1. Kepedulian & Rasa Penasaran ✓

1K 29 0
                                        

Langit sore menggantung sendu di atas kampus yang perlahan mulai sepi. Langkah Sahara terdengar tergesa menuruni tangga dari lantai atas, rambutnya yang terurai terhempas angin, seolah ikut merasakan kegelisahan yang tertinggal di matanya. Nafasnya sedikit terengah saat ia akhirnya tiba di kafetaria kampus, matanya menyapu ruangan hingga berhenti pada satu sosok yang dikenalnya sangat baik.

"Maaf, nunggu lama?" Sahara langsung duduk di hadapan Nara, sahabatnya, yang sedari tadi terlihat memasang ekspresi kesal.

"Lo tau kan ini udah jam berapa? Setengah jam lebih gue nungguin lo keluar dari kelas, ya anjing!"

Sahara tersenyum tipis. Nara memang cerewet dan penuh emosi, tapi hanya pada orang-orang terdekatnya.

"Gue salah, oke? Dosennya tadi lagi seneng banget ngajar, jadi molor terus. Maaf?" Sahara meraih tangan Nara, memelas.

Nara menghela napas, lalu menarik tangannya pelan. "Udah selesai?"

"Apanya?"

"Aliya nggak bilang? Soal hubungan lo sama Kak Sam."

Sahara mendadak membisu. Matanya menunduk, dan napasnya seperti ditarik paksa. Sudah ia duga gosip itu akan meluas, dan Aliya, sahabat mereka yang satu lagi, tentu saja tanpa sadar menyebarkan kabar itu.

"Lo tau nggak, seisi kampus geger waktu tau lo ternyata adik Kak Sam. Bahkan beberapa dosen sampai ngebahas, loh." Nara melanjutkan, nadanya cemas.

Sahara mengangkat bahu, pura-pura tak peduli. Padahal di dalam dadanya, ada perih yang kembali mengendap. Ia tidak suka diperhatikan karena alasan yang tak adil. Ketenaran Samudra selalu menjadi bayangan baginya, dan kini saat semua tahu bahwa mereka bersaudara, semua mata mendadak memburu setiap gerak-geriknya.

"Bukan urusan gue udah selesai atau belum. Yang penting, hidup gue tetap jalan."

Nara hanya mengangguk, mengerti.

"Gue cuma mau balikin buku lo," Sahara berkata lalu mengeluarkan sebuah buku tebal dari tasnya dan menaruhnya di atas meja.

"Setengah jam gua cuma buat nungguin buku?!" Nara mendelik.

"Kalau gue nggak balikin sekarang, besok lo belajar pakai apa?"

Nara menepuk kening. "Iya juga. Makasih, Rara sayang."

Sahara mendecak pelan. "Jangan manja, jijik."

Nara pun hanya memberengut sebelum pamit pergi.

Tak lama kemudian, Sahara mengeluarkan laptopnya, memutuskan untuk tetap di kafetaria. Rumah hanya akan memberinya kesunyian yang terlalu pekat dan Sahara tak pernah merasa nyaman.

"Boleh gabung?" tanya seseorang.

Sahara mendongak. Samudra dan seorang temannya, entah siapa namanya. Sahara tak peduli.

"Tempat duduk masih banyak," ujarnya tanpa minat.

Samudra malah duduk di samping Sahara. Temannya ikut-ikutan.

"Mau ke mana?" Samudra menahan tangan adiknya yang hendak menutup laptop.

"Duduk sini aja. Gue ganggu ya?"

"Udah tau, nanya lo," sahut Sahara ketus.

"Adek lo judes banget sih? Jadi pengen gue gebet."

Sahara dan Samudra serempak menatap lelaki yang sedang bertopang dagu itu.

"Apa-apaan? Sintia mau lo kemanain?" bentak Samudra.

Sahara memasang earphone, lebih memilih larut dalam pekerjaannya daripada meladeni dua pria yang tak tahu malu itu.

"Udah habis make, gitu omongan lo? Dasar begundal."

"Heh! Gue masih perjaka, anjing! Enak aja lo ngomong."

"Lo—"

"Berisik." Sahara menyela. Suaranya dingin, seperti udara sore yang mulai menusuk.

"Oke, kita diem."

Kafetaria semakin sepi. Hanya suara ketikan keyboard Sahara yang terdengar. Samudra tenggelam dalam ponselnya, sementara temannya memandangi Sahara dengan antusias yang nyaris kekanak-kanakan.

"Nggak cape ngetik terus?" tanyanya hati-hati.

"Nggak."

"Cuek banget sih, boleh minta nomornya?"

"Buat ap—"

"Nggak boleh. Nanti lo ganggu adek gue," potong Samudra.

Sahara menghela napas. Ia menatap kosong layar laptopnya. Laki-laki memang menyusahkan, pikirnya.

"Lo juga ganggu gue," ujarnya tajam.

Asel tertawa. "Oke, oke. Gue cabut, deh." Ia menepuk pundak Samudra lalu pergi.

"Ayo pulang," ucap Samudra.

"Gue pulang naik bus."

"Bareng gue aja, hemat."

"Gue masih mau di sini. Wifi-nya lancar."

"Nggak usah alasan. Ayo pulang. Ayah bisa marah-marah kalau lo telat lagi."

Akhirnya Sahara berkemas, menurutnya bersangkutan dengan ayah lebih menyusahkan daripada berada dalam keributan antara Samudra dan Asel tadi.

Mereka berjalan melewati koridor yang mulai ramai. Samudra santai, namun Sahara mendadak berhenti. Wajahnya berubah, lebih dingin dari sebelumnya. Ia bersuara lirih, penuh tekanan.

"Lo tau nggak, bang… gue muak jadi bayangan lo. Lo tutup mata pas fans-fans lo hina gue. Lo nggak pernah peduli."

"Ra, apa maksud—"

"Mereka ganggu gue."

"Nggak usah ditanggapi, Ra," kata Samudra yang terkahir jelas membuat emosi Sahara memuncak.

"Iya, lo bisa tutup mata waktu mereka jelek-jelekin gue."

"Bukan gitu—"

"Udahlah, Bang. Lo emang nggak pernah peduli sama gue. Dari dulu juga gitu. Nggak ada yang peduli. Bahkan kalau gue mati sekalipun, semuanya tetap jalan seperti biasa."

"Ra… jangan ngomong kayak gitu."

"Dan kenyataannya emang gitu. Lebih baik lo nggak usah pura-pura peduli."

Sahara menatap lurus ke depan. Matanya hampa. Suaranya tenang, tapi menyisakan luka yang nyaris tak terlihat.

"Gue benci lo," bisiknya. Suaranya kecil, namun mengandung luka yang dalam.

Di belakang mereka, seseorang memperhatikan dari kejauhan. Asel, dengan pandangan tak biasa. Ada rasa penasaran dalam tatapannya. Bukan hanya karena Sahara berbeda… tapi karena ia tahu, gadis itu menyimpan sesuatu.

Dan Asel, untuk pertama kalinya… merasa tertantang untuk mendekati adik sahabatnya itu.

-- To be Continued --

Revisi: 9 Juni 2025

Note: 1. Di sini aku tambahin scene Asel sedikit banyak.
         2. Perubahan alur mungkin terjadi di bab² selanjutnya, jadi kalian bisa baca ulang book ini.

NEED - End (PROSES REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang