivitas corat-coret yang telah dia selami sejak satu porsi tahu tek berhasil bersarang di perutnya. Belakangan baru saya ketahui dia punya hobi menggambar dan selalu membawa sketchbook serta cat lukis di dalam tas selempangnya. Terkadang saya mendapati dia sibuk berkutat dengan buku sketsanya di ruang tengah dengan kucing itu tertidur di atas meja persis di sebelah bukunya. Mungkin itu juga yang dia lakukan di teras lantai dua kedai Pojok Kota setiap minggu.

"Dan kamu keberatan?"

Lamunan saya terputus, tidak tahu harus jawab apa. "Sebenarnya nggak penting."

Satu Titik Dua KomaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang