"Memasuki musim sedih"
Jangan lupa vote and komen!
"Aku?"
"Aku bukan bajingan sepertinya."
Entah Tian harus mempercayainya atau tidak mengingat Marshall juga seorang alpha seperti Daven. Meskipun sama-sama alpha tapi setidaknya Marshall mungkin tidak akan seburuk bajingan itu.
Mereka berdua kembali secara bersamaan keasramanya, Daven mengernyitkan dahinya pasalnya baru kali ini ia melihat Tian sangat dekat dengan Marshall padahal sebelumnya jangankan jalan bersama saat bertemu saja mereka tidak saling menyapa.
"Sejak kapan kalian sedeket ini?" pertanyaan Daven yang berhasil membuat Tian, Marshall dan Etthan serentak menoleh kearahnya. Tian sebenarnya tidak ingin menjawabnya, namun jika ia diam saja nantinya malah menimbulkan kecurigaan pada Daven, mengingat otak orang itu cukup cerdas dan licik.
"Kami tidak sedekat yang kau lihat, Marshall hanya mengantar lalu menjemput ku dari rumah sakit." jawabnya tanpa menoleh kearah Daven.
"Kau sakit? mengapa kau tidak membiarkan aku yang menjemputmu?"
"Orang yang bahkan belum sadar dari mabuknya berani untuk menjemputku?"
Tentu saja Daven merasa tidak senang setelah mendengar jawabannya, tapi apa yang Tian katakan juga benar ia belum sepenuhnya pulih dan terkadang ia merasa mual. Tapi andai saja dia berada disini tadi malam, apakah Tian akan mengandalkan dirinya? jawabannya tentu saja tidak pikir Daven. Dan meskipun hanya ada mereka berdua di dalam kamarnya, Tian pun tetap tidak akan mengandalkan dirinya. Terdengar menyedihkan tapi begitulah kenyataannya.
Kemarin malam ia pergi ke bar X untuk minum dan bertemu dengan pamannya kebetulan bar X itu juga milik pamannya sendiri. Sambilan minum, ia juga bercerita banyak pada pamannya tentang sosok Tian terutama tentang bagaimana perasaannya pada Tian yang perlahan berubah menjadi rasa suka padahal awalnya ia hanya merasa bersenang-senang untuk mengejek dan mengganggunya.
"Tapi aku merasakan Tian semakin hari semakin menjauh dariku, aku harus bagaimana paman?" mulutnya sibuk mengoceh sedangkan tangannya sibuk untuk memutar gelas kaca yang berisi alkohol di dalamnya, ia menatap secara dalam ke sebutir es batu yang ada di dalam gelas itu, dia membayangkan seolah-olah jika es batu yang terperangkap di dalam gelas itu adalah Tian. Betapa menyenangkannya jika ia bisa memilikinya lalu mengurungnya di suatu tempat hingga dia tidak bisa pergi kemana-kemana seperti es batu di dalam gelas yang di lihatnya sekarang.
"Hamili dia, dia seorang omega kan?" Jawaban di luar nalar pamannya berhasil membuat dirinya tersentak. Ia jujur pada pamannya bahwa dia adalah orang yang sangat brengsek, namun dia tidak akan pernah menggunakan cara seperti ini untuk mendapatkan Tian.
"Apa paman bercanda? yang ada dia semakin membenciku.""Paman tidak bercanda, dulu paman juga menggunakan cara yang sama pada kekasih paman, paman menghamilinya lalu kami menikah dan sampai sekarang hubungan kami baik-baik saja. Anak kami bahkan sudah 2, jadi apa yang kau takutkan."
Kepalanya benar-benar pusing setelah mengingat kembali apa yang pamannya katakan padanya. Benar, dia tidak harus menggunakan cara brengsek seperti ini untuk mendapatkan Tian, yang ada nanti malah Tian membencinya. Jalan hidupnya tidak seperti pamannya yang selalu beruntung dalam hal apapun.
"Tian" panggil Daven di dalam dapur. Tian menyahut namun Daven tidak lagi menjawabnya sampai Tian harus menemuinya secara langsung didapur. Inilah mengapa Tian sangat membencinya ketika Daven sudah memanggilnya.
Tian bersusah payah berjalan kearah dapur, padahal awalnya ia ingin beristirahat ditempat tidurnya.
"Ada apa?" tanya Tian yang sudah berdiri tegak di belakang Daven.Daven memintanya untuk membuatkannya makanan, mungkin karena merasa masih tidak enak badan Tian memutuskan untuk menolaknya. Daven tidak percaya dengan perkataan Tian, ia merasa Tian telah berbohong hanya untuk menghindarinya lagi. Karena merasa kesal dengannya, Daven mendorong Tian ke depan meja yang sudah disusun beberapa sayur diatasnya. Daven mendorongnya dengan niat agar Tian maju dan mengerjakan apa yang ia minta. Namun, entah Daven yang mendorongnya terlalu keras atau tubuh Tian yang terlalu lemah menyebabkan Tian terjatuh dan kepalanya tidak sengaja terbentur ke sudut meja.
Pusing dan sakit itulah yang ia rasakan sekarang, tidak hanya kepalanya yang sakit tapi sekujur tubuh dan pinggangnya juga. Daven lagi-lagi membuat masalah padanya, benar-benar tidak ada hal yang baik saat Tian berada di dekatnya.
"A-aku tidak sengaja.. " Daven berjongkok dan membantu Tian untuk berdiri. Tian menepis tangannya dengan cepat tidak ingin menerima pertolongan dari bajingan itu.
Bahkan sampai akhir pun dia tidak pernah mengucapkan kata maaf padanya batin Tian berkata.
Tian lebih rela bangkit sendiri dengan tenaganya yang masih tersisa lalu berjalan dengan bersusah payah untuk kembali kedalam kamarnya.
Marshall melihatnya kembali dengan tangan yang memegangi kepalanya, karena merasa ada yang tidak beres dengannya segera alpha itu menghampirinya.
"Apa yang terjadi?" Marshall mencoba lihat lebih dekat apa yang terjadi dengan kepalanya.Lebam dan sedikit tergores namun tidak berdarah itulah yang di lihat oleh Marshall. Marshall bertanya padanya apakah Daven membullynya lagi, tapi Tian berbohong bahwa ia sendiri yang tidak sengaja tergelincir bukan Daven yang melakukannya. Namun raut wajahnya tidak bisa berbohong.
Marshall mengepalkan erat jari-jari tangannya, ia tidak bisa berbuat apa-apa pada Daven dengan rahasia Tian yang masih ada ditangannya, jika tidak ada rahasia itu mungkin Daven sudah ia hajar berkali-kali sampai babak belur.
Marshall mendudukkan Tian di ranjangnya dan ia bahkan mengoleskan salep keatas lukanya. Etthan mengerutkan keningnya setelah melihat apa yang baru saja terjadi di depan matanya. Sejak kapan keduanya menjadi sangat akrab begini pikirnya.
"Mulai hari ini kau tidur di kasurku, biar aku yang tidur di atas." Marshall bahkan dengan suka rela untuk menukar posisi tempat tidurnya dengan Tian, membuat Etthan semakin penasaran apa yang terjadi pada keduanya hingga bisa seakrab ini. Dan bukankah Marshall sedikit lembut pada Tian? Etthan tidak pernah melihat dirinya memperlakukan orang lain seperti apa yang ia lakukan pada Tian sekarang, terlebih lagi Tian juga yang merupakan seorang alpha.
Setelah mendengar tawaran dari Marshall, tentu saja Tian tidak menolaknya. Ia cukup bersusah payah untuk naik turun selama ini, jadi dia juga ingin Marshall merasakannya.
"Baik" jawabnya dengan senyuman manis yang terukir di wajahnya.Sejak hari itu Tian tidur di kasurnya Marshall, Tian dapat mencium dengan jelas aroma feromonnya yang masih melekat di bantal dan di selimutnya, sedikit menyengat namun rasanya sangat menenangkan. Apa mungkin karena tanda yang di buat oleh Marshall di lehernya, jadi ia ingin terus-terusan menghirup feromonnya.
Disisi lain Tian juga merasa sedikit tidak enak dengan keberadaan Daven yang ada di sebelahnya, meskipun berjarak beberapa langkah dari ranjangnya, Tian masih bisa mencium samar-samar aroma wiski yang merupakan feromon Daven.
"Baunya membuatku ingin muntah.. "Hubungan Tian dan Daven semakin menjauh tidak seperti di hari-hari sebelumnya. Hal ini membuat Daven merasa sangat frustasi, dia sangat menginginkan omega itu namun apa yang ia lakukan tidak pernah berhasil menarik perhatiannya, yang ada ia malah membuat Tian semakin benci dengannya dan secara bersamaan juga ia semakin lengket dengan Marsh. Marshall bahkan tidak segan untuk menegur dirinya ketika ia tidak sengaja berlebihan meminta Tian melakukan sesuatu untuknya. Jika seperti ini terus-menerus sampai mereka lulus sekolahpun Daven tidak akan berhasil mendapatkan Tian mengingat tujuh hari lagi menuju ujian kelulusan mereka.
Sepertinya Daven akan memikirkan kembali rencana yang diberikan oleh pamannya.
"Tidak ada cara lain, mungkin dengan menghamilinya aku bisa mengikatnya disampingku."
"Jika kita tidak berjodoh, maka akan aku gunakan kehamilanmu untuk menjodohkan kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Roommate's an Omega [END]
Fanfiction"Sialan, kau seorang omega tapi selama ini sekamar dengan kita para alpha..? " Homophobic GET OUT MY WAY!!!