part 9

106 26 6
                                    

Jisoo berlarian di koridor menuju kamar Vantae. Begitu sampai, ia mendorong paksa pintu kamar yang tidak di kunci lalu melenggang masuk.

Vantae terlihat tengah berdiri menatap lukisan besar seorang gadis berambut merah dengan iris mata kuning keemasan. Tanpa bertanya, Jisoo sudah pasti tahu. Jika lukisan gadis itu merupakan istri pertama Duke Vantae, yakni Irene Harvad.

"Apa yang membawa mu kemari? Apa kau tidak puas dengan Pheron?" tanya Vantae yang berdiri membelakangi Jisoo.

"Kenapa? Kenapa kau melakukan hal itu? Maksud ku, kenapa kau ingin Felix membenci mu?"

"Apa yang kau bicarakan?"

"Kau sengaja membuat Felix membenci ayahnya sendiri agar suatu saat nanti. Dia tidak akan ragu, untuk membunuh mu?"

"Hahh? Ternyata kecerdasan mu bukan hanya bualan saja. Kau bisa menyadarinya, secepat ini. Akan lebih baik, jika kau hanya mempedulikan diri mu saja seperti dulu. Kenapa sekarang, kau bisa berubah? Apa mungkin, kau bukan Diana?"

Tubuh Jisoo mendadak kaku ia menahan nafas, dengan jantung yang berdebar. "Bagaimana dia bisa tahu?"

Vantae membalikkan tubuh lalu berjalan mendekat, Jisoo yang panik tanpa sadar melangkah mundur kebelakang. Situasi itu mengacaukan keseimbangan tubuhnya, ia jatuh terduduk di lantai dengan tubuh yang gemetar. Menatap sorot tajam mata seolah akan menglahap habis jiwanya.

"Dahulu, aku pernah mendengar kisah seorang yang mati namun ia bisa berhasil hidup kembali. Ku pikir, cerita itu hanyalah bualan semata namun saat melihat mu. Aku jadi percaya."

Vantae berjongkok mensejajarkan diri dengan Jisoo lalu meraih helaian rambut lalu menciumnya. "Tubuh ini memang milik Diana, tapi mungkin jiwa dalam tubuh ini sudah mati. Siapa kau sebenarnya?"

Vantae yang geram menjambak rambut Jisoo, hingga mendongak. Padahal sebelumnya, ia bersikap lembut namun beberapa detik kemudian Vantae mengeluarkan sifat aslinya.

"Apa tujuan mu, kenapa kau mendekati anak ku? Apa yang kau inginkan? Hah?!" bisik Vantae, tepat di telinga Jisoo.

Rasa sakit yang menjalar di kepala membuat Jisoo tidak bisa mengeluarkan suara. Tanpa sadar, sebening kristal lolos dari sudut matanya. Perlahan tapi pasti, Vantae mulai melepaskan Jisoo.

"Tuan Duke jika memang kau ingin bunuh diri di tangan anak mu sendiri. Lepaskanlah, aku. Ayo kita bercerai." kata Jisoo menunduk, tak berani menatap Vantae.

Tidak! Bukan itu yang ingin Jisoo katakan. Meski ia ingin bebas dan terhindar dari maut. Namun ia tidak bisa mengabaikan nyawa tidak berdosa lainnya yang akan ikut mati bersama Vantae.

"Hah? Kau pikir, aku akan melepaskan begitu saja." ancam Vantae dengan suara rendah, yang mengintimidasi.

"Aku berjanji aku menutup mulut."

"Meski begitu apa ayah mu, tuan Williams. Akan diam saja, ketika aku menceraikan mu tanpa alasan yang jelas. Kau pikir, setelah berhasil lolos dari ku. Kekasih mu, akan segera menikahi mu?"

Sepertinya Vantae mengenal Diana lebih baik daripada Jisoo. Apa mungkin ia menyelediki latar belakangnya sebelum menikah. Apa yang harus Jisoo lakukan. Dia tidak memiliki ingatan tentang masalalu Diana?

"Ak-ku" Jisoo gelagapan, ia mendongak memberanikan diri menatap Vantae. Air matanya jatuh, begitu saja.

"Aku sudah pernah mati sekali. Apa di kehidupan kali aku juga akan mengalami hal yang sama? Tidak! Aku ingin tetap hidup--aarrggh" Jisoo mengerang sakit.

Sebilah mata pedang menembus tubuhnya dari belakang. Darah segar mengalir, membasahi lantai. Wajah Vantae terlihat tegang menatap siluet banyangan yang berdiri di belakang Jisoo.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 06 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Antagonis Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang