3 Gadis Yang Ditahan

24 7 0
                                    

Hari sudah beranjak siang ketika Yujin dengan cekatan membantu beberapa orang mendirikan rumah baru bagi para penyintas yang terus berdatangan.

Suara palu beradu dengan kayu, derak-derik tiang yang didirikan, dan percakapan singkat di antara para pekerja menciptakan sebuah simfoni yang menggambarkan usaha keras mereka.

Yujin mengusap keringat yang mengalir di dahi, pandangannya sesekali melirik ke arah gerbang utama tempat penyintas baru terus berdatangan. Untuk sekarang masih belum ada yang datang, tapi Yujin yakin besok akan ada yang datang paling tidak satu orang.

Sebuah sinyal radio dari tempat ini sudah disebarkan yang membuat orang-orang mulai berdatangan. Awalnya itu terlihat seperti sebuah ide yang bagus. Tapi lama kelamaan mereka mulai melihat efek buruknya.

Semakin banyak orang yang datang maka semakin besar kebutuhan untuk membangun tempat tinggal baru. Setiap harinya, penyintas dari berbagai tempat mencari perlindungan di sini dan berharap menemukan keamanan dan ketenangan yang sudah mulai langka di dunia luar.

Yujin tahu bahwa ini adalah pertanda baik—lebih banyak orang berarti lebih banyak tenaga kerja dan sumber daya yang bisa digunakan untuk bertahan hidup. Namun, di balik optimisme it kekhawatiran juga mulai muncul di hatinya.

"Kita sudah mulai kehabisan ruang," kata salah satu warga lama, seorang pria paruh baya bernama Jungho, saat ia menghampiri Yujin. "Tempat perlindungan ini tidak dirancang untuk menampung sebanyak ini. Pada akhirnya, kita akan kehabisan ruang untuk membangun."

Yujin mengangguk sambil memandang sekeliling. "Aku tahu, Pak Junho." Hanya itulah yang bisa Yujin katakan untuk sekarang.

Wajah Jung-ho mengeras, menunjukkan kegelisahan yang juga dirasakan oleh banyak orang di tempat perlindungan ini.

"Aku hanya khawatir. Semakin banyak orang berarti semakin besar kemungkinan kita menarik perhatian zombie atau bahkan kelompok manusia lain yang mungkin tidak bersahabat," kata Jungho.

Yujin menghela napas dan berkata. "Sayangnya, kau benar. Kita harus siap menghadapi segala kemungkinan. Itu sebabnya aku dan teman-temanku akan berangkat menuju markas militer itu. Jika kita berhasil, kita akan mendapatkan senjata dan amunisi yang kita butuhkan untuk memperkuat pertahanan dan mungkin membangun tempat baru yang lebih luas."

Kabar itu kini sudah meluas ke seluruh tempat perlindungan. Beberapa orang mendukung, meski yang lain nampak mekhawatirkan Yujin. Tapi pada akhirnya mereka tahu kalau Yujin dan teman-temannya memiliki kemampuan yang sangat hebat. Maka jika ada pilihan terbaik untuk keluar, tentu saja itu adalah mereka.

Jung-ho mengangguk, meskipun masih tampak ragu. "Semoga saja perjalanan kalian aman. Kita semua berharap banyak dari misi ini, Yujin."

Yujin tersenyum tipis. "Terima kasih, Pak. Kami akan berusaha melakukan yang terbaik."

Setelah pembicaraan singkat itu, Yujin kembali ke teman-temannya yang sedang sibuk dengan aktifitas mereka. Wonyoung, Jiwon, Rei, Gaeul, dan Hyunseo juga sedang membantu para penyintas yang lain dan melakukan peran mereka sebagai orang-orang yang berada dalam situasi sama.

---

Senja mulai merayap di langit, mewarnai cakrawala dengan nuansa jingga dan ungu yang indah. Aktivitas di tempat perlindungan sudah mulai mereda. Suara palu dan gergaji yang tadinya memenuhi udara kini berganti dengan keheningan yang damai. Para penyintas baru telah menempati rumah-rumah baru yang dibangun dengan susah payah sepanjang hari. Wajah mereka masih dipenuhi kesedihan dan ketakutan tentang apa yang mereka lalu sebelum sampai ke sini.

Di sebuah sudut yang tenang,Yujin dan teman-temannya duduk di kursi-kursi kayu, menghadap ke arah barat di mana matahari perlahan tenggelam di balik cakrawala. Di tangan mereka, masing-masing memegang cangkir teh panas yang mengeluarkan asap tipis, menambah kehangatan di sore yang mulai dingin itu.

Wonyoung meniup perlahan tehnya, menikmati aroma harum yang menyegarkan. "Hari ini cukup melelahkan, ya. Tapi aku cukup senang melihat ternyata masih ada banyak orang yang hidup," katanya sambil tersenyum lelah.

Jiwon mengangguk setuju juga sambil menyesap tehnya perlahan. "Ya, melihat mereka punya tempat tinggal yang aman adalah hadiah terbaik setelah semua yang kita lalui."

"Pemandangan ini membuatku merasa sedikit lebih optimis. Meskipun dunia luar penuh bahaya di sini kita masih bisa menikmati momen-momen damai seperti ini," Rei berkata sambil menatap senja dengan mata yang berbinar.

Gaeul menghela napas panjang, membiarkan kehangatan teh mengalir di tubuhnya. "Kita harus menghargai setiap momen kedamaian yang kita punya. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi besok?"

Hyunseo yang biasanya penuh semangat terlihat lebih tenang saat ini. Keceriaannya sebagai anak yang masih sangat muda hilang karena ditelan oleh keadaan dunia yang jadi seperti ini.

"Aku berharap kita bisa menjaga tempat ini tetap aman untuk waktu yang lama," kata Hyunseo.

Yujin menatap teman-temannya satu per satu, merasa bersyukur atas kebersamaan mereka.

"Kalian semua benar. Kita harus menikmati momen-momen seperti ini. Omong-omong, kita sudah bekerja keras hari ini, dan kita berhak untuk sedikit bersantai."

Mereka semua duduk dalam diam sejenak, menikmati ketenangan sore itu. Suara angin yang berbisik lembut dan aroma tanah yang basah setelah seharian bekerja menciptakan suasana yang menenangkan.

Meskipun dunia di luar penuh dengan bahaya dan ketidakpastian, di tempat perlindungan ini, mereka menemukan sejenak kedamaian yang langka.

"Aku yakin, selama kita tetap bersama dan saling menguatkan, kita bisa menghadapi apa pun yang datang," kata Yujin akhirnya, memecah keheningan dengan suara lembut tapi penuh keyakinan.

Teman-temannya mengangguk setuju, merasa terhibur oleh kata-kata Yujin. Dengan hati yang lebih ringan mereka melanjutkan menikmati sore yang indah itu, membiarkan kehangatan teh dan kebersamaan mereka mengusir sejenak kekhawatiran tentang hari esok.

---

Di sebuah ruangan yang dipenuhi dengan peralatan canggih, suasana tampak dingin dan sunyi. Lampu-lampu neon berpendar menciptakan bayangan aneh di dinding yang dilapisi logam.

Di tengah ruangan, sebuah kurungan kaca transparan berdiri dengan kokoh, memenjarakan seorang gadis muda yang mengenakan pakaian putih sederhana. Gadis itu gemetar, ketakutan jelas terlihat di matanya yang besar dan penuh harap.

Di luar kurungan kaca seorang wanita berambut panjang yang tampak anggun namun mengintimidasi mengamati gadis muda itu dengan senyum miring di wajahnya. Tatapannya penuh dengan campuran rasa puas dan ketidakpedulian yang menakutkan.

"Tolong, bebaskan aku," suara gadis itu terdengar serak, gemetar dengan ketakutan dan harapan. "Aku ingin bertemu dengan orang tuaku."

Wanita itu tidak merespons segera. Dia memandangi gadis itu dengan tatapan dingin dan tanpa emosi, seolah-olah sedang menilai seekor binatang dalam eksperimen. Setelah beberapa saat, senyum tipis tanpa perasaan muncul di bibirnya.

"Orang tuamu sudah mati," katanya dengan nada datar, seakan-akan mengucapkan fakta yang sepele.

Mata gadis itu melebar, syok dan ketakutan melintas di wajahnya yang muda. "Tidak... itu tidak mungkin...," suaranya hampir berbisik, seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

Wanita itu hanya memandangnya tanpa perasaan, senyumnya semakin tipis. "Kamu hanya perlu menerima kenyataan."

Gadis itu terduduk lemas di dalam kurungan kaca, air mata mulai mengalir di pipinya. Harapan yang sempat ada kini hancur berkeping-keping oleh kata-kata dingin wanita tersebut.

Ruangan itu kembali sunyi, hanya suara tangis lirih gadis muda yang memenuhi udara, mengiringi kebisuan lab yang seakan menambah kegetiran situasi tersebut.

---

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 20 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

(IVE) Rebirth In Apocalypse Season 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang