11. Surat Perjanjian

11 1 0
                                    

Kaki saya menyusuri koridor panjang yang lengang. Setiap kali saya melewati gerbang besar serta tembok-tembok tinggi berisi kawat berduri yang mengelilingi tempat ini selayaknya tameng, jantung saya selalu berdetak tak karuan. Gugup, cemas, pilu, semuanya bercampur-baur. Rupanya, seberapa sering pun saya berkunjung, saya tidak serta merta dapat benar-benar terbiasa—meski rasanya tak seburuk di bulan-bulan awal aktivitas ini saya lakukan.

Saya refleks merapat ke pilar ketika seorang pasien remaja laki-laki tiba-tiba muncul dari sebuah ruangan diikuti dua orang suster yang mencoba mengejarnya. Saya tahu pasien itu. Dia selalu memanjat pohon mangga di pojok lapangan dan diam selama berjam-jam di atasnya. Bahkan ketika saatnya makan, suster harus membawakan makanannya ke atas pohon karena dia hanya mau makan di sana. Dulu aksinya itu cukup membuat saya terkejut. Tapi setelah mendapat penjelasan dari Sus Na, saya mengerti kenapa dia melakukan itu. Dia korban kekerasan. Dari kecil selalu jadi samsak bapaknya. Untuk menghindar dari amukan sang bapak, dia sering bersembunyi di atas pohon karena hanya itu satu-satunya tempat yang tidak mampu dijangkau oleh bapaknya. Seharian, semalaman, tidak peduli hujan atau pun badai. Sejak itu, baginya pohon adalah satu-satunya tempat teraman. Setiap kali merasa takut, dia akan melakukan apa yang saya lihat sekarang: Memanjat pohon.

"Seperti biasa, selalu ketakutan kalau ada jadwal pemeriksaan rutin."

Saya yang sedang memerhatikan pasien remaja itu, otomatis menoleh ke sumber suara. Rupanya Su Na. Wanita itu tampak berbeda hari ini meski senyumnya tak pernah berubah. Saya rasa dia baru saja mendapatkan poni baru.

"Hai, pagi, Mas Bian."

"Pagi, Sus." Satu tahun mengenal Sus Na, saya tahu betul dia wanita yang sangat peka dan senang memerhatikan hal-hal kecil di sekitarnya. Termasuk karya seni di baju yang saya kenakan pagi ini. "Ada burung buang air besar sembarangan," terang saya sebelum dia bertanya.

Dia terkekeh. "Kata orang, kalau kena pup burung artinya bakal beruntung, Mas."

Saya tertawa garing. "Ya, ngarepnya sih gitu, Sus." Sayangnya ini bekas ingus manusia, bukannya pup burung. Boro-boro beruntung, lanjut benak saya.

"Ibu udah nunggu tuh di taman, udah mandi dan wangi."

Saya terkekeh, mengangguk, kemudian beriringan dengan Sus Na menuju taman belakang. Taman asri yang dihiasi tanaman-tanaman bunga seperti halaman rumah kami yang selalu Ibu sukai. Taman yang setahun belakangan menjadi salah satu lokasi yang paling sering menjadi tempat pertemuan saya dan Ibu.

Sus Na menepuk pelan bahu saya sebelum berlalu, memberi saya dan Ibu waktu berdua. Waktu untuk saling bicara. Meski hanya saya yang bicara.

Saya menatap sejenak bagian belakang tubuh Ibu yang terduduk lesu di kursi roda. Dapat saya saksikan helai demi helai uban mulai tumbuh di kepalanya, menyelinap di antara rambut cokelat gelapnya yang bergelombang, yang entah sudah berapa ratus atau ribu helainya lenyap seiring depresi yang menggerogotinya. Bahkan kulit kepalanya samar-samar tampak dari permukaan.

Saya menghela napas berat, beranjak menempati kursi besi bercat putih di sebelah kursi roda Ibu. Saya melirik wajah tua di sebelah saya. Lusuh dan kosong. Saya menghela napas lagi, mengikuti ke mana tatapan kosong itu tertuju. Bahkan saya tidak benar-benar yakin apakah apa yang saya lihat adalah apa yang juga sedang dia lihat: Air mancur kecil di tengah taman yang dikelilingi tanaman bunga yang entah apa saja jenis dan namanya. Dua ekor kupu-kupu tampak menari-nari, hinggap di pucuk bunga yang satu kemudian melompat ke bunga yang lain.

"Pohon tabebuya di halaman rumah sudah besar sekali, Bu." Saya akhirnya buka suara. "Rantingnya hampir menghalangi pagar. Sempat mau Bian pangkas, tapi kok ya kasihan. Bunganya juga banyak, dan cantik seperti keyakinan Ibu waktu ngotot pengen nanem tabebuya di rumah. Kadang kalau ada turis lagi main-main ke daerah rumah kita, mereka suka foto-foto di depan pagar. Pohon tabebuya kita dijadikan latar foto, katanya estetik." Saya terkekeh pelan. "Tapi bikin kotor trotoar, Bu. Kadang Bian nggak enak sama petugas kebersihan yang digaji pemerintah itu. Jadi kalau ada waktu, ya Bian yang beresin."

Nona dan Tuan KesepianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang