♫NAIF - Selalu♫
Akhir-akhir ini dia memiliki kebiasaan baru. Setelah dia merasakan cukup mengantarkan penumpang dari pagi hari sampai siang hari, dia selalu memutuskan untuk makan siang di rumah. Meskipun penumpang yang dia antarkan terakhir itu terlalu jauh dari rumah sekalipun, dia tetap saja pulang ke rumah. Karena makan siang yang dia selalu pilih adalah sebuah bentuk sarapan, sereal dan susu. Dia adalah Jin, dia lahir di Semarang
Dia mengambil sereal dari dalam salah satu kabinet ruang makan, lalu mengambil susu dari dalam kulkas, dan menuangkan keduanya ke dalam sebuah mangkuk, sereal lebih dahulu. Lalu, dia membawa makanan itu ke meja makan, dan memakannya sembari mendengarkan musik. Musik yang hari ini dia dengarkan merupakan sebuah lagu mellow dari Naif. Musik dan liriknya selalu membawa dia ke perasaan melankolis yang membuat waktu yang dia lalui berjalan dengan lambat. Bahkan saat ini dia seperti merasakan makan dalam Slow-Motion. Terkesan ironis dengan apa yang dia tonton hari ini.
Di dalam ruang makan milik rumahnya memang terdapat TV, matanya melihat ke arah apa yang ditayangkan di dalam TV. Di TV menayangkan iklan hotel dan apartemen megah di Kota Semarang, yang meskipun baru saja dibangun, dia sudah terkenal dengan perasaan elit yang ditawarkannya. Selain itu hotel tersebut juga terkenal dengan pencipta mudanya yang sangat kontroversial. Tapi, tontonan sesungguhnya, berada di ujung mata Jin. Sembari dengan kebiasaan barunya makan sereal sebagai makan siang di rumah, Ayah dan Ibunya memiliki kebiasaan baru untuk bertengkar di siang hari tepat di depannya.
Jin tidak tahu apa yang sedang didebatkan oleh Ayah dan Ibunya pada siang hari. Entah apa yang begitu penting sampai harus menaikan nada di hari yang panas seperti ini. Apapun itu, Jan merasa dan menebak bahwa semua ini salahnya, atau setidaknya sebagian besar adalah salahnya. Dan dia merasa, sangat ironis Ayah dan Ibunya bertengkar di dalam slow-motion, pada saat dia mendengarkan sebuah lagu mellow tentang cinta yang selalu ada disana.
Mereka adalah keluarga bercukupan, jadi sebenarnya dia tidak perlu mencari penghasilan tambahan pada saat dia masih harus kuliah. Tapi, dengan Jan memasuki tahun terakhirnya, lalu memulai skripsi dan mengurangi waktu di kampus, dia memutuskan untuk menggunakan waktu bebasnya untuk mendaftarkan dirinya sebagai pengendara RIDER. Apalagi, tontonan yang ada di samping matanya ini juga alasan tambahan untuk menghindari rumah sebanyak-banyaknya.
Semakin banyak dia keluar dari rumah, semakin banyak waktu untuk dia mengenal kota kelahirannya ini, Kota Semarang. Kesempatan yang dia tidak miliki sejak kecil, walau mungkin lebih tepatnya dia hindari. Semenjak kecil rute jalan di dalam kesehariannya hanya satu, sekolah ke rumah dan sebaliknya. Dan Jin sangat menyukai rute tersebut. Segera setelah mendapatkan SIM motor, dia dibelikan motor, tapi rute hidupnya tidak pernah berubah. Tidak seperti kakaknya, Jin hanya menggunakan motor sebagai transportasi, bukan sarana mencari kesenangan ataupun adrenalin. Kenyataan bahwa dia tidak memiliki banyak teman di sekolah, juga tidak membantunya untuk mengeksplor kotanya ini. Sampai pada akhirnya dia bisa melakukan pendekatan dengan kota kelahirannya ini menggunakan RIDER.
Anehnya, dia mendapati memiliki pendapat yang cukup unik kepada Kota Semarang. Orang tuanya sering mengajaknya untuk pergi berjalan-jalan satu keluarga, mengunjungi berbagai kota di Indonesia maupun luar negeri. Meskipun referensinya tidak banyak, Jin segera berpendapat bahwa dia lahir di kota yang sangat membosankan. Setelah dia menjadi seorang RIDER, pendapatnya tidak banyak berubah. Walau dia menyadari, bahwa kedamaian yang dia rasakan di kota ini, tidak ada duanya di kota manapun. Terkadang dia merasa Kota Semarang adalah kota anak tengah, seperti dirinya ini.
Anak tengah merupakan anak yang paling tanggung di dunia manapun. Tidak cukup tua untuk memimpin, dan tidak cukup muda untuk dimanja. Walau sebenarnya dia hanya lebih muda beberapa menit dari kakaknya saja, tapi semakin dewasa dia semakin diperlakukan seperti anak tengah. Terutama kenyataan bahwa dia memliki muka yang sangat berbeda dengan kakaknya. Dimana dia memiliki muka yang lebih muda dengan muka mulus tanpa janggut seperti kakaknya, dan setelah adik perempuannya datang ke dunia setelah dia, muka Jan tidak cukup muda dibandingkan muka cantik dan penuh kepolosan adiknya.
Jin mengerti bahwa dalam hatinya, dia sangat mencintai keluarganya, hanya saja dia juga merasa tidak cocok dengan mereka. Sejak lama, Jan merasa dia sedikit berbeda dengan orang secara umumnya, walau tidak cukup berbeda untuk menjadi seseorang yang spesial. Dia meyakini bahwa ada orang yang seperti dan merasa seperti dirinya di luar sana, hanya saja seperti dirinya, orang seperti dia akan menghindari sesama. Setidaknya dia berpikir begitu sampai akhir-akhir ini.
Sereal yang dia makan untuk makan siangnya akhirnya habis. Dan, seperti acara telenovela yang ditayangkan bagi mereka yang makan siang, pertengkaran Ayah dan Ibunya juga selesai, dan mereka meninggalkan Ruang Makan untuk pergi entah kemana. Penggantinya, adik perempuannya Jane memasuki Ruang Makan dan menyentuh perlahan Jin untuk memanggilnya. Jin melihat ke arah adiknya yang berdiri di belakangnya.
"Kok pulang?" Tanya Jane dengan lembut.
"Makan siang" Jawab Jin dengan singkat. Tapi, sebenarnya cukup jarang adik perempuannya ini basa-basi dengan dia, Jin mencoba menghargainya dengan bertanya kembali. "kamu tidak pe-" Tapi, dipotong oleh Jane.
"Menurutmu.. Kalau Kak Jin kecelekaan pas lagi kerja, mereka bisa berhenti bertengkar ? Berhubung alasan mereka selalu bertengkar itu memang Kak Jin?" Tanya Jane dengan tetap menggunakan nada yang lembut, tapi terasa dengan jelas kesinisan di dalamnya.
"Begitukah.." Jin tidak menjawab, dia hanya menghindari kontak mata.
"Bukankah itu jadi akhir yang lebih menyenangkan. Apalagi aku jadi dapet kamarmu.. Sana pergi keluar.. Semoga kamu gak kembali." Kata Jane tanpa menutupi kebenciannya sembari keluar dari ruangan. Jin menyadari, kalau Jane keluar dari ruangan dengan meneteskan air matanya.
Jin tidak menjawab atau apapun. Dia tidak marah, hanya sedih mendengarkan bahwa adiknya masih terus marah kepadanya. Jin sebenarnya berpikir : kalau memang semudah itu, dia sudah lakukan sejak lama. Dia kembali melihat ke arah mangkuknya yang kosong.
Lalu, tiba-tiba ada tangan lainnya yang menyentuh pundaknya.
"Wow.. Kelihatannya dia terus marah ke kamu ya ? Apa sih yang sudah kamu lakuin ?"
Tanpa melihat, Jin mengetahui kalau itu adalah kakaknya Jan. Anggota keluarga yang paling adil di dalam keluarga ini. Walau dia memiliki hati yang baik, pada akhirnya sudah tidak bisa mengganti dinamika dalam keluarga ini.
"Hmm.. Kamu tahu kenapa kak.. Lagipula, sudah tidak relevan lagi, dia terluka dan aku sudah tidak bisa menyembuhkannya. Kalau itu caranya menyembuhkan dirinya sendiri, biarlah."
"Tapi, tetep aja.. Bilang seperti itu ke abangnya sendiri... hmm.. Nanti aku akan bicara ke dia. Pokoknya kamu hati-hati pas kerja ya."
"Hmm.. Aku tahu.." Jin menjawab singkat. Lalu dia berdiri, mencuci piring yang dia pakai sejenak. Dan akhirnya dia bersiap-siap, mengenakan jaket Rider merahnya, dan akhirnya siap untuk berkerja lagi. Dia berkata dengan pelan. "Hmm.. Aku berangkat dulu."
"Hei.. Pokoknya ingat, kamu diinginkan di keluarga ini. Hati-hati di jalan"
"Hmm.." Jin kembali tidak menjawab.
Jin mengenakan headsetnya, dia mendengarkan lagu yang dikenalkan dari teman barunya akhir-akhir ini. Sebuah lagu yang sebenarnya mewakili perasaannya. Dan, bersamaan dengan lagu itu, Jin berangkat menuju tempat pertemuan.
♫Putra-putri sakit hati, Ayah Ibu Sendiri
Komitmen lama mati, Hubungannya menyepi ♫
YOU ARE READING
3 Way RIDER
Mystery / ThrillerOjek online sudah menjadi sarana keseharian bagi orang modern. Sarana yang terus dipakai, dan terus berevolusi. Bahkan karena banyaknya demand kepada sarana tersebut aplikasi baru Ojek online terus bermunculan. Umum rasanya kalau ada ribuan Begitu...