SIX

436 99 2
                                    

Setelah tiba di rumah Freya, Zean segera turun dari motornya. Matahari sore yang hangat menyinari halaman rumah, menciptakan bayangan panjang di sekeliling mereka. Zean berdiri di tempat, mengenakan jaket berwarna hitam di atas seragam sekolahnya. Suara burung berkicau di kejauhan menambah suasana tenang sore hari.

Freya, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, langsung menuju pintu depan dan masuk ke dalam rumah. Zean merasa bingung dan sedikit canggung, berdiri di luar dengan mata yang memandang ke arah pintu yang kini tertutup. Ia tidak tahu harus berbuat apa, karena Freya tidak mengajaknya masuk. Perasaan bingung bercampur dengan kegugupan, sementara ia menunggu di teras, berharap Freya akan kembali dan mengajaknya masuk untuk memulai kerja kelompok.

"Mam, mam, mam!" Freya memanggil mamanya dengan suara lantang.

"Kenapa sih, Freya, teriak-teriak?" tanya Mama Freya dengan nada kesal.

"Mam, aku mau kerja kelompok sama temenku di sini, boleh kan?" tanya Freya penuh harap.

"Kapan?" Mama Freya mengernyitkan dahi.

"Sekarang, Mam," jawab Freya cepat.

"Terus, temannya mana? Belum sampai atau gimana?" Mama Freya melihat ke sekeliling.

"Itu, di luar," jawab Freya sambil menunjuk ke arah pintu.

"Ya ampun, Fre, kenapa nggak langsung disuruh masuk? Yaudah, sana, suruh masuk temannya," Mama Freya menggelengkan kepala.

Freya segera berlari keluar dan memanggil Zean untuk masuk.

"Sore, Tante. Perkenalkan, saya Zean," Zean memperkenalkan diri sambil tersenyum ramah, lalu mencium tangan Mama Freya dengan sopan.

"Oh, baik sekali kamu, Zean. Tapi, cuma sendiri?" Mama Freya bertanya dengan sedikit heran.

"Iya, Mam. Memang setiap kelompoknya cuma dua orang," jelas Freya.

Mama Freya mendekat dan berbisik pada Freya, "Ini beneran teman kamu atau pacar kamu, Fre? Masa ngerjain tugas cuma berdua?"

"Apa sih, Mam? Emang beneran cuma dua orang. Kalau nggak percaya, tanya aja sama Bu Asri, guru Fisika aku," jawab Freya dengan nada tegas.

"Ya udah, ajak Zean ke ruang tamu. Nugasnya di sana aja," kata Mama Freya.

Freya memperhatikan Mamanya yang tampak rapi, "Mama mau kemana?" tanyanya, penasaran.

"Mama mau belanja ke Minimarket dulu bentar," jawab Mama Freya sambil mengambil tasnya.

"Oh yaudah, ayo Zean," kata Freya dengan sedikit malas, namun tetap mengajak Zean menuju ruang tamu.

Zean tersenyum dan mengangguk, kemudian mengikuti Freya berjalan menuju ruang tamu.

Saat hendak menaiki tangga, tiba-tiba Freya berhenti dan menoleh ke belakang.

"Ngapain kamu ikutin aku?" tanya Freya dengan nada kesal.

"Kan tadi suruh ikut," jawab Zean dengan wajah polos.

"Iya, tapi kan di ruang tamu itu di sana, bukan ikutin sampai ke kamar," kata Freya sambil menunjuk ke arah ruang tamu.

"Kenapa lo gak ngomong dari tadi?" Zean mengerutkan dahi, bingung.

"Tadi kan udah bilang di ruang tamu," jawab Freya, semakin kesal.

"Mana gue tau, orang lo gak kasih tau ruang tamunya di mana," balas Zean dengan nada frustrasi.

"Udah, sana! Aku mau ganti baju dulu. Awas aja ya kalau ikut," ancam Freya dengan nada serius.

"Dih, apaan sih, cewek gak jelas," kata Zean dengan nada kesal tapi sedikit tertawa.

Freya memutar matanya, setengah kesal. "Yaudah, tunggu di sana ya."

Zean mengangguk dan berjalan menuju ruang tamu.

Freya menghela napas sambil berjalan ke kamar, setengah kesal dan sedikit malu karena menyadari bahwa dia lupa memberi informasi tentang di mana ruang tamunya kepada Zean.

Zean duduk di ruang tamu, matanya mengamati setiap sudut ruangan dengan penuh kagum. "Gede juga ya rumah si Freya," gumamnya, merasa seperti berada di istana. Rumah itu dipenuhi dengan berbagai lukisan dan hiasan tradisional yang mencerminkan kecintaan pada budaya keraton. "Banyak banget benda antik di sini, kayak masuk ke museum," pikir Zean sambil tersenyum, merasa terpesona oleh keindahan dan keanggunan yang terpancar dari setiap sudut rumah Freya.

Di kamarnya yang penuh dengan sentuhan feminin, dindingnya berwarna pink lembut dan berbagai aksesoris seperti bantal-bantal berbentuk hati dan lampu meja berdesain floral menghiasi ruangan. Pakaian-pakaian tergantung rapi dalam urutan warna yang teratur, menciptakan pemandangan yang menyenangkan. Tanpa disadari, 15 menit berlalu saat dia sibuk memilih baju yang ingin dikenakan.

"Pakai baju apa ya? Ini aja kali... tapi kok heboh banget," gumamnya sambil memiringkan kepala, mencoba membayangkan dirinya mengenakan baju itu di depan cermin besar yang terletak di sudut kamar.

Dia meraih baju lain dengan cepat, wajahnya berkerut cemas dan mulutnya sedikit terbuka. "Kalau ini, jelek banget."

Kebingungannya tampak seperti persiapan seseorang yang akan kencan. Freya menghela napas panjang, tangannya menyentuh bagian belakang kepalanya dengan sedikit frustasi. "Kenapa aku ribet banget sih? Kan cuma mau kerja kelompok sama orang ngeselin," ujarnya sambil mengangkat alis, lalu tertawa kecil. Dia tersadar betapa konyolnya kekhawatirannya tentang penampilan. Dengan senyum lebar, Freya akhirnya memutuskan untuk memakai salah satu bajunya tanpa terlalu banyak berpikir, mengingat tujuan sebenarnya dari pertemuannya.

Freya turun ke bawah dan menemukan Zean duduk di sofa dengan kepala tertunduk, tampak sangat pulas dalam posisi duduk. Zean memang dikenal sebagai orang yang bisa tertidur di mana saja dan kapan saja, alias "pelor" atau nempel molor.

"Brugh!" Freya menjatuhkan buku ke meja dengan keras, membuat Zean terbangun dari tidurnya yang nyenyak.

"Eh, sorry, gue ketiduran," ucap Zean dengan mata setengah terbuka.

"Malah tidur, niat gak sih kerja kelompok?" tanya Freya dengan nada sinis.

"Sorry, lagian, lo ganti baju apa ganti presiden lama banget," jawab Zean, setengah tertawa sambil mengusap matanya.

"Udah nih, sekarang kerjain soal nomor 1 sampai 10, aku kerjain sisanya," kata Freya sambil menyerahkan buku yang berisi soal-soal.

"Soalnya kan ada 50, kenapa gak dibagi dua aja?" tanya Zean.

"Kaya yang bisa ngerjain aja. Nanti kalau kamu yang ngerjain, bisa-bisa ngasal," balas Freya.

"Wah, parah, ngeremehin gue lo," protes Zean.

Freya mengangkat alis. "Emang bisa?"

"Ya enggak sih," jawab Zean, tersipu malu.

Beberapa saat kemudian, Freya menatap Zean yang masih diam, lalu berkata dengan nada sedikit frustrasi, "Hadeh. Kenapa diam aja? Kerjain dong tugasnya."

"Boleh pinjam buku gak? Gue gak bawa buku," kata Zean tiba-tiba.

Freya menoleh dan baru sadar bahwa Zean tidak membawa tas sama sekali. "Astaga, Zean. Kamu sebenarnya niat sekolah gak sih? Kok bisa-bisanya gak bawa buku?"

"Niat lah, cuma bukunya gue taro di loker," jawab Zean dengan senyum canggung, sambil menggaruk tengkuknya. Wajahnya menunjukkan rasa malu dan sedikit kekacauan.

Freya menghela napas panjang, lalu bangkit dan menuju kamarnya untuk mengambilkan buku untuk Zean.

KETOS S.I.A.L.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang