"Itu bukan obatku" bohong Tian padanya.
"Oh jadi ini bukan punyamu? ya udah" Daven membuka tutup obatnya, dari gerak geriknya sepertinya dia hendak menuang dan membuang obat itu ke tanah untuk menguji apakah Tian akan menghalanginya atau membiarkannya. Tian malah dengan bodohnya masuk perangkap Daven, ia tiba-tiba refleks menggerakkan tangannya untuk merebut kembali obat yang ada di tangan Daven.
"Kalau bukan punyamu kenapa sepanik ini?" Daven sengaja menggoda Tian yang masih gelagapan dan tampak panik saat Daven bermain-main dengan obatnya.
Tian berhasil merebutnya kembali namun ia tidak tahu harus berbohong bagaimana lagi, reaksinya barusan benar-benar terlihat jelas jika itu adalah obatnya.
"Eung, kalau kau masih tidak mau ngaku bagaimana kalau aku kirim foto ini ke grup kelas kita? kau tentu ngga keberatan bukan kalau itu memang bukan obat-obatanmu?"
Tian melihat sekilas foto yang di tunjukkan oleh Daven padanya, itu adalah foto dimana obat itu ditemukan berjejer di dalam lemari yang bertuliskan Tian. Tian sudah tidak bisa berpikir jernih dengan kondisinya yang sedang ketakutan sekarang.
"Iya aku..aku adalah seorang omega dan itu obatku, jadi aku mohon jangan beritahu siapa-siapa tentang identitas asliku, aku janji.. aku janji akan melakukan apapun untukmu asalkan kau tidak menyebar fotonya" Tian terpaksa mengakuinya, dilihat darimana pun dia benar-benar sudah terpojokkan oleh Daven. Tian sial sekali, diantara banyaknya orang mengapa malah Daven orang pertama yang harus mengetahui bahwa Tian adalah seorang omega, apalagi Daven adalah bajingan yang ia anggap musuhnya selama ini.
"Ah baiklah!! mulai sekarang kau harus menuruti apapun yang aku inginkan, jika tidak bersiap-siaplah namamu akan menjadi paling terkenal disekolah ini." Daven memasukkan kembali hpnya kedalam saku seragamnya. Daven tidak menyangka ternyata foto itu sangat berguna untuk mengancamnya, bersyukurnya ia tadi sempat berpikir untuk memfotonya meskipun ia sedang terburu-buru.
Daven dan Tian kembali ke ruang kelasnya dengan cara yang tidak biasa. Daven sengaja merangkul bahu Tian seolah-olah mereka sangat akrab, padahal raut Tian terpampang jelas dia tidak menyukai dengan perlakuan Daven terhadapnya.
Lagi-lagi mereka berdua menjadi bahan obrolan teman sekelasnya sendiri. Daven tidak peduli dengan mereka, ia malah terus-terusan tersenyum sendirian seperti orang gila saja. Daven benar-benar bertindak layaknya ia telah menemukan harta karun dunia yang langka padahal yang ia temukan hanyalah rahasia Tian. Huf... Tian menghela nafasnya dengan kasar.
"Tian, pergi kekantin dan belikan aku kopi sekarang" Pinta bajingan itu sambil duduk di kursinya dan menggoyangkan kakinya, Tian mengepalkan erat jari-jari tangannya. Padahal kantin adalah tempat yang ingin ia hindari sebaik mungkin tapi Daven malah sengaja menyuruhnya untuk pergi ke kantin, apa tujuan bajingan itu sebenarnya. Dengan rahasianya yang masih ada ditangan Daven mau tidak mau Tian mendengarkan dan melaksanakan perintahnya.
Tian mengabaikan perkataannya namun ia tetap berjalan keluar kelas dengan wajah cemberut dan langkah kaki yang terpaksa.
"Ah..apa ini tidak apa-apa?" gumamnya pelan saat melihat banyak orang saling berdesakan dan mengantri di kantin sekolah yang bertuliskan khusus alpha di pintu masuknya.
Mau tidak mau ia harus ikut terjun kedalam lautan para alpha ini. Tian terus-terusan terdorong beberapa kali kebelakang padahal sebelumnya ia sudah cukup di depan untuk memesan minuman, mungkin karena badannya yang kecil jadi para alpha dengan seenaknya untuk memotong antriannya.
Seseorang tidak sengaja menabrak Tian dengan keras membuat ia hampir jatuh kebelakang, beruntungnya Marsh di kala itu berhasil menggapai lengannya dan menahannya agar tetap berdiri seimbang.
"Ah, terima kasih." Tian membetulkan posisinya dan kembali berdiri tegak ditengah kerumunan."Mau pesan apa?" tanya Marshall dengan raut wajah datar khasnya.
Tian merasa sedikit canggung, pasalnya baru pertama kali ini dia berbicara empat mata secara langsung dengan Marsh. Meskipun Marsh adalah teman sekamarnya, ketika bertemu atau berpapasan dengannya Tian memilih untuk mengabaikannya mungkin karena ia merasa Marsh sedikit sulit untuk diajak berteman berbeda dengan Etthan dan Daven.
"Aku mau pesan kopi, tapi antrian ku dari tadi terpotong, jadi sepertinya aku akan kembali ke kelas aja"
"Ambil" Marsh menyodorkan kopinya ke depan mata Tian. Tian mengernyitkan dahinya mengapa orang itu malah memberikan kopinya. Tian menolaknya, tidak mungkin ia akan menerimanya begitu saja ditawari, meskipun memang permintaan Daven harus dipenuhi olehnya tapi ia tidak akan seenaknya memanfaatkan kopinya Marsh, mungkin saja kopi itu adalah hasil jerih payahnya saat ia mengantri tadi.
"Tidak perlu, biar aku antri aja lagi."
Tanpa aba-aba Marsh memegang tangan Tian dan memindahkan kopi yang ada di tangannya ke tangan mungil Tian. Tian sedikit terkejut dengan perlakuan pria itu barusan, padahal dari awal dia sudah menolak pemberiannya.
Mengingat perbedaan tubuh mereka berdua, Tian memutuskan untuk menerima pemberian Marsh. Marsh memiliki tubuh tinggi dan ideal, aura kehadirannya juga sangat kuat bahkan Tian dapat merasakan feromonnya dengan samar-samar menusuk tenggorokannya. Jadi mungkin mengantri bukanlah hal yang sulit dilakukan untuk alpha sepertinya makanya ia dengan percaya diri untuk memberikan minumannya pada Tian.
"Terima kasih, untuk harganya berapa?" Tian merogoh saku pakaiannya untuk mengambil beberapa lembar uang didalamnya, namun Marsh tidak kunjung menjawab pertanyaanya. Ia malah berjalan pergi meninggalkan Tian sendirian ditengah kerumunan.
"Marshall" panggil Tian ditengah-tengah keramaian itu. Marsh tidak berhenti melangkah tapi ia menjawab Tian tanpa menoleh kearahnya.
"Udah ku bilang ambil aja!" ujarnya sedikit kesal, Tian memasukkan kembali uangnya kedalam sakunya. Ya sudahlah kalau begitu, lain kali sebagai gantinya biar giliran dia yang akan mentraktir Marshall.
Tian berlari kedalam kelas dan membawakan minuman itu kepada Daven. Siapa saja yang melihatnya tidak akan percaya seorang Tian akan menuruti permintaan Daven yang notabene adalah musuhnya sendiri.
Beberapa menit yang lalu mereka mentertawakan Daven karena permintaannya yang mereka kira telah di abaikan oleh Tian, sekarang mereka ternganga hampir tidak percaya dengan pemandangan yang ada didepan mata mereka.
"Yang benar saja Daven.. "
Mereka mulai sahut persatu untuk mendukung Daven
"Habis alpha cacat terbitlah alpha babu"
"Padahal beberapa hari yang lalu aku mengira dia orang yang keren karena telah berani untuk menghajar Daven, tapi lihat lah sekarang."
Tian benar-benar ingin merobek mulut mereka satu persatu, selain berisik perkataan mereka juga benar-benar menyakitkan hati.
Tian pura-pura tidak mendengar mereka, ia mengabaikannya dengan cara membaca buku-buku yang dia bawa sendiri dari rumah, tapi tumben saja ia tidak bisa fokus. Bukan karena teman sekelasnya tapi karena ia mengingat kembali pertemuannya dengan Marsh di kantin tadi.
Karena teringat Marsh, sontak Tian menoleh ke belakang untuk memastikan apakah dia sudah kembali atau belum. Kursinya ternyata masih kosong sepertinya dia masih belum selesai mengantri pikir Tian. Setelah menerima kopinya, membuat Tian merasa bersalah padanya saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Roommate's an Omega [END]
Fanfiction"Sialan, kau seorang omega tapi selama ini sekamar dengan kita para alpha..? " Homophobic GET OUT MY WAY!!!