EIGHT

165 46 6
                                    

Halo guys, I'm back... sorry banget baru sempet lanjutin ceritanya karena akhir-akhir ini benaran sibuk banget sama pertugasan duniawi. Maaf banget kalau kalian harus nunggu lama, semoga masih ada yang mau lanjutin baca😭🫶🏻

=====================================

Jumat pagi, koridor sekolah dipenuhi derap langkah yang energik, menciptakan nuansa penuh semangat. Freya dan Sela, dua sahabat karib, melangkah penuh ceria menuju kelas setelah menyelesaikan tugas pemeriksaan rutin. Diperjalanan menuju kelas mata Freya melirik ke berbagai sudut sekolah, seolah mencari sesuatu yang hilang di tengah keramaian. Sementara Sela terus berbicara tentang kegugupannya menghadapi lomba Cheerleader besok, Freya hanya setengah mendengar, pikirannya melayang pada sosok yang belum ia lihat hari ini.

"Eh, si Zean dihukum lagi ya?" tanya Aldo tiba-tiba begitu Sela dan Freya memasuki kelas.

Sela mengernyit, lalu menoleh ke arah Freya. "Nggak kok, hari ini gak ada yang dihukum kan Fre?" tanyanya, sedikit ragu.

Freya hanya menggeleng pelan dan menjawab, "Gak ada."

"Berarti dia gak masuk dong?" tanya Olan.

"Gak mungkin lah, kita kan hari ini harus ke Bandung buat pertandingan besok. Palingan dia telat," jawab Daniel.

"Buset dah, telat mulu tuh orang!" ucap Olan, terlihat frustrasi.

"Tapi nanti dia dibolehin masuk gak, ya? Takutnya malah disuruh balik lagi," ucap Aldo, wajahnya cemas.

"Boleh lah pasti. Lagian dia mau lomba wakilin sekolah, masa iya disuruh balik lagi," Daniel menjawab, mencoba menenangkan.

"Coba lo telpon deh, ol. Kali aja si Zean belum bangun," pinta Aldo kepada Olan.

Olan pun segera menelpon Zean, tapi tidak ada jawaban.

"Engga diangkat do," kata Olan.

"Mungkin lagi di jalan dia," sahut Daniel.

Tiba-tiba, Bu Diana masuk ke kelas. Anak-anak langsung duduk di kursi masing-masing, seketika suasana berubah menjadi sunyi.

"Loh, bukannya sekarang pelajaran Pak Hendro? Kok Bu Diana yang masuk?" bisik Sela ke Freya, kebingungan.

Saat itu memang seharusnya pelajaran Pak Hendro, namun Bu Diana, yang merupakan wali kelas mereka, masuk ke kelas karena ada sesuatu yang ingin disampaikan.

Bu Diana berdiri di depan kelas dengan wajah serius. "Anak-anak, ibu ada kabar penting. Teman kalian Zean tidak bisa masuk hari ini. Pagi tadi, ibu mendapat kabar dari orang tuanya bahwa Zean sakit dan sekarang dirawat di rumah sakit."

"Serius, Bu? Zean sakit apa?" tanya Olan, suaranya terdengar panik.

"Katanya keracunan makanan," jawab Bu Diana singkat, menatap Olan. "Kamu gak tahu, Olan? Bukannya kamu sering bareng dia?"

Olan terdiam tampak kaget dan bingung. Namun, reaksi Freya jauh lebih mengejutkan, wajahnya seketika pucat, dan matanya membesar dengan ketidakpercayaan. Ia terdiam sejenak, terperangkap dalam kebisuan, seolah tidak bisa memproses apa yang baru saja didengarnya. Raut wajahnya menunjukkan bahwa ia merasa bertanggung jawab atas kabar buruk tersebut, seakan menganggap dirinya penyebab dari semua yang terjadi.

Aldo tiba-tiba angkat bicara, suaranya penuh kekhawatiran. "Tapi, Bu... hari ini kita harus ke Bandung buat tanding besok. Gimana ya, kita gak bakal bisa kalau tanpa Zean?"

Bu Diana menatap Aldo dengan serius. "Jam berapa kalian berangkat?"

"Jam 10, Bu," jawab Aldo cepat, suaranya penuh kecemasan.

Bu Diana menatap mereka dengan penuh empati. "Anak-anak, Zean sedang masuk Rumah Sakit dan sepertinya tidak memungkinkan untuk ikut tanding. Ibu tahu ini berat, tapi kalian harus tetap maju. Anggap ini sebagai kesempatan untuk berjuang bukan hanya untuk kalian sendiri, tetapi juga untuk Zean. Doakan saja agar Zean cepat sembuh dan bisa kembali bersama kalian. Dia pasti ingin melihat kalian tetap semangat."

Setelah memberikan sedikit motivasi, Bu Diana tersenyum lembut dan berkata, "Ibu pamit ya, ingat kalian harus tetap semangat. Jangan pesimis, dan hati-hati saat berangkat. Pastikan tidak ada yang tertinggal."

Kemudian, Bu Diana melangkah keluar, meninggalkan kelas.

"Aduh, lagian makan apaan sih tuh bocah, sembarangan banget! Udah tau mau tanding," keluh Aldo, frustrasi.

"Sabar, sayang. Kamu harus tenang. Kamu pasti bisa kok, kalian bisa walau tanpa Zean," ujar Sela lembut, mencoba menenangkan.

"Guys kita jenguk Zean dulu, yuk, sebelum berangkat. Gue pengen liat kondisinya," kata Aldo penuh harap.

"Ga bisa dong, bentar lagi juga kita udah harus kumpul di lapangan," balas Sela tegas.

"Tapi gue khawatir juga, nih, sama kondisinya. Gue liat di Google, katanya keracunan makanan bisa menyebabkan kematian," ucap Olan cemas.

"Woy, babi, lo jangan ngomong sembarangan deh!" bentak Aldo, emosinya memuncak.

"Emang beneran ga bisa, ya? Sebelum berangkat kita izin dulu gitu buat jenguk dia," tanya Daniel.

"Tapi kayanya ga bakal dapet izin deh dari Pak Rafli. Kalian kaya ga tau aja sifat dia gimana," jawab Sela, mengingatkan.

Pak Rafli, guru olahraga sekaligus pembina yang bertanggung jawab mendampingi anak-anak yang akan mengikuti lomba, terkenal tegas dan sulit memberi kelonggaran.

"Terus gimana dong? Masa ga ada yang jenguk?" Aldo semakin frustasi.

"Biar aku aja yang jenguk, nanti bisa ajak teman kelas yang lain. Guys gimana kalau kita jenguk Zean hari ini? Kalian setuju gak?" tanya Freya ke semua murid di kelas.

"Setuju sih, tapi emang boleh ya jenguk rame-rame ke RS gitu?" tanya seorang murid ragu-ragu.

"Iya, bener tuh. Setiap RS pasti ada aturan pengunjung kan? Bentar, kayaknya gue masih save nomor ortunya si Zean. Gimana kalau kita tanya dulu?" ucap Daniel.

"Lah, lo punya? Kenapa nggak bilang dari tadi sih tolol," kata Aldo.

"Namanya juga baru inget," balas Daniel, nyengir.

"Nih, ada nih. Tapi gimana ya chat-nya? Takut salah ngomong, takut gak sopan gitu," kata Daniel sambil menunjuk layar HP.

"Hadeh, sini deh, biar gue aja yang chat," Sela merebut HP Daniel dan mulai mengetik.

"Guys, nih udah dibales. Katanya bener, Zean dirawat di RS Medika, boleh dijenguk tapi maksimal satu orang aja," kata Sela.

"Yaudah, kalau gitu biar aku aja yang wakilin kalian semua," kata Freya.

"Lo serius, Fre?" tanya Aldo.

Freya mengangguk.

"Yaudah, makasih banget ya, Fre. Tolong nanti kabarin kita kondisi Zean pas lo udah di sana," ucap Aldo.

"Iya, siap," jawab Freya.

————————————
Waktu berlalu hingga bel pulang sekolah berbunyi. Freya bergegas merapikan buku dan peralatan sekolahnya, meski gerakannya terasa lamban karena pikiran yang berkecamuk. Sementara itu, Aldo, Sela, Olan, dan Daniel sudah berangkat ke Bandung sejak pagi. Setelah memastikan semua barangnya beres, ia melangkah keluar, menghela napas panjang sebelum bergegas menuju rumah sakit untuk menjenguk Zean.

Di perjalanan, perasaan cemas dan takut menggelayut di benaknya. Bayangan Zean yang terbaring di ranjang rumah sakit terus menghantui pikirannya. Freya tak bisa membayangkan bagaimana reaksi Zean saat melihatnya. "Pasti dia marah besar," pikirnya, menyadari bahwa gara-gara dirinya, Zean harus masuk rumah sakit.

Bukan hanya Zean yang ia khawatirkan. Bagaimana jika keluarga Zean menyalahkannya? Bagaimana jika mereka tak bisa memaafkan kesalahannya? Berbagai pertanyaan itu memenuhi benaknya, menciptakan ketegangan yang sulit diabaikan.

Meski begitu, ia tahu dirinya harus bertanggung jawab, bagaimanapun konsekuensinya. Dengan langkah mantap tapi hati yang bergetar, ia melanjutkan perjalanan, mempersiapkan diri untuk menghadapi apa pun nanti yang terjadi di rumah sakit.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 27 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KETOS S.I.A.L.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang