"Katanya mau ke RSJ, kamu kan gila, ya udah, sama aku diantar ke sana. Hayu! Kok ini malah mampir ke warteg?" Ilesha bertanya bingung saat mereka sampai di lokasi yang tidak sesuai dengan bayangannya."Nanti aku bakal ditanya nggak ya, kenapa aku bisa pacaran sama orang yang butuh pengobatan seperti Zayn?" Itu adalah monolognya di sepanjang perjalanan tadi.
Laki-laki di sampingnya, Bentala, menoleh dengan ekspresi kesal. "Kamu yang gila. Kalau lapar, bilang! Jangan ngelantur kaya orang gak waras! Udah, ayo masuk," ajaknya sambil menarik tangan Ilesha memasuki warung warteg.
Ilesha memandang ke sekeliling warung makan dengan rasa penasaran. Ini adalah pertama kalinya ia makan di warteg seperti ini. Meskipun ia bukan berasal dari keluarga darah biru tapi berasal dari keluarga darah rendah dan darah tinggi, gadis itu belum pernah merasakan makanan atau sekadar singgah di rumah makan seperti ini.
Ketika tangan besar itu menyodorkan piring berisi makanan kepadanya, Ilesha menoleh. Ia mendongak untuk melihat Bentala yang sekarang sedang menggeser kursinya agar ia bisa duduk dengan nyaman.
"Kenapa liatin?" tanya Bentala, menyadari bahwa Ilesha menatapnya. Ia menunjuk piring yang baru saja disodorkannya kepada Ilesha dengan dagunya. "Makan. Katanya lapar."
Ilesha menggeleng dan kembali menatap makanannya. "Aku nggak bilang kalau aku lapar," jawabnya, lalu menoleh lagi ke arah Bentala dengan raut wajah yang penuh pertanyaan.
"Kamu kalau lapar, kaya siluman belut! Otaknya jadi sebesar biji wijen!" ucap Bentala sembarangan. "Makan!" titahnya dengan tegas, sebelum mengangkat satu alis. "Gak suka makanan kaya gini?" tanyanya, penasaran.
Ilesha langsung menggeleng. Mana mungkin ia tidak suka makanan rumah seperti ini? Lagipula, masakannya mirip sekali dengan masakan mamanya, dan ia yakin rasanya juga akan serupa, mungkin?
"Ya udah, makan," kata Bentala dengan nada lebih lembut.
Tanpa banyak bicara, Ilesha langsung mulai melahap makanannya. Tak bisa berbohong, ia memang sedang lapar.
Melihatnya, Bentala menyunggingkan senyumnya. "Beberapa minggu nggak bersama, makin berubah aja," pikirnya dalam hati, menyaksikan perubahan kecil pada Ilesha.
•••🦋•••
Cetrek!
Suara pemantik rokok menarik perhatian gadis yang sedang meminum air teh hangat. Ia menaruh gelasnya kembali di meja, lalu menatap Bentala yang sedang menghisap batang rokok. Kepulan asap rokok perlahan-lahan menyatu dengan udara sekitar.
"Mencemari kejernihan oksigen," ucap Ilesha dengan nada sinis, membuat Bentala menoleh ke arahnya. "Kenapa kalo abis makan harus banget ngerokok?" lanjutnya bertanya.
Bukannya menjawab, Bentala malah membuang rokoknya yang masih setengah panjang. Ia mengangkat kakinya sekitar 5 cm dan mematikan rokok tersebut dengan ujung sepatu olahraganya. "Aku lupa, harusnya nggak ngerokok dekat kamu," katanya sambil mengembalikan sepatu ke posisi semula.
Ilesha tersenyum samar. "Chil, Ay. Ayah sama Aa aku juga sering merokok dekat aku. So, I'm used to it. Tapi kalau kamu lebih inisiatif dan memikirkan kesehatan orang lain, itu bagus."
Ilesha terdiam sejenak, lalu berkata lagi, "Kalo nyari penyakit, jangan bawa-bawa orang lain."
"Maksud kamu?" tanya Bentala, sedikit bingung.
"Ngerokok itu berbahaya bagi orang yang menghisapnya. Selain itu, kalau kamu merokok di dekat orang lain, mereka yang tidak merokok juga akan terkena dampaknya. Asap rokok bahaya kalo kamu lupa," jelas Ilesha. Ilmu yang ia dapat semasa sekolah tak sia-sia juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Ephemeral (Tamat)
Teen FictionGengre: Romance, Misteri •••🦋••• Sinopsis: Ilesha Mutiadaksa adalah seorang gadis yang dibayangi masa lalu kelam, membuatnya berjanji untuk tidak lagi membuka hati pada siapa pun. Namun, semua berubah ketika Bentala Zayn Shailendra hadir dalam hi...