Bali dan Kenangan

1.4K 204 157
                                        


Bali, 2024.

Sepasang mata mengedarkan pandang kepada gulungan ombak pantai sore itu. Termenung, bingung.

Di sisi lain, Jinan, Cakra, Jonathan dan Narda sibuk bermain volly pantai, sesekali teriakan mereka membuat Rendra menoleh, riuh dan kelihatan seru.

Rendra tidak suka olahraga, dia lebih suka seni. Alih-alih melakukan kegiatan yang mengandalkan fisik, Rendra lebih senang melakukan kegiatan yang mengandalkan pikiran. Sama seperti Mahesa yang sibuk mengambil gambar di bibir pantai dengan lensa kamera milik Narda, sendirian.

Sudah sejak semalam mereka sampai di kota ini. Meninggalkan pekerjaan, keluarga, dan beban-beban lain di Jakarta. Memang sudah lama sekali Teman Sejiwa tidak pergi berlibur bersama, terakhir kali saat Haikala masih ada.

Ah, ya. Ternyata sudah lama sekali. Ada banyak yang sudah mereka lewati selama ini, tapi sekali pun tak punya waktu barang sedetik saja mencari tenang. Sampai akhirnya di suatu hari saat Rendra tengah menyantap pecel lele bersama Narda, laki-laki itu mengajaknya liburan.

Mengingat Narda yang belum lama ini kehilangan Misselian, sudah tentu membuat Rendra memahami betapa butuh tenang temannya itu. Tidak butuh lama untuk mengadu pada teman-temannya yang lain. Meski sempat terjadi perdebatan antara waktu dan kesibukan, pada akhirnya mereka menurut juga. Mahesa meninggalkan Helena bersama Luna di apartment, Jonathan meninggalkan perempuan yang baru dua bulan resmi menjadi istrinya sekaligus bayi kecil yang dua bulan lalu resmi dinamai Joshua Nathaniel Abyu Karang.

Cakra yang meninggalkan Luna—perempuan yang beberapa minggu lalu resmi ia lamar dan kebetulan juga baru pulang dari Bali.

Jinan yang pergi dengan tanpa beban apa pun, yang lebih gila adalah dia yang membayar semua tiket keberangkatan untuk teman-temannya.

Dan Rendra—sepertinya hanya dia yang berangkat dengan membawa banyak beban pikiran.

"Nggak join?" Mahesa duduk di sebelah Rendra setelah berlari kecil dari bibir pantai. Sepertinya, dia mulai bosan dengan kamera.

Rendra hanya menggeleng, mengikuti Mahesa yang kini tengah menatap ke-empat temannya yang masih asyik dengan bola berwarna putih tersebut.

"Akhir-akhir ini kerjaan lo lancar?" Mahesa bertanya lagi.

"Lancar kok."

"Aman ya berarti."

Rendra mengangguk pelan, tak lagi bersuara.

"Bang! Sini ikutan main!" Cakra melambai dari radius lima meter dengan teriakan melengking.

Sekedar informasi saja, ke-empat manusia itu hanya pakai celana pendek dan telanjang dada. Sudah mirip anak pantai betulan.

"Join, yuk."

"Abang aja deh, gue ga bisa main poli pantai."

"Coba aja dulu, sekalian ngelengkapin pemain, yuk. Katanya mau liburan, liburan tuh seneng-seneng bukan ngelamun."

Karena merasa tersindir dengan kalimat Mahesa, akhirnya Rendra bangkit juga.

"Nah, gini kan rame! Bang Mahesa masuk ke tim Narda Cakra, Rendra masuk tim gue sama Jinan." Jonathan langsung membagi tim setelah melihat dua temannya mendekat.

Senja kala itu, mereka semua menghabiskan hari dengan bermain di bibir pantai, melambungkan bola seperti melambungkan masalah ke udara, melemparnya untuk ditelan kelamnya petang yang mulai datang.

Tertawa, bicara, bahkan hampir menangis karena terpingkal-pingkal, semua tanpa terkecuali, menertawakan Rendra yang tak becus melakukan servis dan menerima umpan, menertawai celana Jonathan yang kendor—hampir melorot, menertawai Mahesa yang lebih banyak mengejar bola ke bibir pantai alih-alih memainkannya, menertawai Jinan yang kesal karena menjadi target smash dari Narda, menertawai Narda yang terus mengincar Jinan agar ia kewalahan menangkis bola, menertawai Cakra yang terpingkal-pingkal hingga air matanya keluar, bahkan sampai rebahan di atas pasir karena kakinya lemas.

6. Garis Khatulistiwa [PREVIEW]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang