Tabir: Bagian 2

45 7 4
                                    

Laila sampai dikamarnya dengan perasaan campur aduk. Ia duduk di meja tulisnya yang bernuansa kayu jati berwarna cream seraya membuka tasnya. Ia keluarkan buku yang tadi ditinggalkan oleh Grian di bangku halte.

"Apa-apaan ini?" Laila berujar dengan alis berkerut. Lagi-lagi lelaki asing yang baru ia kenal bernama Grian itu membuatnya keheranan. Buku itu kosong.

Laila terus membalik halaman demi halaman. Ketemu. Tepat di tengah-tengah buku itu terdapat satu halaman bertuliskan Sodhana dengan ukuran yang cukup besar. Rasa penasaran membuat Laila membuka gawainya dan masuk ke halaman pencarian. Tanpa menunggu lama mesin pencari itu menunjukkan beberapa artikel dan website yang dapat kita pilih. Laila menekan salah satu dari website tersebut. Di sana dituliskan bahwa Sodhana berarti penyucian.

"Apa maksudnya?" gumam Laila pelan.

Ia kembali menoleh ke arah halaman yang hanya berisikan satu kata tersebut. Ia melihatnya lamat-lamat. Di bagian paling bawah halaman tersebut terdapat deretan nomor. Kelihatannya seperti nomor telepon.

"Apa ini modus penipuan?" Laila terus saja bertanya-tanya. Sungguh jika boleh jujur, dirinya sangat penasaran. Lagi pula siapa yang tidak penasaran jika di waktu random bertemu orang asing yang mengaku bahwa dirinya pelacur? Terlebih lagi pelacur pria. Bisa dibilang itu sesuatu hal yang langka sekali.

Laila berada di ambang kebingungan sekarang. Otaknya tiba-tiba memberi suatu ide gila. Bagaimana jika ia jadikan Grian sebagai inspirasi dari novelnya? Mengulik kehidupan seorang pelacur pria di ibu kota tentu akan menjadi topik yang amat langka, pelik, dan panas. Permasalahannya sekarang adalah akankah Grian bersedia? Dia menggelengkan kepalanya dengan cepat ide tersebut benar-benar gila. Namun, sungguh tak dapat dipungkiri sebagian dari dirinya yang lain berkata bahwa itu ide yang bagus. Laila mengusap mukanya dengan gusar sembari masih memandang deretan nomor itu lekat-lekat.

-----

Aku mengetukkan handphone ditanganku berkali-kali dengan pelan ke meja. Namaku Laila. Sekarang aku sedang menimbang-nimbang apakah menjadikan seorang pelacur pria sebagai inspirasi novelku merupakan hal yang bagus. Harus kuakui bahwa diriku gusar. Namun aku tak tahu apa yang menjadi penyebabnya. Apakah karena otakku yang memberi ide gila atau karena aku yang penakut ini sedang dilanda penasaran hebat? Aku juga tidak mengerti.

Kupandangi deretan nomor itu lekat-lekat. Jelas sekali itu sebuah nomor telepon. Anak TK pun bisa mengetahuinya kalau itu nomor telepon. Aku bertanya-tanya apakah itu modus operandi baru para penipu? Bagaimana tidak, caranya memperkenalkan diri dan buku yang tampak sengaja ditinggalkan. Seakan-akan memang bertujuan membuatku harus menghubunginya.

Aku memandangi layar kotak ditanganku. Pelan-pelan aku menekan satu persatu nomor yang ada ke layar kotak itu. Aku akan meneleponnya, lagi pula aku bisa berdalih jika aku hanya ingin mengembalikan buku ini. Aku memang penasaran tetapi bukan berarti aku bodoh. Aku juga memiliki siasatku sendiri. Bisa dibilang, aku menyukai sesuatu yang kuanggap unik. Fenomena yang kualami sekarang termasuk dalam daftar hal-hal yang kuanggap unik.

Berdering. Entah kenapa detak jantungku agak sedikit tak beraturan. Rasanya antara takut dan penasaran menjadi satu. Memacu adrenalinku. Kupandangi layar itu seperti sekitar dua detik dan kemudian kejutan lain menghampiriku. Panggilan itu diangkat.

"Halo?" aku menyapa tapi dengan nada bertanya, memastikan benar-benar ada seseorang di seberang sana. Awalnya hening melanda selama beberapa detik. Hal itu membuatku hampir menekan tombol merah untuk mengakhiri teleponnya. Sampai akhirnya aku mendengar suara gemeresik di seberang telepon dan dengan segera aku menempelkan lagi layar kotak itu ke telingaku.

"Halo juga. Maaf saya menjawab lumayan lama. Dengan siapa ya?" suaranya agak terdengar terburu-buru dengan napas yang berat. Aku bisa memastikan bahwa itu benar-benar suara Grian. Meskipun aku orang yang susah mengingat wajah namun mengingat suara seseorang merupakan hal yang mudah bagiku. Entah hal itu bisa jadi kelebihan atau kekurangan. Mendengar jawaban dari Grian justru keraguan kembali melandaku. Aku mulai berpikir lagi apakah hal ini merupakan sesuatu yang baik atau buruk.

Ah, sudahlah. Sekarang atau tidak sama sekali. Ucapku dalam hati menguatkan diri.

"Saya yang tadi ketemu di halte. Buku Anda ketinggalan di bangku dan sekarang ada di tangan saya. Saya mau kembalikan buku ini." aku mengatakan semua itu dengan satu tarikan napas dan nada yang lumayan terkesan dingin lagi ketus. Sebagai wanita kukira sudah menjadi hal wajar apabila kita menutupi rasa penasaran dalam diri kita.

Aneh sekali dia lagi-lagi terdiam selama beberapa detik. Karena hening aku memutuskan untuk mencari jawaban apakah dia masih ada di seberang sana. Baru saja aku akan mengucapkan kata "Halo?" untuk kedua kalinya tiba-tiba aku lagi-lagi mendengar suara gemeresik yang aneh. Diiringi dengan napas yang berhembus dengan berat dan tergesa-gesa. Kudengar lagi dengan seksama dan sepertinya juga ada suara seorang perempuan sedang bercakap-cakap dengan Grian. Tetapi dialognya putus-putus dan tidak terdengar jelas.

"Begitu ya? Baiklah, bisa ketemu saya besok di jam 22:00?" lagi-lagi dia menjawab dengan napas yang berat dan agak tersengal-sengal. Seperti habis lari maraton. Sontak dalam hati aku bertanya-tanya sebenarnya apa yang sedang ia lakukan? Apa aku mengganggu obrolannya dengan wanita itu?

"Bisa, di ma-"

"Di halte yang tadi saja. Sampai jumpa besok. Saya akhiri teleponnya." tak berselang sedetik dari itu bunyi telepon tertutup menyerang telingaku.

Kurang ajar sekali pria ini. Aku bahkan belum sempat menyelesaikan kalimatku dan dia sudah memotongnya. Lalu sekonyong-konyong menentukan tempat di mana kita harus bertemu. Dan lagi, kenapa harus halte itu? Seperti tidak ada tempat proper lainnya untuk bertemu. Seperti restoran atau kafe. Benar-benar ada yang tidak biasa dari pria itu. Lalu kenapa dia tersengal-sengal seperti itu? Siapa wanita yang bersamanya? Sebenarnya apa yang sedang ia lakukan ketika menerima teleponku? Semakin banyak pertanyaan di benakku akan pria asing bernama Grian yang baru kutemui kurang dari dua jam yang lalu. 

Aku melemparkan diriku ke kasur yang hangat kemudian memandang kosong ke arah langit-langit kamar. Jika kuingat-ingat lagi sudah lama aku tidak merasakan adrenalin berpacu dalam tubuhku. Tetapi satu percakapan pendek dengan Grian dan keanehannya membuat perasaan campur aduk dalam diriku berubah menjadi adrenalin. Aku benar-benar ingin menjadikannya objek dari novelku nanti.

"Apa tadi dia sedang bercinta?" pikirku dalam hati. Ah, gila sekali pikiranku ini! Sontak aku menggelengkan kepalaku seraya mengutuki diri kenapa aku berpikir sejauh itu. Napasnya yang tersengal-sengal ditambah dialog tidak jelas dengan seorang perempuan yang jika kupikir-pikir lagi itu bukan dialog biasa. Itu benar-benar seperti kegiatan menyatukan diri yang ditutup-tutupi.

 Aku memang masih muda tetapi aku bukan anak polos yang tidak tahu apa-apa. Namun segera kutepis pemikiran liar itu dari otakku. Sepertinya aku harus mengurangi kebiasaan berpikirku yang mendetail. Namun tetap saja, pernyataan bahwa dirinya seorang pelacur... Entah kenapa, itu membuatku bersemangat.

---TO BE CONTINUE---

Halo, saya Jangkar. Terima kasih sudah meluangkan waktumu untuk membaca bagian pertama dari Tabir. Saya berharap kamu bisa menikmati tulisan saya. Kamu boleh meninggalkan like komen, atau bintang sehingga saya tahu kamu adalah salah satu orang yang menunggu saya untuk menulis kembali. Itu akan membuat saya berbahagia.

Sampai jumpa di bagian selanjutnya!

Sama DenganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang