Di dalam ruang rawat inap, Nisa berbaring di atas ranjang, masih belum sadar dari koma. Tangan kiri dan kaki kanannya terbalut gips. Infus terus menetes dengan lambat. Alat-alat pendeteksi kondisi tubuh berada di sisi kanan ranjang.
Tidak ada yang tahu, kapan dia akan membuka mata.
Tyas berada di teras kamar inap yang menghadap langsung ke taman. Dia membuka rantang-rantang makanan dan menyiapkannya ke atas meja. Termasuk dua piring dan dua botol air mineral.
Tak lama kemudian, Fitri sampai dan menyapa, "Assalamualaikum?"
"Waalaikumsalam. Bagaimana, Mbak Fitri?" tanya Tyas penasaran.
Fitri melangkah dengan lemah lalu duduk di kursi sebelah meja. Dari pintu yang terbuka, dia memperhatikan Nisa yang masih belum bisa diajak berdiskusi. Tyas adalah satu-satunya orang yang bisa diajak bicara saat ini.
"Bu Tyas, bagaimana kalau kita pindahkan Nisa ke rumah? Biaya perawatannya bisa lebih terjangkau" jelas Fitri.
Tyas terkejut mendengarnya, lalu memandang ragu-ragu ke arah Nisa yang terbaring lemah. "Tapi bagaimana kalau, Mbak Nisa butuh sesuatu?"
"Jika sewaktu-waktu diperlukan, kita bisa meminta suster atau dokter datang ke rumah," jelas Fitri.
Tyas tampak bimbang. Saat ini Udin tidak ada bersama mereka. Tyas tidak tahu harus meminta pertimbangan siapa. Namun dia yakin, Fitri yang merupakan sahabat karib Nisa, pasti sudah mempertimbangkan matang-matang untuk kebaikan Nisa. Tyas akhirnya mengangguk-angguk mengerti. "Saya ikut keputusan Mbak Fitri saja. Semoga Mbak Nisa segera sadar dan sembuh," ucap Tyas.
"Aamiin ya rabbal alamin." sambut Fitri.
"Aamiin.. Ayo, Mbak, makan siang dulu!" ajak Tyas sambil menunjukkan rantang-rantang di atas meja.
"Iya Bu," jawab Fitri riang. Dia sudah terbiasa dengan masakan Tyas yang sesuai dengan seleranya. "Kelihatannya enak nih."
"Makan yang banyak, Mbak!"
"Iya, Bu, terima kasih."
Mereka lalu makan siang bersama.
***
Siang hari yang sama, matahari juga menyinari Desa Ringin Agung. Sinar itu juga sampai ke pekarangan rumah Joko, yang sekarang terlihat lebih bersih dan rapi. Motor C70 terparkir di halaman dan pintu depan rumah terbuka lebar.
Di ruang tamu, Udin memasukkan foto Endah kecil bersama Joko dan Wati ke dalam pigura baru. Foto keluarga yang ditemukannya di halaman, tergeletak di dalam pigura yang pecah.
Setelah foto terpasang rapi, Udin meletakkan foto tersebut kembali ke tempat semula, di dalam lemari kaca. Udin tersenyum senang, namun setelah beberapa waktu memandang foto tersebut, dia tampak sedih.
Tidak mau larut dalam kesedihan, Udin mengalihkan perhatiannya ke sekitar, memastikan semuanya sudah bersih. Dia lalu melangkah ke dapur, menuju pintu halaman belakang.
Udin melanjutkan membersihkan halaman belakang rumah Joko. Menggunakan sabit, Udin dengan cekatan menyiangi rumput yang sudah tinggi. Dia terus menyiangi sampai mendekati area hutan. Ketika sampai di semak-semak yang cukup tinggi, tanpa sengaja Udin melihat sebuah gubuk di antara pohon-pohon.
Terletak agak jauh dan tersembunyi.
Udin yang penasaran, segera mendekati gubuk tersebut. Setelah cukup dekat, Udin melihat dinding dan atap gubuk itu sudah reyot. Gubuk kayu tersebut tampak tua, mungkin sudah berdiri puluhan tahun.
Semakin penasaran, Udin mendekati pintu kayu yang sudah lapuk. Pintu tersebut terkunci rapat dengan rantai dan gembok. Udin diam berpikir sambil memandang logam-logam berkarat tersebut. Bertanya-tanya dalam hati, apa yang sebenarnya berada di dalam gubuk ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEMIT ALAS 2 : Blok Mati
Terror"SINOPSIS DEMIT ALAS 2 : Blok Mati" Endah ditangkap dan dihukum penjara seumur hidup di lembaga pemasyarakatan perempuan. Di sana, ia berkumpul bersama dengan narapidana lain yang usianya lebih tua darinya. Sebagai narapidana yang paling muda, acap...