"Gue udah sama Bentala, Sa. Sahabat lo sendiri."
"Tapi, Sha-"
"Hah?"
Harsa dan Ilesha refleks menoleh ke arah suara yang tiba-tiba memotong percakapan mereka. Keduanya tampak terkejut saat melihat Bentala muncul di hadapan mereka. Bentala berdiri di sana dengan ekspresi terkejut.
Harsa menelan ludahnya dengan kasar, merasakan tenggorokannya kering. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran saat matanya bertemu dengan Bentala. Jangan-jangan Bentala telah mendengar seluruh percakapan mereka? Ekspresi syok di wajah Bentala seakan mengonfirmasi ketakutan Harsa, namun ia berharap itu hanya khayalan belaka.
Bentala berdiri dengan sikap tegas, matanya menatap Harsa dan Ilesha secara bergantian. Ada ketegangan yang terasa di udara, dan detik-detik berikutnya terasa begitu lambat. Harsa berusaha mengumpulkan pikirannya, sementara Bentala, dengan raut wajah yang sulit dibaca, tampak menunggu penjelasan atau reaksi dari Harsa dan Ilesha.
"Kalian ngapain berdua disini?" tanya Bentala, lalu beralih menatap Ilesha. "Kamu, Ilesha. Aku chat gak dibales di telpon gak diangkat, hp nya kamu telen, hm?"
Seakan mendapatkan keajaiban dari Tuhan kedua manusia itu bernapas lega. Mereka sudah yakin Bentala tak mendengar percakapannya.
Ilesha tak menjawab, gadis itu malah menarik menjauh dari hadapan Harsa membuatnya mengerutkan keningnya, kebingungan. Namun, Ilesha kembali menoleh. "Gue duluan, Sa!" ucapnya sedikit berteriak.
Setelah menjauh dari tempat. Ilesha langsung menghempaskan tangan Bentala.
"Tadi ngapain sama Harsa?" tanya Bentala yang masih penasaran. Apalagi ketika melihat mereka berbicaranya sangat terlihat serius.
Membuat jiwa kepo nya meningkat.
Ilesha tak menjawab, gadis itu malah melangkah pergi menghindari Bentala. Ia baru mengingatnya, jika ia harus bersikap mirroring treatment. Jika ada orang yang sudah menyepelekan nya maka ia juga harus menyeimbangkannya. Laki-laki itu sudah mendiamkannya maka ia juga harus sama. Ia tidak mau terlihat rendah terhadap laki-laki lagi.
"Sha, aku minta maaf," ucap Bentala sambil mengejar Ilesha.
"A-aku ngaku salah. Iya, emang aku salah seharusnya aku gak kaya gini, jadi maaf." Bentala mensejajarkan langkahnya dengan langkah Ilesha.
Namun, Ilesha tetap tak bergeming sedikitpun.
"Sha," panggil Bentala untuk yang kesekian kalinya karena Ilesha tak pernah menyahut, bahkan merespons dengan deheman pun tidak.
"Sha, kok kamu lepas kerudung sih?" tanya Bentala saat sadar kepala Ilesha tak terbalut kerudung seperti biasanya.
Ilesha berhenti melangkah, membuat Bentala juga ikut berhenti. "Aku masih sering lepas pasang hijab," jawab Ilesha.
"Kenapa? Penampilan kamu lebih cocok pake hijab, Sha, keliatan baik, sopan. Aku suka," kata Bentala dengan senyuman yang tulus.
"Terus kalo aku gak pake hijab aura baik aku hilang gitu? Kalo nilai standar kebaikan ada di hijab, maka aku bukan orang baik?" Ilesha mengangkat satu alisnya, seakan meminta kejelasan. Bukankah laki-laki sangat menyukai perempuan yang terekspos auratnya? Ilesha hanya melepas pasang kerudung, pakainya masih normal, aurat tubuhnya masih ia jaga.
Ilesha tahu ini salah, namun ia masih tidak sanggup untuk istiqomah. Imannya selalu naik turun, seperti ombak yang tak pernah tenang. Tidak semudah itu untuk berubah menjadi sempurna di mata banyak orang, terutama di tengah tekanan dan harapan yang begitu tinggi. Setiap kali ia ingin fokus menutup auratnya, selalu ada saja godaannya yang datang menggoyahkan niatnya. Seperti angin yang tiba-tiba berubah arah, Ilesha sering merasa bimbang dan ragu. Hatinya berperang, dan meski ia tahu mana yang benar, ia masih belum mampu melawan godaan yang terus menghantui.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Ephemeral (Tamat)
Teen FictionGengre: Romance, Misteri •••🦋••• Sinopsis: Ilesha Mutiadaksa adalah seorang gadis yang dibayangi masa lalu kelam, membuatnya berjanji untuk tidak lagi membuka hati pada siapa pun. Namun, semua berubah ketika Bentala Zayn Shailendra hadir dalam hi...