Tabir: Bagian I

60 8 0
                                    

Hidupku penuh kebohongan.

Setidaknya, itu yang kupercayai sejak dulu. Namaku Laila. Ya, hanya Laila. Nenekku bilang aku diberi nama Laila karena aku lahir tengah malam. Terdengar sangat random, tapi ya mau bagaimana lagi? Mungkin jika semenjak dilahirkan bayi sudah bisa berbicara, aku ingin diberi nama yang lain. Seperti nama-nama bunga atau putri-putri kerajaan di cerita-cerita yang sedang tren di masa kini.

Sudahlah, kita jangan bahas tentang diriku dulu. Aku tahu, itu akan kurang menarik untuk kalian. Saat ini, aku sedang terduduk di depan laptopku. Laptop bekas yang baru saja kubeli saat aku memutuskan untuk menjadi penulis dua tahun yang lalu. Waktu itu aku masih 19 tahun tetapi sudah berlagak aku akan menjadi penulis besar. Jika kuingat-ingat lagi kala itu aku sangat bodoh, terlalu percaya diri. Padahal, sebagaimana yang kita ketahui menjalani hidup sebagai manusia tidak semudah itu.

Aku terus saja memandangi layar persegi di hadapanku, tanpa tahu sampah yang tidak menarik apa lagi yang akan kutulis. Sampai akhirnya handphone di atas meja bersuara nyaring, memecah lamunanku.

"Laila, bagaimana? Ini sudah mepet deadline loh, Lo masih belum punya ide mau tulis apa?"

Seperti biasa, laki-laki yang meneleponku ini langsung mengomel seketika.

"Ya sabar dong bang, kan ini gue juga lagi usaha" ujarku seraya menghembuskan napas berat.

"Usaha Lo sudah dua tahun Lail, keburu mangga depan kantor berbuah dua kali!" lelaki tersebut berucap dengan nada tak sabar.

"Iya iya... gue usahain secepatnya. Kalo sudah ada progres pasti Lo bakal terima drafnya kok. Tolong kasih gw waktu sedikit lagi ya bang, please??" pintaku dengan nada memelas.

Terdengar di seberang sana lelaki tersebut menghela napas panjang.

"Oke, gw kasih Lo waktu 3 bulan lagi. Lebih dari itu, gw gak bisa bantu Lo lagi, ngerti?"

Belum sempat aku menjawab suara telepon terputus lebih dulu menyambar telingaku. Membuatku merasa semakin putus asa. Namanya bang Andi, dia adalah kepala penerbit di tempatku bekerja. Masih kenalan keluargaku, makanya aku bisa bekerja di sana sebagai penulis.

Jika kalian bertanya mengapa bang Andi mau menerimaku, itu karena semasa SMA aku memang sering memenangkan lomba menulis cerpen. Itulah yang membuatku merasa besar kepala dengan mendamba masa depan cerah sebagai penulis.

Ketika bertemu bang Andi di acara keluarga dan mengetahui profesinya, aku langsung membujuk nenek untuk memperkenalkan aku padanya. Alhasil, bang Andi yang tergiur dengan beberapa prestasiku dalam bidang menulis mau maneken kontrak denganku sebagai salah satu penulis di tempatnya. Bencana besar bagi bang Andi, aku tak mampu menciptakan karya apa pun dua tahun ini.

Aku juga tak tahu apa yang terjadi pada diriku. Mungkin ini akan terdengar aneh, tapi nyata. Ya setidaknya hanya itu caraku bisa meyakinkan kalian. Jadi begini, setiap aku mencoba menulis tak ada satu pun hal yang bisa kujadikan cerita. Isi kepalaku benar-benar kosong. Awalnya aku mengira diriku mengalami writer's block, dan akan hilang seiring waktu lalu aku bisa menulis kembali. Nyatanya tidak, sudah dua tahun berlalu dan aku masih tidak bisa menulis apa pun.

Aku mulai terjebak. Mulai takut dan cemas. Kemudian, aku mulai sering berbohong. Ketika nenek menanyakan kabarku, aku selalu menjawab aku baik-baik saja. Begitu pula ketika sahabatku mengajak keluar dengan dalih menghirup udara segar, aku selalu bilang aku sibuk. Nyatanya, aku hanya merenung di depan laptop selama berjam-jam.

Entahlah, aku mulai berpikir bahwa manusia memang seperti itu. Manusia sering berbohong untuk menutupi apa yang mereka anggap buruk. Ingat, yang mereka anggap. Itu berarti yang mereka anggap buruk padahal belum tentu buruk. Salah satu manusia yang melakukan kebohongan tersebut adalah aku.

Sama DenganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang